BAB 4 | Menyadap Pembicaraan Seseorang?

1426 Kata
*** Brianna masih enggan percaya atas penawaran yang diberikan oleh Lucas padanya. Bahkan gadis itu berharap jika semua ini hanyalah mimpi buruknya. Namun sayangnya satu kalimat yang dilontarkan oleh Lucas, seakan terus terngiang dalam benaknya. "Anggap saja kau adalah pelacurr berkedok istri sah!" Wanita mana yang tidak sakit hati ketika mendengarnya kalimat seperti itu? Terlebih dari seorang pria yang dikenal sejak dulu. Pria yang pernah memohon maaf padanya dimasa lalu. Ingin rasanya Brianna melawan, namun apa daya sebab takdir seolah-olah terus menekannya supaya tunduk di hadapan Lucas, tanpa memberi satu pilihan saja padanya. Sementara di pandangan Brianna, Lucas adalah sosok yang benar-benar kejam terhadap dirinya. Padahal jika dipikir-pikir, seharusnya Brianna lah yang bersikap seperti itu terhadap Lucas, bukan malah sebaliknya— sebab lelaki itulah yang telah mengecewakan dirinya di masa lalu. Namun lagi-lagi, Brianna hanya mampu menelan kenyataan pahit. Iya, usai membuat kesepakatan antara dirinya dengan Lucas— pun Brianna langsung pergi dari apartemen pria itu dan langsung pulang ke Mansion. Setelah Brianna sampai di Mansion, gadis itu langsung menyampaikan kabar bahagia itu pada keluarganya. Lucas bersedia menyuntikkan dana untuk Alexander's Corp. Itu adalah kabar yang sangat membahagiakan buat keluarganya, tapi tidak untuk dirinya. Sebab kesediaan pria itu membuatnya terjebak selama-lamanya bersama pria psikopat seperti Lucas. Namun begitu, di hadapan keluarganya, terutama sang Grandpa, Brianna terus mengulas senyum lebar. Ia tidak ingin sampai sang Grandpa tahu apa alasan Lucas mau membantunya. Cukup Brianna saja yang merasa terhina atas tawaran Lucas. Keluarganya tidak perlu tahu soal itu. Tidak lupa, Brianna juga berpesan kepada Lucas supaya pria itu tidak menceritakan mengenai perjanjian mereka kepada siapapun termasuk keluarganya. Lucas menyetujui. Bukan karena khawatir keluarga Alexander's akan membencinya, karena menurut Lucas, itu sangatlah mustahil. Tapi lebih tepatnya Lucas akan mendapatkan amukan dari Ibunya kalau sampai wanita paruh baya itu tahu cara dirinya mendapatkan Brianna. °°° Esok harinya,. Mansion Alexander's | Pagi Hari,. Kamar Brianna,. Dreettt! Kting! Diatas ranjang besar berukuran king size itu, Brianna tampak menggeliat pelan dibalik gelungan selimut tebalnya ketika mendengar ponselnya bergetar dan menghasilkan bunyi sebuah notifikasi. Sepertinya barusan ia tengah menerima pesan dari seseorang. Dengan gerakan malas, Brianna mengeluarkan sebelah tangan dari selimut, kemudian terulur meraih ponselnya di atas nakas. Ia membawa benda pipih itu ke depan wajah sambil membuka paksa kedua kelopak matanya. Lucas: "Temui aku jam 10.00 pagi ini. Surat perjanjian mu sudah siap!" Deg! Seketika rasa kantuk dan malas seolah hilang begitu saja ketika Brianna membaca pesan yang ternyata dikirimkan oleh Lucas. Brianna menyibak selimut, lalu menegakkan tubuhnya. Sedangkan kedua matanya kembali menatap layar canggih itu di dalam genggamannya. 'Ya Tuhan, akhirnya aku akan benar-benar terikat dengannya. Semoga keputusanku ini tidak salah.' Monolog Brianna dalam hati. Kemudian Brianna menurunkan kedua kaki dari ranjang menapak pada lantai yang dingin. Brianna hendak beranjak dari atas tempat tidur, namun urung karena ponselnya kembali berdering. Kali ini bukan notifikasi, melainkan sebuah panggilan masuk. "Arnes?" gumam Brianna setelah membawa ponsel ke depan wajah dan melihat nama kontak kekasihnya disana. Brianna lekas menggeser tombol berwarna hijau di layar canggih itu kemudian membawa ponsel menempel di telinga kanannya. "Hallo, Arnes!" sapa Brianna, seperti biasa. "Masih tidur atau sudah bangun?" tanya Arnes di seberang telepon. "Sudah. Aku sudah bangun," jawab Brianna. Ia kembali menaikkan kedua kakinya ke atas kasur, lalu mundur dan menyandarkan punggungnya pada sandaran ranjang. Brianna kembali melanjutkan. "Baru saja aku mau ke kamar mandi, tapi ponselku tiba-tiba berdering." "Itu artinya saat ini kamu masih berantakan?" Brianna tersenyum. "Mau bagaimanapun penampilanku, aku pasti terlihat cantik," guraunya dan disambut tawa oleh Arnes disana. "Oh iya, ada apa tadi kamu menghubungiku? Ada yang ingin kamu bicarakan, atau hanya sekedar ingin memberiku ucapan selamat pagi?" tanya Brianna. Lagi-lagi terdengar tawa kecil Arnes diseberang telepon. "Hem, aku memang berniat menyapamu. Tapi aku juga ingin bilang kalau aku mau kita bertemu. Kemarin kau membatalkan janji. Aku merindukanmu, Bri." Ungkap Arnes. Lantas, Brianna menggigit bibir. Ia merasa bersalah kepada kekasihnya itu, sebab kemarin Brianna sempat janjian dengan Arnes. Namun setelah dari apartemen Lucas, Brianna seolah melupakan segalanya termasuk janji temunya dengan sang kekasih. "Baiklah. Untuk yang kemarin, aku benar-benar minta maaf. Tapi, sebagai gantinya, ya sudah, hari ini kita bertemu di tempat biasa jam 8 pagi ini. Soalnya jam 10, aku ada urusan, Nes." terang Brianna. "Urusan?" beo Arnes mengulang kalimat Brianna. "Aku perhatikan, akhir-akhir ini kau selalu sibuk," lanjut Arnes. "Iya, dan kamu juga tahu apa alasan aku sibuk 'kan?" "Yeah, aku tahu. Tapi aku pikir itu bukan urusanmu 'kan? Bukankah urusan perusahaan adalah tanggung jawab Ayah dan adikmu?" "Apa maksudmu?" tampaknya Brianna mulai kesal. "Arnes?! Aku tengah menghadapi masalah besar dalam keluargaku dan seperti inikah reaksi yang kamu tunjukan padaku?!" "Honey, bukan seperti itu maksudku. Aku—," "Tidak semua hal bisa dilakukan oleh Ayahku dan adikku, Arnes. Dan untuk kamu … sebagai kekasihku, setidaknya kamu beri aku dukungan! Bukan malah protes begini!" "Okay, aku minta maaf," ucap Arnes disana. Brianna menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya sangat kasar. "Sekali lagi, aku minta maaf karena sudah membuatmu kesal pagi-pagi begini. Aku lepas kendali karena aku sangat merindukanmu. Aku merasa kehilangan, Honey. Kita terbiasa bertemu hampir setiap hari, dan aku belum terbiasa dengan situasi seperti ini. Sekali lagi, aku minta maaf," ujar Arnes. Brianna terdiam. Inilah yang Brianna sukai dari lelaki itu. Arnes selalu mengalah dan sangat mengerti tentang dirinya. "Yeah, it's oke. Aku juga minta minta maaf karena sudah marah-marah. Ya sudah, nanti jam 8 kita bertemu," ucap Brianna seraya menurunkan nada suaranya. "Oke." Arnes membalas. Setelahnya Brianna menjauhkan ponsel dari telinga dan mengakhiri panggilan dengan sang kekasih. Ia menyimpan benda pipih itu di atas nakas kemudian beranjak dari tempat tidur dan langsung melangkah menuju kamar mandi. Brianna harus cepat-cepat mandi dan bersiap-siap, karena ia tidak ingin membuat orang-orang tersayang di bawah sana menunggunya terlalu lama. °°° Sedangkan di tempat lain, Lucas meraih sebuah cangkir di depannya membawa menuju bibir dan menyeruput cairan hitam di dalamnya. Kopi hitam pekat adalah favorit Lucas. Ia meneguk cairan itu penuh nikmat dan setelahnya ia kembali menyimpan di atas meja. Lucas melepas earphone di telinga kanannya dan juga menyimpan benda kecil itu di samping cangkir kopinya. Usai mendengar percakapan seseorang yang berhasil ia sadap, lantas membuat wajah tampan itu semakin datar dan tak berekspresi. Rahang tegas dan berbulu itu mengetat semakin kuat. Drett ... drett ... drett Tiba-tiba ponselnya berdering, Lucas menoleh ke samping kanan melihat benda pipih itu tergeletak di sofa. Mom is calling... Lucas mengerutkan kening saat melihat nama kontak sang Mommy di layar ponselnya. Tak ingin membuat wanita tercintanya itu menunggu terlalu lama, Lucas pun bergegas menggeser tombol berwarna hijau itu dan menekan tombol loudspeaker. "Halo Mom," seru Lucas menyapa. "Halo sayang, apa kabar, Nak?" tanya wanita paruh baya itu yang tidak lain adalah Celine— Ibu kandung Lucas. Mendengar pertanyaan sang Mommy, lantas membuat Lucas terkekeh pelan. Hal itu juga disadari oleh Ibunya di seberang telepon. "Kenapa kamu malah tertawa?" tanya wanita paruh baya itu. "Karena pertanyaan mu lucu, Mom. Kau bertanya seperti itu seolah-olah aku sudah pergi bertahun-tahun lamanya," jawab Lucas. "Oh ayolah sayang, hampir satu bulan kamu tidak pulang. Apa, sih, yang sebenarnya sedang kamu lakukan di luaran sana, Lucas?" "Aku berada di London sekarang, Mom." Lucas menjawab. "London? Urusan pekerjaan?" tanya Celine. "Bisa dikatakan, iya, namun tidak sepenuhnya. Soalnya sekarang aku sedang melamar Brianna," jawab Lucas. Hening … Lucas tak mendengar sahutan apapun dari sang Mommy. Lucas tahu wanita paruh baya itu pasti syok saat mendengar ucapannya barusan. "Sayang, apa yang kamu katakan?" tanya Celine. "Aku sedang melamar Brianna," jawab Lucas mengulang. "Kamu tidak sedang bercanda 'kan, Lucas?" "Tentu saja tidak, Mom. Aku serius." "Dan kamu memberitahu Mom dengan cara seperti ini?!" "Aku tidak memberitahumu, Mom. Aku hanya menjawab pertanyaanmu. Well, mungkin hari ini aku akan kembali," ucap Lucas. "Kemana?" tanya Celine. "Ke kampung halaman." Lucas mengedikkan bahu, lalu melanjutkan. "Wellington tentu saja. Nanti setelah aku sudah kembali, aku akan menjelaskan semuanya." "Tentu kamu harus menjelaskan semuanya, sayang, karena ini adalah masalah serius! Mom tunggu kamu berikut juga dengan penjelasanmu. Dan Mom berharap kamu tidak sedang merencanakan sesuatu yang buruk untuk Brianna," ujar Celine. Lantas, Lucas mengerutkan kening. "Kau menuduhku, Mom?" "Mom berharap, bukan menuduh!" sarkas Celine. "Tapi kalimatmu barusan terkesan memojokkanku, Mom." "Karena kamu adalah putranya Morgan Grey, makanya Mom berkata seperti itu!" Lucas tertawa pelan saat mendengar ucapan sang Mommy. "Ya sudah kalau begitu … segeralah kembali dan jelaskan pada Mom dan kami semua," lanjut Celine. "Oke Mom," balas Lucas kemudian panggilan itu berakhir dan sang Mommy lah yang memutuskan panggilan terlebih dahulu. Lucas menyimpan ponselnya diatas meja, kemudian ia bangkit menuju kamarnya dan bersiap-siap. Tujuannya setelah ini adalah untuk memberi kejutan pada seseorang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN