Bab 9 Berita Baru

1630 Kata
Nomor antrean sudah hampir mendekati angka, yang kini aku pegang. Jantung ini makin berdetak tak beraturan, saat menatap wajah Regan. Aku berusaha untuk menyembunyikan identitas, terpaksa wajah ditutupi memakai cadar. Belum saatnya Regan tahu tentang anak Mas Raja. Biarlah rahasia ini tetap tersembunyi seiring waktu berjalan. “Zahra!” Panggil suster yang bertugas mengisi data pasien. Aku pun segera mendekat dengan langkah gemetar. Para wanita di sini, yang hamil rata-rata masih berumur sangat muda sama sepertiku. Gadis di desa ini cepat menikah, permintaan dari orang tua mereka, yang menginginkan anak segera membentuk rumah tangga. Para penduduk sini takut, kalau anaknya akan menjadi perawan tua jika menikah lebih dari umur dua puluh. Berada di sekeliling mereka membuatku canggung, apalagi dokter yang memeriksa adalah Regan. Dokter Regan adalah dokter umum, tidak heran jika dia bertugas dalam berbagai situasi. “Ya, Sus,” ucapku pada suster. Ia pun memintaku agar naik ke atas ranjang periksa, yang sudah disediakan. Sebentar lagi dokter akan datang, untuk memeriksa kondisi janin dalam perut. “Anak keberapa, Bu?” tanya suster mengulas senyum. “Pertama,” jawabku. Usai mengisi data, suster pun menyerahkan pada dokter Regan. Sekilas bisa kulihat, kening pria itu mengernyit ketika membaca data, yang diisi suster tadi. Dia memandang ke arahku dengan penuh selidik. Sebisa mungkin, jantung yang sedari tadi berdegup dengan kencang dinetralkan. Mungkin Regan sedang berpikir, kalau ada nama kesamaan dalam pengisian biodata. Detik selanjutnya, lelaki itu memeriksa kondisiku. Debaran dalam d**a masih tidak teratur, saat tangannya menempelkan alat medis di atas perut ini. “Sudah selesai,” ucapnya sembari melepas alat medis yang tadi dipakai buat memeriksa kandunganku. “Bayinya sehat.” Aku mengangguk tanpa menjawab. “Banyak makan buah dan sayur biar ibu dan bayinya sehat ya, Bu. Ini ada vitamin penguat kandungan, jangan lupa rutin minum agar ibu tidak kekurangan darah juga,” ujarnya. Dokter Regan tersenyum dengan ramah, menjelaskan dengan detail. Aku kembali mengangguk tanpa menjawab. Alis dokter Regan terangkat sebelah, saat jawabanku hanya mengangguk. Senyumnya masih tetap sama ramah, dan manis. Gayanya yang bersahaja tidak memperlihatkan, kalau dia anak seorang pengusaha kaya raya. Banyak wanita mencoba mendekatinya dengan berbagai cara, demi mendapat simpati dari dokter Regan Erlangga. Selesai periksa, dan memastikan bayi dalam kandungan ini baik-baik saja, aku pun berlalu dari pria berjas putih itu. Masih diselimuti rasa penasaran, dokter Regan memperhatikan gerak-gerikku setiap melangkah. Terlihat dari ekor matanya, yang terus mencuri pandang ke arah kaki melangkah. Masih banyak ibu-ibu hamil yang mengantre untuk diperiksa. Mereka rata-rata berantusias, ingin diperiksa dokter Regan. Malah ada yang ingin perutnya dielus pria itu. Katanya, biar ketampanan dokter Regan menular, seperti bayi yang ada dalam kandungan. “Hei … kalian tau gak sih? Kalau dokter yang ditugaskan di puskesmas ini sangat tampan?” Seorang ibu tua paruh baya nyerocos ngegosipin dokter Regan. Ia begitu berantusias mengantre di antara barisan yang lain, padahal dirinya sedang tidak hamil. “Iya, Bu. Aku seneng deh diperiksa sama dokter tampan biar anak dalam kandunganku jadi ikutan tampan,” sela seorang wanita muda menimpali. Para wanita yang sedang hamil makin bersemangat karena diperiksa dokter Regan. Aku berlalu dari hadapan mereka, yang masih menggosip ria. Membandingkan ketampanan dokter Regan dengan anaknya. Pandanganku beredar di sekeliling kerumunan para lansia, yang sedang berobat pada bilik sebelah. Aku mencari keberadaan nenek yang tidak terlihat di tempat duduknya semula. Aku panik melihat wanita tua itu tidak ada dimana pun. Segera kutelusuri ruang-ruang puskesmas untuk mencarinya. “Zahra?!” Kakiku berhenti melangkah ketika sebuah suara menghentikan. Volume yang tidak asing lagi terdengar menyapa. Kubalikkan badan, dan melihat ke belakang. “Nenek?!” Mataku membulat sempurna, melihat nenek ada di hadapan dengan tersenyum lebar. “Sedang apa kamu di sini?” “Aku mencari Nenek sedari tadi.” Nenek tersenyum. “Ayo kita pulang! Nenek sudah selesai diperiksa.” Wanita yang masih kelihatan segar itu mengajak keluar dari ruang pengobatan. Kami berjalan menuju koridor puskesmas. Saat melewati barisan ibu-ibu hamil, mereka masih bergosip tentang ketampanan dokter Regan. Pesanan donat buatanku dari hari ke hari makin meningkat. Ini adalah rezeki dari sikecil yang membawa berkah. Aku begitu sibuk mempersiapkan pesanan, seratus bungkus untuk acara ulang tahun pelanggan. Seorang pembeli dari kalangan atas memesan kue buatanku, untuk pesta ulang tahun buah hatinya. Pesanan itu harus segera diantar tepat waktu, sebelum pukul dua belas siang. Jam empat pagi aku sudah bangun, dan membuat adonan. “Nek, aku pamit ya, mau mengantarkan pesanan kue kepada pelanggan,” ucapku pada nenek. Tanpa menoleh ke arahku, nenek masih berkutat dengan pekerjaannya. Wanita tua itu merajut untuk mengisi waktu luang. Tangan tua yang keriput, dengan lincah mempermainkan jarum, dan benang membuat sebuah topi. Di usia yang sudah senja, nenek masih terlihat aktif mengerjakan pekerjaan sehari-hari. “Hati-hati di jalan, Nduk!” “Iya, Nek.” Aku berpamitan, dan menyalami nenek sebelum berangkat mengantar pesanan. “Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Di depan sudah menunggu ojek online yang kupesan tadi. Segera aku berangkat menuju kepada pelanggan, yang memesan untuk acara ulang tahun anaknya. Nama pemesan adalah Melda, seorang wanita dari keluarga kaya. Tiga puluh menit kemudian, aku tiba di rumah wanita yang memesan kue tadi. Segera turun dari motor, dan memencet bel yang ada di depan pintu pagar. Seorang wanita berpenampilan rapi memakai gaun keluar, dengan dandanan ala Cinderella. Mungkin ia mengadakan pesta ulang tahun, dengan tema putri dongeng. “Cari siapa?” tanyanya mengulas senyum. “Apa benar ini rumah Nyonya Melda?” tanyaku. Dia mengangguk. “Iya.” “Saya Zahra, mau mengantar pesanan donat yang dipesan kemarin.” “O ... mari masuk! Saya sudah menunggu sejak tadi,” ucapnya dengan sangat ramah. Wanita dengan gaya princes itu pun memintaku masuk. Kulangkahkan kaki ini, kedalam sembari menjinjing kantongan pelastik berisi donat. Rumah ini sangat besar, dan mewah, perabotannya bergaya luar negri. “Tunggu sebentar ya, Mbak! Saya akan mengambilkan uangnya,” ucapnya sembari berlalu. Aku duduk di sofa mewah berwarna coklat s**u, memandang sekeliling. Pandanganku tertuju pada sebuah foto keluarga, yang tergantung dengan bingkai emas. Tunangan Mas Raja ada di foto itu. Ternyata pemilik rumah ini adalah kakak dari adik tunangan mantan suami. Secepat itu Mas Raja mendapatkan pendamping pengganti diriku. Aku akui gadis pilihannya sangat cantik, dan berasal dari keluarga kaya. Berbeda denganku yang hanya seorang anak yatim- piatu, tidak tau asal-usul dari mana. “Ini uangnya, Mbak,” ucap wanita berkulit putih, dan bermata lebar. Tingginya seperti artis model pameran busana. Dia memberikan uang sembari mengulas senyum. Uangnya berjumlah lebih, Mbak Melda yang berparas cantik tersebut memberikan sebagai tips, karena sudah mengantar ke rumah tepat waktu. “Mbak, ini uangnya berlebih,” wanita itu menolak uang yang dikembalikan. “Itu sebagai ganti ongkos karena kamu sudah tepat waktu mengantar.” Aku tersenyum sembari mengucapkan terima kasih. Selesai transaksi, kuputuskan untuk segera pulang. Sebelum pulang aku bertanya pada pemilik rumah, siapa wanita yang ada dalam foto keluarga, memakai baju batik berdiri di sebelahnya. “Mbak, itu siapa wanita yang berdiri di sebelah kamu memakai baju batik?” tanyaku penasaran. “Dia, adikku. Tunangannya seorang polisi. Sebentar lagi akan menikah. Mereka sudah lama pacaran dari jarak jauh, putus nyambung,” jelasnya. Tidak ku sangka, jika selama ini Mas Raja mempunyai hubungan jarak jauh tanpa sepengetahuanku. Lelaki itu menjalin kasih dengan wanita lain, selama kami pacaran. Kenapa tidak jujur saja dari awal, jika sudah punya gadis lain. Tidak perlu menikah denganku, andai dia lebih mencintai perempuan itu. Mengapa Mas Raja berbohong. Apa yang dia sembunyikan, dan kenapa pacarnya tidak dijadikan istri saja jika memang dia mencintai. Ya Allah ... dadaku terasa sakit seperti diremas-remas. “Cantik,” ucapku tersenyum kecut. Kutahan air mata agar tidak jatuh m*****i pipi. Sabar adalah doa yang terbaik untuk saat ini. Aku yang hamil anak Mas Raja, tetapi wanita lain yang akan mendampinginya. “Adikku seorang model sekaligus pemimpin perusahaan, Mbak. Dia anak bungsu dari tiga bersaudara,” lanjutnya. “Namanya Giska.” “Bagus namanya,” sahutku masih berusaha tersenyum. Meski Mbak Melda adalah kakak—kandung—Giska, sifatnya jauh berbeda dengan adiknya. Mbak Melda menjelaskan panjang lebar tentang adiknya. Di sebelah foto ibunya, berdiri sosok pria tampan dengan perawakan kulit putih, dan tinggi. Aku melihat dan memperhatikan semua foto-foto, yang tergantung dengan bingkai emas di dinding. Keluarga Mbak Melda sangat lengkap, dan mempunyai kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Selesai serah terima, dan mengobrol dengan Mbak Melda, aku berpamitan pulang. “Mbak, aku pamit pulang ya. Tugasku sudah selesai mengantarkan pesanan kue donat. Selamat ulang tahun buat anaknya,” ucapku mengulas senyum. Mbak Melda menahanku, agar tidak usah pulang dan mengikuti acara pesta ulang tahun. Aku menolak dengan cara halus. Meskipun kami hanya kenal dari sosmed namun, Mbak Melda orangnya baik, dan ramah, tidak seperti orang kaya pada umumnya, yang kebanyakkan sombong. “Maaf, Mbak. Bukan menolak rezeki tapivaku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan,” tolakku. Mbak Melda sedikit berwajah masam keinginannya ditolak. “Yah, padahal Mbak mau kenalin kamu dengan adik Mbak yang nomor dua,” jelasnya dengan wajah cemberut. Raut wajah Mbak Melda berubah, saat aku menolak niat baiknya. Sudah sedari tadi berada di rumah Mbak Melda mengobrol. Kasihan nenek ditinggal sendiri di rumah. “Maaf, Mbak. Assalamualaikum.” Aku berpamitan pulang dengan Mbak Melda. Saat hendak bangkit dari tempat duduk, seorang pria muncul dari depan pintu, membawa seorang anak kecil yang cantik berusia lima tahun. Tanpa sengaja pandangan kami beradu. Ia tersenyum sementara aku tersipu malu. “Natan, kemarilah!” Pria yang dipanggil namanya pun datang mendekat ke arahku, dan Mbak Melda. “Ya, Mbak,” sahutnya. Ekor matanya masih mencuri pandang ke arahku. “Kenalkan ini, Zahra. Dia yang tadi mengantar pesanan kue donat untuk ulang tahun Syifa,” jelas Mbak Melda. Natan mengulurkan tangannya ke arahku, dan menyebutkan nama dengan mengulas senyum. “Natan,” ucapnya. Seperti habis perjalanan jauh, jantungku berirama dengan kencang. Natan menyebutkan namanya dengan mengulas senyum, membuatku jadi salah tingkah. * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN