PART. 12

1015 Kata
Pagi harinya, sesuai janji Revano, mereka kembali ke rumah sakit, untuk membayar biaya persalinan si ibu, dan Revano sudah meminta pengacara ayahnya, untuk membantu mencabut laporan mereka terhadap si bapak di kantor Polisi. Mereka juga memberi uang untuk biaya pulang ke kampung. Semua janji Asma pada si ibu sudah ia lakukan. Si bapak sampai bersujud memohon maaf, dan mengucapkan terima kasih pada mereka berdua. Si ibu tidak henti menangis haru, dan tidak henti mengucapkan terima kasih pada mereka berdua. Asma ikut meneteskan air mata, saat ibu memeluk bayinya. Ia tidak bisa membayangkan andai hal seperti itu terjadi pada dirinya. Setelah semua urusan selesai, mereka ke luar dari rumah sakit.  Mereka sudah di dalam mobil, Asma masih berusaha menahan air matanya. "Kenapa?" Revano menatap Asma yang mengusap matanya. "Kangen Amma, dan Abba," Asma mendongakkan wajahnya menatap Revano. Revano mengelus pipi Asma lembut. "Kita berangkat setelah sholat Ashar, masih ada waktu untuk jalan-jalan. Kamu ingin ke mana?" "Om tidak bekerja?" "Aku bekerja di Kalimantan, Lili. Aku ke sini liburan." "Kerja di mana?" "Aku punya usaha rental mobil, dan alat berat. Mobil, dan alat beratku banyak disewa tambang, dan perkebunan kelapa sawit." "Oh, berarti Om punya banyak duit. Jadi orang jangan lepit dong, Om." "Pelit, Lili.' "Nah itu." "Ayo, kamu ingin ke mana?" "Tidak ingin ke mana-mana. Aku ingin tidur saja," Asma menggelengkan kepala. "Mumpung di Jakarta, kamu bisa jalan-jalan," bujuk Revano. "Biaya jalan-jalannya, nanti masuk ke hutangku, iya'kan?" Mata besar Asma yang indah mendelik ke arah Revano. Revano tertawa, ditarik puncak hidung Asma yang mancung. "Hutangmu lunas, kalau kamu jadi istriku, itu perjanjiannya, bukan?" "Iya, aku akan pegang janjiku. Meski aku bukan pria, yang harus bisa memegang omongannya. Tapi, asal Om tahu, ini bukan pertama kalinya aku ke Jakarta, Om. Dari bayi aku itu sudah sering ke Jakarta. Keluarga niniku, semua tinggal di Jakarta, eeh ada yang tinggal di Bandung. Nenek Vio, adiknya niniku. Kakakku juga tinggal, dan kuliah di Bandung." "Kamu punya kakak?" "Hmmm, laki-laki, bukan pempruan!" "Perempuan, Lili." "Nah itu!" "Ooh," Revano ingin menyalakan mesin mobilnya, tapi tangan Asma menahannya. "Om!" "Ada apa?" "Enghh, boleh pinjam ponselnya tidak?" "Buat apa?" "Aku ingin teplon Abbaku." "Kamu ingat nomer telponnya?" Kepala mungil itu menggeleng. "Lalu, bagaimana kamu bisa menelpon Abbamu, Lili?" "Aku akan mencari nomer telpon kantor Abba di google, pasti ada." "Kenapa tidak kamu lakukan dari kemarin, biar orang tuamu tidak mencemaskanmu, Lili." "Aku'kan kabur, Om. Masa harus kisah, eeh kasih kabar!" "Terus, kenapa sekarang ingin telpon?" "Aku kangen.... " Asma mulai terisak pelan. "Nanti, setelah tiba di rumah, baru kamu telpon ya." "Heum," kepala Asma mengangguk. Karena Asma diam, Revano juga diam saja sepanjang perjalanan pulang. Tiba di rumah, rumah sangat sepi. Kata bibik, ibu Revano pergi ke rumah Vina, karena Viko sedang demam. Mereka duduk di ruang tengah, Revano mengeluarkan ponselnya dari saku kemeja. "Ini, pakailah." Vano menyerahkan ponsel kepada Asma. Asma menerima ponsel Revano. "Pakai sandi," gumamnya dengan wajah cemberut, dan bibir manyun. Revano menatap bibir Asma. 'Ya Allah, jauhkan aku dari semua godaan setan yang terkutuk," batin Revano. "Om!" Asma berseru kesal, karena Revano belum juga mengambil ponsel yang ia sodorkan, agar Revano membuka sandi ponsel itu. "Ooh, iya," Revano tersadar dari terpukaunya. Diambil ponsel dari tangan Asma. Setelah ia buka, ia serahkan kembali ponselnya pada Asma. "Assalamuallaikum, Mbak Atun, ini Asma.... " "...." "Ulun minta tolong, katakan pada Abba, agar menelpon ke nomer ini," ucap Asma, dengan air mata mulai berjatuhan di pipinya. "...." "Om, berapa nomernya?" Revano menyebutkan nomer kontak ponselnya. Asma mengatakan kepada orang yang ditelponnya. "...." "Alamat rumah ini di mana?" Asma kembali bertanya pada Revano. Revano menjawab pertanyaan Asma dengan menyebutkan alamat lengkap rumah orang tuanya. "Tolong ya Mbak Atun, terima kasih, Assalamuallaikum." "Sudah?" "Belum, tunggu Abba telpon ludu, eeh dulu." Air mata kembali membasahi pipi Asma. "Jangan menangis terus, matamu bisa bengkak. Nanti dikira orang tuamu, aku menyiksamu," bujuk Revano. Ponsel Revano berbunyi, panggilan video call. "Jawab, Om!" "Itu mungkin Abbamu," sahut Revano. "Bukan, itu ada namanya, Sasa Queen." Asma menunjuk nama di layar ponsel. Revano terdiam, ia tidak percaya, lalu direbut ponsel dari tangan Asma. Memang benar, nama Sasa Queen yang tertera di sana. Itu nama panggilan Revano untuk Clarissa Qanina. Revano bangun dari duduknya, ia menjauhi Asma. Revano berjalan ke teras samping rumah. Baru ia menerima panggilan video call dari ponselnya. Asma menunggu, sesekali ia menatap Revano yang duduk di teras samping, masih sibuk video call dengan Sasa. Asma menghela napasnya dengan kecewa, ia membaringkan tubuhnya di sofa.  Dan, membiarkan kantuk menyerang matanya. Asma terbangun, karena ada yang menggoyangkan lengannya. "Non Asma." "Bik.... " Asma bangun dari berbaringnya. "Ada yang mencari Non," ujar Bibik sambil menunjuk ke ruang tamu dengan jempolnya. "Siapa?" "Katanya Paman Non, namanya Arka." "Paman!" Asma langsung berlari ke ruang tamu, seorang pria tinggi, dan gagah bangkit dari duduknya. "Asma!" "Paman!" Asma menghambur ke pelukan Arka, ia menangis sesunggukan di d**a pamannya. "Duduk dulu, Sayang. Lalu ceritakan apa yang terjadi," bujuk Arka. Asma menggeleng, ia tidak mau melepaskan pelukannya di tubuh Arka. Tangisannya terdengar nyaring. "Berhenti dulu menangisnya Sayang, biar kamu bisa video call dengan Abba, Amma, Kai, dan Nini. Mereka mencemaskanmu." Arka terus membujuk keponakan terkasihnya, tapi Asma terus menangis di dalam dekapannya. "Mereka marah tidak, Paman?" Asma mendongakan wajahnya. Arka menghapus air mata di pipi Asma. Ditangkup wajah polos Asma dengan kedua telapak tangannya. "Mereka tidak marah, mereka mencemaskanmu, Sayang. Ayolah, kita duduk dulu, ceritakan apa yang terjadi." "Maafkan aku.... " Asma kembali menjatuhkan kepala di atas d**a Arka. Arka mengusap lembut kepala keponakannya. "Sayang, jangan menangis terus, ayolah berhenti menangis ya.... " bujuk Arka. Seseorang yang baru datang, dan berdiri di ambang pintu mengepalkan kedua telapak tangannya, mendengar kata sayang yang diucapkan Arka pada Asma. "Lili!" Sontak Asma, dan Arka melepaskan dekapan mereka. Revano masuk, ia meletakan paper bag di tangannya ke atas sofa, lalu ia menarik tangan Asma agar menjauhi Arka. Revano merasa, Asma orang yang mudah terpedaya, ia tidak ingin.... "Om darimana?" "Dia siapa? Kenapa kamu mau dia peluk? Jakarta bukan kampungmu, Lili. Kamu tidak bisa mempercayai orang begitu saja!" seru Revano kesal. Ditatap Arka yang sedang tersenyum ke arahnya. "Kenapa anda tersenyum, anda siapa?" Revano menatap mata Arka. Arka menundukan kepala untuk menyembunyikan senyumannya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN