Asma, dan Revano tiba di rumah. Asma tertidur di mobil. Revano bimbang, harus membangunkan Asma, atau harus menggendongnya ke dalam rumah. Akhirnya, ia putuskan untuk menggendong gadis bertubuh mungil itu.
Ini pertama kalinya ia menggendong gadis lain, selain Sasa. Mengingat Sasa, Revano menatap wajah Asma. Wanita yang menawarkan diri untuk menjadi istrinya, asalkan ia bisa membantu orang yang sudah sempat mengancam nyawanya.
'Terbuat dari apa hatimu, Asma. Kita baru bertemu tadi pagi, tapi sudah begitu banyak hal kita lalui, dalam satu hari ini saja. Aku tidak tahu, kamu ini aneh, atau istimewa?'
"Vano!"
Revano menghentikan langkah, ibunya ke luar dari kamar tidurnya, yang berada tidak jauh dari kamar tempat Asma tidur.
"Bu.... "
Renata melangkah menuju kamar Asma, ia buka pintu agar Revano bisa membawa Asma masuk. Revano masuk, lalu membaringkan Asma di atas ranjang. Renata membantu melepas sepatu Asma. Lalu menarik selimut, untuk menutupi tubuh gadis itu.
Menatap Asma, dan Revano. Renata merasa seperti melihat dirinya dengan si om raksasa bau.
"Besok aku akan mengantarnya pulang, Bu."
"Secepat itu, kalian baru datang, Vano."
"Tadinya, aku juga ingin dia lama di sini, tapi kejadian yang kami alami tadi, membuatku takut terjadi sesuatu padanya."
"Hhh, terserah kamu saja, Ibu hanya ingin kembali mengingatkan, jangan terlalu lama untuk mengambil keputusan. Jika kamu menginginkannya, segera halalkan dia bagimu. Jika kamu masih ragu, lebih baik lepaskan saja. Jangan menanamkan harapan, Vano. Jika kamu tidak mampu menjaga, dan merawatnya."
"Ya, Bu."
"Sekarang kamu tidurlah, kamu pasti juga mengantuk."
"Ya, Bu."
Revano, dan Renata ke luar dari dalam kamar Asma. Revano masuk ke dalam kamarnya, Renata juga masuk ke kamarnya.
"Dari mana?" Reno yang baru ke luar dari dalam kamar mandi menatap Renata.
"Vano baru pulang," sahut Renata.
"Ooh, bagaimana urusannya?"
"Aku tidak tanya, kasihan dia sudah mengantuk."
"Aku juga mengantuk, tidur lagi yuk, Sayang."
"Hmmm.... " Reno berbaring, Renata juga berbaring berbantalkan lengan suaminya. Reno memeluknya.
"Menurut Ayah, bagaimana tentang Asma?"
"Dia seperti kamu saat aku nikahi dulu. Tapi, kelihatannya, gadis itu lebih polos dari kamu."
"Hmmm, aku juga merasakan hal itu. Aku sudah katakan pada Vano. Kalau jangan lama-lama berpikir. Jika ingin Asma menjadi istrinya segera saja lamar dia. Kalau merasa tidak cocok, sebaiknya langsung diakhiri saja."
"Ehmmm," Reno hanya bergumam, Renata menolehkan kepala, untuk menatap wajah suaminya. Tampak mata Reno terpejam, Renata tersenyum, lalu ia kecup dagu Reno. Reno membuka matanya, senyum istrinya menyambut tatapannya. Reno mendekatkan bibirnya, dipagut lembut bibir istrinya.
"Lili!" Revano mengetuk pintu kamar Asma, untuk membangunkan gadis itu, karena waktu sholat subuh hampir tiba.
"Lili!"
Pintu terbuka, Asma langsung memeluknya, gadis itu menangis sesunggukan.
"Ada apa?"
"Sakit perut.... " jawab Asma di antara isakanya.
"Mungkin kamu masuk angin, karena kita pulang dini hari."
"Aku datang bulan," wajah Asma yang basah oleh air mata mendongak, dagunya menempel di d**a Revano, ia menatap wajah Revano dengan tatapan polosnya.
Revano mendongakkan kepala, menghembuskan kuat napasnya, sungguh, bibir Asma sangat menggoda imannya.
'Ya Allah, jauhkan aku dari godaan setan yang terkutuk.'
"Datang bulan kok menangis?"
"Perutku sakit, Om. Aku juga tidak punya pelabut, eeh pem-ba-lut," Asma mengeja agar tidak salah kata lagi. Kedua telapak tangan Revano terkepal, menahan keinginannya untuk mengecup bibir manyun Asma.
"Aku mintakan sama Ibu ya, kamu tunggu di sini saja."
"Hmm, jangan pakai lama!"
"Iya," Revano menuju kamar ibunya, diketuk pintu dengan perlahan. Renata menatap putranya yang sudah memakai baju koko, dan sarung juga peci.
"Tunggu, ayahmu masih di kamar mandi." Renata mengira, Revano mengetuk karena ingin mengajak mereka sholat subuh berjamaah seperti biasa.
"Bu, ada punya pelambut?"
"Pelambut?" kening Renata berkerut dalam.
"Eeh anu, maksudku pembalut," ralat Revano dengan wajah memerah.
"Pembalut, untuk apa?"
"Li ... ehmm maksudku Asma datang bulan, dia terus menangis karena sakit perut, dan tidak punya pembalut."
"Ibu sudah tidak datang bulan lagi, Vano. Jadi Ibu tidak punya pembalut."
"Di kamar Vina, atau Vani ada tidak ya, Bu?"
"Coba kamu cari saja, ini Asma masih di kamarnya?"
"Iya, Bu."
"Kamu cari pembalut, ibu ke kamar Asma dulu."
"Iya, Bu."
Revano menuju kamar adik-adiknya, sementara Renata menuju kamar Asma.
Diketuk pelan kamar Asma. Asma yang berurai air mata membuka pintu.
"Ibu.... " Asma memeluk Renata, lalu menangis di atas bahu Renata.
"Vano bilang, kamu sakit perut karena datang bulan?"
"Heum," Asma menarik kepalanya dari Renata, kepala mungil itu mengangguk.
"Kamu berbaring ya, Vano sedang mencarikan pembalut. Ibu ambilkan botol berisi air hangat dulu, untuk ditempelkan di perutmu."
"Tidak bisa berbaring, nanti ngecap di sprei.... " sahut Asma manja.
"Ya, sudah, kamu tunggu Vano dulu, setelah pakai pembalut baru berbaring."
"Terima kasih ya, Ibu. Maaf, aku jadi memperotkan, eeh ... anu, me.... "
"Merepotkan, Li ... Asma!" Revano yang sudah berdiri di belakang ibunya, meralat ucapan Asma.
"Nah itu!"
Renata tersenyum mendengar ucapan Asma yang terasa lucu baginya.
"Ini pembalutnya," Revano menyerahkan bungkusan berisi pembalut pada Asma.
"Terima kasih, Om."
"Om?" Renata menatap Asma, dan Revano bergantian.
"Hmmm, Om raksasa, Buto Ijo, habisnya Bang Vano besar sekali, Bu. Seperti raksasa," celoteh Asma. Renata tersenyum, teringat akan dirinya sendiri yang memanggil Reno, Om raksasa bau.
"Ada apa, kenapa kumpul di sini, bukannya di musholla?" Reno menatap tiga orang di depannya.
"Asma sakit perut, Ayah. Kalian berdua ke musholla duluan, Ibu mau mengambil botol berisi air hangat dulu untuk mengompres perut Asma."
"Asma sakit perut?" Reno menatap Asma.
"Iya, Ayah."
"Ooh, Ayah sama Abang Vano ke musholla dulu ya."
"Iya, Ayah."
Renata tersenyum senang, Asma terlihat nyaman berada di antara mereka, meski baru satu hari mereka saling kenal. Tapi, sudah seperti kenal lama.
"Ibu ke dapur dulu, Asma pakai pembalutnya ya."
"Iya, Bu. Terima kasih, maaf jadi merepotkan."
"Tidak apa." Renata menyusul Reno, dan Revano menuruni tangga.
BERSAMBUNG
FYI