Sinar matahari yang masuk melalui celah gorden membuat mata yang masih terpejam itu bergerak-gerak. Dan terbuka beberapa saat kemudian. Mata biru itu mengerjap sebelum terbuka lebar menyadari kamarnya sudah terang. Alicia duduk dengan cepat, mengucek mata beberapa mengusir kantuk yang masih saja menempeli mata dan membuat matanya ingin kembali terpejam. Alicia menggeleng pelan, menurunkan kaki dan menapakkannya ke lantai.
Bergegas gadis itu membuka gorden dan jendela kamarnya. Alicia mendesah jengkel, ia terlambat bangun lagi pagi ini. Dengan lunglai gadis itu menuju kamar mandi. Semua ini salah Adam yang terlalu mementingkan keinginannya untuk pindah dari kota ini. Ia terlalu memikirkan kata-kata pemuda itu, sehingga menjelang pagi baru ia bisa memejamkan mata dan terlelap. Dan Alicia tetap pada keputusannya, ia tidak menyetujui Adam menerima tawaran pria kota besar itu.
Sepuluh menit waktu yang diperlukan Alicia untuk menyelesaikan aktivitas kamar mandinya. Ditambah lima menit untuk merapikan diri, sehingga total ia menghabiskan waktu lima belas menit sebelum turun ke bawah dan memulai sarapannya. Selalu seperti ini setiap hari.
Tetapi hari ini tidak seperti kemarin. Hari ini Bibi Jo tidak meninggalkan catatan ataupun sarapan. Sehingga Alicia berinisiatif sendiri untuk membuat sarapannya sendiri. Semangkuk sereal cokelat madu kesukaannya dan segelas s**u vanila. Alicia menghabiskan sarapannya hanya dalam waktu lima menit. Ia sedang terburu, seharusnya ia tidak kesiangan lagi hari ini. Tetapi mau bagaimana lagi, sudah dua malam ini matanya tidak mau cepat terpejam. Selalu tidur menjelang pagi membuatnya ketinggalan agenda melihat matahari terbit.
Alicia berjalan sambil membuka ponsel dan mengecek notifikasi ponselnya. Ada pesan dari Adam dan juga... Paul? Alis Alicia mengernyit. Tumben sekali Paul mengiriminya pesan, biasanya juga tidak pernah. Paul memiliki kebiasaan buruk, berkunjung tanpa memberi kabar sebelumnya. Sehingga ia tidak bisa bersiap-siap. Dan sekarang Paul mengiriminya pesan, seperti bukan Paul saja. Alicia mengabaikan dua buah pesan dari dua orang pemuda berbeda itu. Ia akan membacanya nanti begitu tiba di toko, yang sepertinya tidak akan lama lagi.
Alicia mempercepat langkah. Bangunan toko bunga milik Bibi Jo sudah tampak di depan mata tinggal beberapa meter lagi dan ia akan sampai.
"Selamat pagi, Bibi Jo," sapa Alicia begitu tiba di depan toko. Bibi Jo asyik menyusun beberapa bunga di rak di depan toko, yang seharusnya menjadi tugas Alicia. " Maaf aku terlambat lagi hari ini."
Bibi Jo menoleh. "Oh, hai, Sayang. Selamat pagi juga," balasnya hangat.
"Maafkan aku bangun kesiangan lagi hari ini," ucap Alicia lemah. Gadis itu menundukkan kepala.
Bibi Jo tersenyum hangat. "Tidak apa-apa," sahutnya. "Kau kan lebih sering bangun pagi, jadi Bibi rasa tidak apa-apa kalau Bibi menggantikan tugasmu sekali-sekali."
Alicia makin merasa bersalah. Gadis itu makin menunduk dalam. "Maaf," ucapnya lirih nyaris tak terdengar.
Bibi Jo menggeleng pelan. Ia sangat tahu bagaimana sifat keponakan satu-satunya. Alicia selain gampang menangis juga gampang merasa bersalah. Ia akan sangat menyesal bila sudah melakukan kesalahan, sekecil apa pun kesalahan itu.
"Tidak apa-apa, Sayang." Bibi Jo mengusap pucuk kepala Alicia lembut. "Bibi tidak keberatan menggantikan pekerjaanmu. Sangat menyenangkan!" Senyum Bibi Jo semakin lebar.
Alicia mengangkat kepala menatap Bibi Jo.
"Sekarang kau bisa mengenakan celemekmu."
Alicia mengangguk. "Iya, Bibi. Aku permisi ke dalam dulu."
Alicia segera memasuki toko, setengah berlari menuju ke arah belakang untuk mengambil celemeknya. Dan kembali keluar setelah selesai mengenakan celemek. Alicia mengambil alih pekerjaan Bibi Jo, meminta perempuan itu untuk duduk menunggu di belakang meja kasir. Dengan cekatan Alicia menata dan merapikan bunga-bunga yang dipajang di depan toko. Setelah yakin semuanya terlihat sempurna barulah gadis itu kembali ke dalam toko, ia akan lanjut merapikan bunga-bunga yang ada di dalam toko. Selalu seperti ini setiap hari, tetapi Alicia tidak pernah mengeluh. Ia menyukai pekerjaannya. Bukankah kalau kau menyukai dan menikmati apa yang kau kerjakan, semua akan lebih mudah dan indah?
Tetapi Adam sepertinya tidak berpikiran sama sepertinya. Pemuda itu bersikap seolah tidak pernah menikmati pekerjaannya sebagai penjaga kasir di restoran milik Mr. Hulk. Padahal setahu Alicia, Mr. Hulk adalah pria yang baik. Patrick tidak pernah menceritakan hal-hal buruk tentang pria bertubuh besar itu. Selalu hal-hal baik yang keluar dari mulut Patrick kalau mereka membicarakan restoran tempat Patrick dan Adam bekerja.
Lalu apa yang membuat Adam tidak betah? Padahal selama ini Adam terlihat baik-baik saja dengan pekerjaannya. Pemuda itu tidak pernah mengeluh. Tetapi mengapa sekarang Adam ingin berhenti bekerja dan lebih memilih untuk keluar kota? Apa pekerjaan yang ditawarkan pencari bakat itu sangat menggiurkan sampai-sampai membuat Adam ingin berhenti bekerja di restoran?
Alicia mengembuskan napas pelan. Ia sudah selesai merapikan dan menyusun bunga-bunga di dalam toko. Sekarang ia dan Bibi Jo bisa santai sejenak sebelum ada pembeli. Sekarang memang masih terbilang pagi, kemarin para pembeli berdatangan tepat sebelum dan sesudah makan siang. Alicia mengambil tempat di depan bunga-bunga yang baru disusunnya. Mengambil sebuah bangku dan mendudukinya. Bangku ini memang bangku yang sudah biasa didudukinya. Alicia mengambil ponsel dari kantung celemek. Ia lupa kalau belum membuka pesan-pesan dari Adam dan Paul.
Alicia memilih untuk membuka pesan dari Adam terlebih dahulu. Senyum manisnya mengembang sempurna membaca isi pesan itu.
Selamat pagi, pusat semestaku. Aku mencintaimu!
Hanya kata-kata pendek tapi itu sudah bisa membuat pipi Alicia merona hebat. Adam bukan pemuda yang romantis. Pemuda itu sangat jarang mengumbar kata-kata manis seperti dalam pesannya. Adam lebih suka bertindak daripada berkata-kata. Lalu, dari mana datangnya kata-kata manis dalam pesan Adam? Alicia menggeleng. Masih dengan senyum yang menghiasi bibirnya, Alicia mengetikkan balasan untuk pesan Adam.
Aku juga mencintaimu!
Alicia merasakan pipinya makin memanas. Mengulum bibir, Alicia mengipas-ngipasi wajahnya menggunakan tangan kanannya yang kosong. Tak ada balasan dari Adam, dibaca pun tidak. Alicia tahu kalau Adam pasti sedang sibuk sekarang, sehingga ia memakluminya.
Jari telunjuk Alicia bergerak, menyentuh pesan atas nama Paul Santana. Alisnya sedikit mengernyit ketika membaca pesan pemuda itu. Siapa pun orangnya di Southville pasti mengenal Paul. Pemuda itu sangat ramah, di balik tampangnya yang sedikit sangar. Paul masih sangat muda, tetapi tubuhnya yang besar dan berotot dengan kulit kecokelatan membuat Paul terlihat lebih tua dari usia yang sebenarnya. Pemuda pemilik salah satu bar ternama di Southville itu adalah kakak angkatnya.
Hai, apa kabar, Gadis Kecil? Bisakah kita bertemu nanti? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan.
Alicia cemberut setelah membaca pesan itu. Kesal pada sebutan yang diberikan Paul untuknya. Entah sudah berapa kali Alicia meminta pada Paul untuk tidak menyebutnya seperti itu. Tetapi Paul tetap memanggilnya gadis kecil. Memang ukuran tubuh Paul besar, berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya sebatas pertengahan d**a pemuda itu. Tapi kan sekarang ia sudah besar, sudah hampir memasuki fase dewasa. Bukan lagi gadis kecil seperti yang dikatakan Paul.
Alicia mengetikkan pesan balasan pada Paul. Ia tidak tahu apa yang ingin dibicarakan pemuda itu. Entah penting atau tidak. Bagaimana kabar Paul juga ia tidak tahu, mereka terakhir bertemu hampir sebulan yang lalu. Dan selama itu Paul tidak pernah mengiriminya pesan, baru sekarang.
Aku baik-baik saja, Pria Besar. Apa yang ingin kau bicarakan, apakah penting? Kalau begitu datanglah nanti saat makan siang, aku akan mentraktirmu.
Alicia memasukkan ponselnya kembali ke dalam kantung celemek setelah membalas pesan Paul. Ada seorang pembeli memasuki toko.
***
Paul sedang berada di restoran cepat saji tempat Adam bekerja ketika Alicia membalas pesannya. Pemuda tampan itu tersenyum membaca balasan pesan dari Alicia. Paul memberikan ponselnya pada Adam, menyuruh pemuda itu untuk membaca pesan dari kekasihnya.
Tawa kecil meluncur dari mulut Adam melihat huruf-huruf yang membentuk kata pria besar diketk Alicia dengan huruf yang lebih tebal. Seolah gadis itu menekankan penyebutan setiap hurufnya.
"Kurasa dia marah padamu," komentar Adam sambil mengembalikan ponsel Paul, meletakkannya tepat di depan pemuda itu.
Paul mengangguk. Pemuda itu juga tertawa, tawa yang sedikit lebih keras dari tawa Adam.
"Alicia tidak pernah suka aku memanggilnya gadis kecil," jawab Paul.
Tawa masih menghiasi wajah tampan Paul. Membuat beberapa pelanggan perempuan yang juga sedang makan di restoran cepat saji itu menoleh ke meja mereka. Dua orang pemuda tampan yang sedang tertawa gembira merupakan pemandangan langka bagi mereka. Sangat sayang kalau dilewatkan. Apalagi yang tertawa itu adalah Paul Santana dan Adam Wayne. Kedua pemuda itu mendapat julukan pemuda tertampan di Southville. Khusus untuk Paul ditambahkan pria terseksi. Otot-otot tubuh yang dibingkai dengan kulit kecokelatannya membuat setiap perempuan yang melihatnya tak akan menolak untuk menghabiskan waktu satu malam bersamanya.
Paul berbeda dari Adam yang lebih terlihat manis. Paul lebih suka bertelanjang d**a kalau sedang sibuk mengerjakan sesuatu di luar barnya. Sementara Adam tak pernah memperlihatkan tubuhnya. Tapi tetap saja, pakaian yang dikenakan Adam tak bisa menutupi otot-otot yang berada dibalik pakaian itu. Seseorang yang bermata jeli pasti bisa melihatnya. Termasuk Allan Hank yang menawari Adam pekerjaan sebagai model.
"Tetapi kau tahu kan, Alicia memang lebih kecil dari kita." Paul kembali tertawa. "Kurasa dia juga mengirimimu pesan," ucap Paul setelah tawanya berhenti.
Adam mengangguk. "Kurasa juga yeah. Tapi saat ini aku tidak menghidupkan sambungan data ponselku. Aku juga mematikan sambungan Wi-Fi, aku sedang bekerja sekarang."
Paul mengangguk mengerti. Di barnya, ia juga tidak memperbolehkan karyawan bermain ponsel saat sedang bekerja. Ia akan menghukum karyawan yang melanggar peraturan itu. Bermain ponsel saat bekerja bisa membuat karyawan tidak fokus.
"Aku akan berbicara dengannya kalau ada waktu, jangan khawatir." Paul menepuk lengan Adam.
"Apakah siang ini?" tanya Adam was-was. Ia tidak menceritakan soal lawakannya yang membuat Alicia kehilangan suaranya selama beberapa saat lamanya kemarin.
Paul menggeleng pelan. Wajah tampannya terlihat menyesal.
"Kurasa tidak," jawabnya menyesal. "Aku ke kota karena ada beberapa barang yang harus kucari. Juga mengambil barang yang kupesan di toko Mrs. Kingsley. Jadi saat ini yeah..." Paul membuka kedua tangan dengan bahu terangkat. "Aku masih belum bisa menemui gadismu itu."
"Lalu, bagaimana kalau nanti dia menanyakannu? Aku harus menjawab apa?" tanya Adam. "Aku tidak mau menjadi bahan amukan Alicia."
Paul kembali tertawa pelan. Membayangkan Adam yang sedang diamuk Alicia sedikit lucu baginya. Karena ia tahu bagaimana Alicia kalau sedang marah.
"Itu urusanmu untuk menenangkannya kembali. Kau pawangnya, Man!" Paul meninju lengan Adam, kali ini lebih kuat dari pukulan yang pertama tadi.
Adam tak mengelak, tinjuan Paul tidak seberapa. Pemuda itu malah mencibir, bukan pada tinjuan Paul, melainkan pada perkataan pemuda itu yang mengatakan kalau ia dapat menjinakkan Alicia. Padahal kata-kata itu tidak benar, justru Alicia-lah yang dapat menjinakkannya.
Adam mengangkat kedua tangannya sebatas kepala. Pemuda itu menggeleng dengan alis terangkat dan mata yang melebar.
"Kau terbalik, Man, ia yang mengendalikanku bukan aku yang mengendalikannya," sahut Adam. "Tapi terserah kau saja lah."
Paul tertawa kecil lagi, kemudian memeriksa jam di pergelangan lengan kirinya. Paul membereskan beberapa barangnya yang bertebaran di meja, seperti rokok, pemantik dan ponselnya. Ia harus menemui Mrs. Kingsley di tokonya sekarang. Atau wanita paruh baya itu mengomelinya karena terlambat memenuhi janji.
"Aku pergi dulu," ucap Paul sambil berdiri. "Aku harus menemui Mrs. Kingsley sekarang atau perempuan itu akan membunuhku dengan omelannya."
Adam ikut tertawa mendengar kelakar Paul. Well, di balik tampangnya yang terlihat sangar, Paul sebenarnya termasuk orang yang humoris. Hanya saja itu berlaku untuk orang yang sudah sangat dekat dengannya. Termasuk Adam.
"Sampai nanti." Paul mengulurkan tinjunya di depan Adam.
Adam berdiri dan menyambut tinju besar itu dengan tinjunya yang tidak kalah besar. Adam mengantarkan Paul sampai ke depan pintu.
"Sampaikan salamku pada Alicia," ucap Paul sebelum memasuki truk-nya. "Katakan aku tergesa makanya aku tidak bisa menemuinya sekarang."
Adam tak menjawab. Pemuda itu hanya mengacungkan ibu jari mengiakan. Kembali memasuki restoran setelah Paul melajukan truknya ke arah toko Mrs. Kingsley.
"Aku tidak tahu bagaimana kau bisa berteman dengan lelaki mengerikan seperti Paul Santana itu." Patrick langsung menghampiri Adam yang duduk di belakang mesin kasir. Pemuda itu menarik sebuah kursi ke depan meja kasir dan mendudukinya. Kemudian baru melanjutkan perkataannya. "Paul Santana salah satu anak nakal di sekolah kita dulu."
Tentu saja Adam mengingatnya. Paul sering membully anak-anak penakut seperti Patrick saat mereka masih bersekolah di sekolah menengah. Tetapi Paul tidak pernah sekali pun menyentuh Patrick. Tentu saja itu karena Patrick adalah temannya. Paul dulu pernah mengatakan kalau teman dari temannya adalah temannya juga. Itu artinya Paul juga menganggap Patrick sebagai salah satu temannya.
"Tapi kan Paul tidak pernah mengganggumu dulu," sahut Adam.
Patrick mengangguk. "Tapi Paul Santana tetap saja menakutkan." Patrick bergidik.
"Juga tampan dan sexy," sambung Adam. "Paul adalah tipe lelaki idaman setiap perempuan."
Patrick mengernyit. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Maksudku...." Adam menunjuk tumpukan lemak yang berada di perut, lengan, pinggul dan paha Patrick. "Para perempuan sangat menyukai pria langsing dan berotot seperti Paul...."
"Daripada lelaki berlemak sepertiku!" potong Patrick memutar bola mata muak. Lemak di tubuhnya kerap kali menjadikannya sebagai cemoohan. Tetapi Patrick tidak peduli. Belum tentu ia bisa berteman dengan Adam dan Alicia kalau tubuhnya kurus.