Tak berhasil menemukan keberadaan Amira lantas membuat Fandy bergegas kembali ke sekolah. Sayangnya peraturan sekolah melarang murid membawa ponsel sehingga ia tidak bisa leluasa menghubungi orangtua Amira. Di saat mendesak seperti ini, berlarian ke sana kemari menyampaikan informasi hanya menambah pekerjaan saja. Dengan napas tersengal, Fandy berhasil sampai di depan kelasnya setelah berlari tanpa henti dari rumah sakit ke sekolah selama hampir dua puluh menit. Tangannya meraih pintu dan menyandarkan separuh tubuhnya untuk menghela napas sejenak. Murid di dalam kelas menatapnya penuh rasa takut, lebih tepatnya sebagian dari mereka merasa takut karena bersalah pada Amira. Setidaknya mereka punya andil atas apa yang terjadi pada Amira secara tidak langsung. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Amira atau bahkan gadis malang itu kehilangan nyawa, teman-teman sekelas yang pernah membullynya mungkin akan hidup dengan sisa penyesalan sepanjang hidup mereka.
“Gimana Fandy? Keadaan Amira gimana?” Ibu Senda tampak cemas, ia berdiri menatap Fandy dengan harapan mendapat kabar baik. Sejak tadi kepergian Fandy, suasana kelas berugah tegang dan senyap seketika. Tidak ada yang berani bersuara atau membuat keributan sekalipun hanya berbisik, kecuali Sashi. Gadis itu masih santai dan menganggap Amira hanya sengaja membuat sensasi untuk mencari perhatian.
Fandy menatap gurunya dengan tatapan sendu kemudian menggelengkan kepalanya. “Dia hilang, tolong kabari orangtuanya kalau Amira hilang.” Ujar Fandy dengan napas yang masih tersengal.
Guru muda itu tersentak mendengar kabar itu, bukan kabar baik yang ia terima namun sebaliknya lebih parah dari yang ia duga. Ketika menghubungi wali kelas Amira, guru itu justru diminta mewakili sesaat lantaran si wali kelas sedang berhalangan hadir. Dan ketika kepala sekolah menghubungi pihak keluarga Amira, yang terjadi justru keriuhan tangis shock dari ibu Amira.
“Mereka pasti sedang menuju ke sini, kita tunggu saja sampai mereka datang baru jelaskan lagi.” Ujar Bu Senda lemah. Keringat dingin mengucur di telapak tangannya, rasa bersalah pun mulai menggerogoti nurani guru itu. Mungkin sudah terlambat untuk menyesali ketidak-adilan yang ia lakukan pada muridnya itu.
Tak banyak yang bisa mereka lakukan selain diam menunggu kedatangan orangtua Amira, hingga akhirnya ibu Amira yang berusia kepala empat itu datang dengan wajah sembab dan tangis yang sesekali terdengar isakannya itu datang seorang diri dan menghadap ke ruang kepala sekolah. Fandy dan bu Senda segera menyusul ke ruang kepala sekolah untuk menyampaikan apa yang mereka ketahui. Hati Fandy seolah runtuh melihat seorang ibu yang begitu kehilangan anak semata wayangnya, begitupun dengan Fandy yang tak bisa tenang harus kehilangan sahabat sebaik Amira dalam kondisi seburuk ini.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bapak justru menyuruh saya ke sekolah dulu? Saya seharusnya ke rumah sakit kalau memang anak saya dibawa ke sana. Bagaimana kondisinya sekarang dan separah apa, hanya rumah sakit yang tahu. Lalu buat apa bapak suruh saya ke sini?” Kecam Lastri, ibu Amira yang menangis kebingungan. Ketika kepala sekolah mengabari insiden Amira, ia malah diarahkan ke sekolah padahal wanita yang melahirkan Amira itu ingin tahu di mana anaknya mendapatkan pertolongan.
“Tenang ibu, silahkan duduk dulu.” Jawab kepala sekolah yang berusaha tenang menghadapi kebingungan tamunya.
Lastri menolak tawaran itu, ia tetap berdiri dengan mata nanar meminta kepastian apa yang terjadi. “Di mana anakku sekarang? Buat apa bapak menahan saya kemari? Kalau dia memang kecelakaan kenapa masih membuang waktu di sini?” Ujar Lastri mempertegas keinginannya.
“Dia menghilang tante, kata suster di sana ada seorang wanita yang mengaku ibu Amira dan membawanya keluar dari rumah sakit.” Fandy yang tak tahan melihat kondisi ini, serta tak mampu berdiam lebih lama lagi, segera melontarkan informasi yang ia ketahui. Sontak setelah mendengar kabar itu, Lastri membelalakkan mata dan terhuyung duduk di sofa. Tubuhnya lemas seketika, bu Senda yang berada tak jauh dari samping Lastri langsung menyandarkan tubuh wanita itu agar tidak ambruk.
“Apa?” Pekik Lastri setelah tenanganya sedikit terkumpul.
“Kenapa bisa begitu? Aku ibunya! Siapa yang berani mengaku ibu dari anakku?” Lanjut Lastri, tak terima dengan apa yang ia dengar.
“Ibu tenang dulu, kami juga sudah membuat laporan. Itu sebabnya saya mengundang anda kemari, setelah saya meminta satpam mengecek kondisi Amira dan ternyata seperti yang Fandy sampaikan, Amira sudah keluar dari rumah sakit dibawa oleh seseorang yang mengaku ibunya. Apa ibu punya keluarga atau teman yang menganggap Amira sebagai anak?” Tanya kepala sekolah setelah memberikan penjelasan.
Lastri terdiam sejenak, berpikir lebih lanjut sebelum melontarkan jawaban. Tak lama kemudian ia menggelengkan kepala dengan lemah, “Tidak ada, kami tidak punya keluarga di kota ini. Ah … Aku harus memberitahu ayah Amira. Ini tidak bisa dibiarkan, siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada anakku? Dia pamit ke sekolah, dan kenapa pada jam sekolah dia berada di luar dan mengalami kecelakaan?” Tanya Lastri mengusut lebih jauh. Sebagai seorang ibu yang belasan tahun membesarkan Amira, ia tahu betul sifat Amira yang baik, rajin dan bukan tipe pembolos. Gadis itupun tidak pernah mengeluh sekalipun ia sering diledek dengan berbagai julukan cantik yang disorakkan orang sekitar saat melihat wajahnya. Padahal Lastri tahu anak gadisnya menyimpan luka, namun dengan lapang hati Amira menyimpan kepedihannya sendiri.
Fandy tertegun sejenak, antara harus menyuarakan kebenaran atau memendamnya. Tetapi ia tidak tahan dan kasian setiap kali melihat Amira menjadi bahan ejekan, caci maki serta prank yang kelewatan dan melukai perasaan gadis itu. Ketidak-adilan ini tidak boleh dibiarkan terus menindas Amira. Tidak ada seorangpun yang bersedia berteman dengan gadis berwajah mengerikan – menurut mereka – seperti Amira kecuali Fandy. Namun Fandy tak selalu sigap pasang badan membela gadis itu, ada kalanya ia kecolongan seperti yang terjadi pagi ini.
“Itu karena Sashi dan teman-teman lain mengejeknya. Amira setiap hari ditertawakan, dijadikan bahan ejekan teman-teman. Pagi ini bahkan lebih parah, hingga Amira tidak tahan dan berlari keluar dari kelas. Setelah itu….” Fandy memberanikan diri menyuarakan kebenaran, namun pengakuannya terhenti pada bagian yang sudah diketahui semuanya. Kelanjutan kejadian setelah pembullyan yang berujung tragis dan membuat hampir semua orang dirundung penyesalan.
Lastri tak kuasa membendung tangisannya, hatinya pilu membayangkan nasib malang anaknya yang tumbuh besar dan kenyang dengan hinaan. Kedua tangannya menutup mulutnya yang terus mendengungkan isakan. Naluri keibuannya tergerak, jangan sebut ia ibu yang bertanggung jawab jika tidak bisa membela hak putrinya di tempat ini.
“Bagaimana kalian bisa jelaskan kenapa anakku bisa mendapat perlakuan buruk di tempat yang seharusnya nyaman untuk belajar? Ini lingkungan sekolah, bukankah kalian mendidik murid dengan perlakuan yang sama? Saya yakin kalian pasti tahu perlakuan buruk yang dialami Amira, tapi kenapa kalian diam? Inikah fungsi kalian yang katanya digugu dan ditiru?” Pekik Lastri, ia benar-benar marah dengan apa yang ia ketahui, tidak disangka ia menyekolahkan anaknya bukan untuk bertambah pintar namun hanya menambah tekanan batinnya.
Kepala sekolah dan bu Senda hanya terdiam menunduk, tidak mereka pungkiri bahwa mereka tahu pembullyan pada Amira. Namun mereka seolah menulikan telinga dan membutakan mata hati untuk memberi perlindungan pada gadis malang itu, terutama bu Senda yang ikut-ikutan sentimen pada Amira.
“Saya tidak akan tinggal diam jika terjadi sesuatu pada Amira, akan saya tuntut sekolah ini.” Kecam Lastri yang kemudian memilih pergi dari hadapan mereka yang masih mematung.
***