“Bu, ada murid yang namanya Amira di kelas ini kan, dia mengalami kecelakaan barusan dan masih mengenakan seragam sekolah. Bapak kepala sekolah belum datang, juga wali kelasnya, jadi saya sampaikan ke ibu dulu sebagai pemberitahuan. Selanjutnya kita harus bagaimana bu?” Ujar bang Maman dengan suara yang cukup jelas didengar oleh murid-murid di dalam kelas.
Seluruh orang dalam kelas itu gempar, mulai dari bu Senda yang kalang kabut dimintai pendapat harus berbuat apa mewakili kepala sekolah dan wali kelas, kemudian Sashi dan Aldo yang masih terbayang kata-kata bermakna ancaman dari Amira sebelum berlari meninggalkan kelas karena bullyan mereka. Ditambah kata-kata Fandy yang mengingatkan mereka bahwa mereka akan menyesal karena telah memperlakukan Amira secara tidak manusiawi.
“Kita harus gimana ni, Shi? Gawat kalau tuh anak sampe koit trus gentayangan balas dendam ke kita. Hiks … Gue takut …” Ujar Della, suaranya terdengar bergetar saking ketakutannya.
Sashi mulai memucat namun ia masih berusaha memajang wajah tenang, seolah tidak akan ada hal buruk yang terjadi. “Halah, hari gini masih percaya tahayul. Mana ada setan yang bangkit lagi trus balas dendam, ada sih … Tapi itu cuman di film horror.” Elak Sashi, ia masih santai tertawa kecil mengejek nyali Della yang ciut duluan.
Namun Della dan Windy hanya saling pandang, mereka sungguh ketakutan sekarang. Tidak ada yang mustahil di dunia ini, termasuk sebuah pembalasaan.
“Terus Amiranya dibawa ke mana sekarang?” Tanya Bu Senda cemas.
“Ke rumah sakit Kharitas Utama yang paling dekat dari sini. Tapi kabarnya keadaannya kurang baik.” Bang Maman memperhalus kata kritis menjadi kurang baik, ia tidak tega menyampaikan kabar buruk itu dan terus berharap semoga Amira dapat tertolong.
Seisi ruangan hening, Aldo menelan ludah hingga jakunnya bergerak naik turun. Bisa dibilang ini merupakan reaksi dari sikap paniknya. Sementara Fandy yang masih shock terus menguping pembicaraan dan saat mendengar tempat Amira mendapat penanganan, cowok itu segera berlari menuju ke sana. Aldo dan sebagian murid melihat reaksi Fandy, namun mereka hanya sanggup melihat dan tak punya nyali untuk mengikuti jejak Fandy.
“Kabari orangtuanya segera, biar saya yang hubungi wali kelasnya sekarang.” Seru Bu Senda, usulan yang memang tidak terpikir sebelumnya oleh bang Maman karena satpam itu hanya berfokus pada pihak sekolah.
“Baik, bu.” Ujar bang Maman. Ia bergegas menuju ruang kantor untuk memeriksa data siswa dan nomor orangtua mereka.
Sekumpulan pria itu pun pamit kepada Bu Senda serta bang Maman. Maksud kedatangan mereka memang untuk menyampaikan informasi itu, karena mereka adalah saksi mata dan orang yang memberikan pertolongan pertama pada Amira hingga ambulance datang.
“Sekali lagi terima kasih, pak.” Ucap Bu Senda kepada para pria itu, ia memaksakan diri untuk rileks tersenyum meskipun hatinya tengah gusar. Bagaimana tidak? Guru itu juga punya andil atas sakit hati yang diderita oleh Amira. Meskipun caranya lebih halus ketimbang yang dilakukan Sashi secara terang-terangan, namun bu Senda pun tidak bisa dikatakan luput dari rasa bersalah. Sikapnya yang tidak menyukai bahkan condong jijik melihat tampang Amira itu membuatnya sedikit sentimen kepada gadis itu. Terkadang, bu Senda suka mempersulit Amira saat pelajaran berlangsung hingga tak elak gadis itu menjadi sasaran empuk bullyan.
“Gue bener-bener menyesal udah ikut-ikutan nyakitin dia. Telat nggak sih kalau gue tobat sekarang? Moga aja Amira selamat.” Bisik Della kepada Windy yang duduk di belakangnya. Mereka perlu bicara berbisik lantaran tidak sehati dengan Sashy tentang masalah ini. Sashi yang duduk di depan mereka tetap bersikukuh mempertahankan egonya untuk membenci Amira. Padahal apa yang perlu dibuat iri dari gadis seperti Amira? Gadis yang nyaris tidak ada keistimewaannya selain sikapnya yang tertutup dan pendiam.
Windy dan Della saling bertatapan, penyesalan selalu datang terlambat dan entah mereka masih punya kesempatan untuk minta maaf atau tidak pada gadis yang sering teraniaya karena mereka.
***
Fandy berdiri mematung di dalam ruangan UGD rumah sakit dengan napas yang masih tidak beraturan. Rasa shock-nya belum juga hilang lalu ditambah lagi dengan kenyataan yang lebih mengenaskan sekarang, ia tidak mendapati Amira dirawat dalam ruangan darurat tersebut.
“Permisi dokter, pasien kecelakaan yang bernama Amira, gadis yang memakai seragam sekolah sekarang dirawat di mana?” tanya Fandy panik kepada seorang dokter pria yang ia temui.
Dokter itu mengernyitkan dahi, “Pasien itu sudah dibawa pulang oleh keluarganya, padahal ia belum sadarkan diri tapi ada seorang ibu yang mengaku sebagai ibunya dan membawanya keluar.”
Fandy nyaris lunglai di tempat, ibu Amira yang membawa gadis itu keluar dari rumah sakit dalam keadaan belum sadarkan diri? “Dok, ibu Amira baru saja tahu kabar ini dan sedang menuju kemari. Lalu siapa yang membawa dia, dok? Kenapa pihak rumah sakit lalai mengijinkan orang keluar dengan prosedur yang mudah?”
Kini baik dokter maupun Fandy berdiri dengan pikiran kacau. Jika terjadi sesuatu pada Amira, bukan tak mungkin keluarga akan menuntut pihak rumah sakit yang lalai.
***
Flashback beberapa saat setelah Amira kecelakaan.
Tubuh Amira yang berlinang darah di bagian tangan dan kepalanya didorong terburu-buru memasuki ruangan UGD. Amira yang menjadi korban tabrak lari itu hanya seorang diri tanpa dampingan orang yang mengenalnya. Dalam keadaan sekarat itu, seorang wanita paruh baya menatap antusias padanya. Wanita itu berdiri memerhatikan penanganan dokter yang ala kadarnya lantaran belum ada kepastian dari pihak keluarga, dan belum ada yang menjamin pasien itu untuk diberi tindakan lebih lanjut.
Wanita bernama Mbah Wanti itu menghampiri bangsal di mana Amira tergeletak tak sadarkan diri. Ia menatap kosong pada wajah tua gadis belia itu yang sedikit terkontaminasi darah. Seorang perawat mendekati Amira lalu memeriksa serta membersihkan area luka di kepala. Mbah Wanti menatap lekat pada Amira kemudian mendongak pada si perawat yang tengah membasuh luka.
“Suster, saya ibunya. Bagaimana keadaannya?” Mbah Wanti menghampiri suster yang masih berkutat dengan luka Amira. Suster itu mendongak menatap wanita tua yang wajahnya mulai dihiasi kerutan.
“Oh, ibu keluarganya? Kondisinya sih mulai stabil bu, cuman luka luarnya lumayan dalam perlu dijahit. Ibu sudah ke bagian administrasi? Kami perlu persetujuan keluarga untuk melakukan beberapa tindakan.” Ujar suster itu.
“Saya mau bawa pulang saja sekarang, itu anak saya suster.” Ujar Mbah Wanti.
Suster itu mengernyitkan dahi, ini tindakan yang nekad menurutnya. “Tapi bu, kondisi pasien masih harus dalam pengawasan. Akan beresiko kalau dipaksa bawa pulang, setidaknya tunggu dia sadar.” Suster itu berusaha mencegah Mbah Wanti melakukan tindakan ekstrim menurutnya, membawa pulang pasien kecelakaan yang seharusnya masih di bawah pengawasan medis itu sangat berbahaya.
Mbah Wanti tetap bersikukuh meyakinkan. “Tidak apa suster, saya bisa bawa berobat ke dukun kampung. Pokoknya saya tidak akan menyalahkan rumah sakit kalau terjadi sesuatu pada anak saya.” Ujarnya sangat meyakinkan.
Dan tidak perlu prosedur berbelit bagi Mbah berusia kisaran enam puluhan itu, untuk mengeluarkan tubuh Amira yang masih belum sadarkan diri dari ruang UGD. Ia pun tidak kesulitan membawa gadis belia berwajah buruk rupa itu ke gubuknya. Mbah misterius itu mulai menyalakan sebatang dupa hitam yang aromanya menyeruak ke seluruh ruangan. Rumah kecil itu lebih layak disebut gubuk, dengan fondasi dan bahan bangunan yang nyaris sembilan puluh persen terbuat dari bambu dan beratap anyaman daun kelapa.
Mbah Wanti menarik kursi kayu lalu duduk di sisi ranjang, di sana Amira terbaring dengan kondisi memprihatinkan. Mbah Wanti menatap lekat wajah gadis malang itu, keriput yang hampir menyaingi keriput di wajah Mbah Wanti, ada pada wajah gadis yang usianya dipastikan belum menginjak kepala dua. Itulah sebabnya hati kecil Mbah Wanti luluh dan kasihan pada gadis itu.
“Amira….” Mbah Wanti membaca nama yang tertulis di seragam putih Amira. Wanita tua itu kemudian berdiri lalu berjalan ke ruangan lain yang hanya disekat dengan tirai anyaman bambu. Tak lama kemudian Mbah Wanti datang dengan tangan memegang sebuah baskom berisi air kembang tujuh rupa.
“Aku mesakke karo kowe, nduk. (Aku kasihan sama kamu, nak.)” Ujar Mbah Wanti dalam bahasa Jawa. Ia merasa perlu melakukan sesuatu untuk gadis malang itu, namun sebelumnya Mbah Wanti harus membuat Amira sadarkan diri.
Air dalam baskom itu berisi bunga dalam tujuh jenis, kemudian Mbah Wanti memasukkan sebatang arang ke dalamnya. Ia mulai melakukan ritualnya sembari memejamkan mata lalu mulutnya komat kamit membacakan sesuatu yang diyakini sebagai mantera. Setelah mata wanita renta itu terbuka, ia melirik ke arah Amira lalu menyelupkan tangan ke dalam baskom. Tangan dengan kulit yang keriput itu mengaduk air dalam baskom kemudian mengambil setangkai bunga dari dalam dan memercikkan air ke wajah Amira.
“Bangunlah!” Pekik Mbah Wanti memerintahkan pada Amira. Ajaibnya, seakan terkoneksi dengan perintah itu, Amira mulai membuka mata secara perlahan.
Kesadaran yang belum sepenuhnya itu membuat Amira harus memegangi kepalanya, ditambah dengan penglihatan yang kabur serta tubuh yang masih terasa lemas untuk bangun. Objek pertama yang dilihat oleh gadis itu setelah mulai sadar justru adalah orang yang tidak dikenalinya. Amira memincingkan mata dan ketakutan melihat seorang nenek tua yang tersenyum padanya. Ia memaksa ingatannya untuk bekerja lebih keras, mengingat kembali apa yang terjadi setelah ia tertabrak mobil.
“Apa aku sudah mati?” Tanya Amira dengan suara lirih, rasa takutnya sangat berlebihan sehingga ia dapat merasakan debaran jantungnya. Gadis itu meraba ke sumber suara degupan kencang itu, jika sudah mati bagaimana mungkin ia bisa merasakan jantungnya berdebar?
Mbah Wanti tersenyum ramah, matanya dengan teduh menatap Amira. Sorotan yang penuh perhatians hingga Amira merasa sangat tenang dan nyaman. “Kamu masih hidup, hanya sedikit terluka. Istirahat sebentar kamu pasti akan baikan.” Ujar Mbah Wanti.
Amira ingin beranjak dari tempat tidur, ia berusaha sekuatnya namun tenaganya terasa lemah bahkan hanya untuk bergerak sedikit. Mbah Wanti menahannya, lewat isyarat tatapan dan anggukan pelan, wanita tua itu meminta Amira tetap tiduran di tempat itu.
“Apa nenek yang menolongku? Seingatku tadi ada mobil kencang yang menabrakku.” Tanya Amira, ia perlu tahu yang sebenarnya dan harus berterima kasih jika memang wanita yang dipanggil nenek itu yang menolongnya.
Mbah Wanti hanya tersenyum yang semakin menegaskan kerutan di wajahnya. Melihat kerutan itu justru membuat Amira sedih, kurang lebih wajahnya yang mulai berkeriput banyak itupun akan setua nenek itu. Tetapi keriput wanita tua itu adalah proses penuaan alamiah, sementara yang terjadi pada Amira justru sudah kelangkaan penyakit yang tidak ada obatnya. Membayangkan hal buruk itu kembali membuat Amira merasa enggan hidup lagi, daripada menanggung malu karena ejekan teman-temannya, kenapa tidak membiarkannya mati saja?
“Jangan pesimis, hidupmu masih panjang. Masih banyak hal yang bisa kamu nikmati, apalagi jika ada kesempatan untuk mencantikkan wajahmu. Kamu harus punya semangat untuk hidup, untuk melihat wajah barumu yang akan mengubah segala takdir hidupmu. Kamu mau?” Tanya Mbah Wanti, sorot matanya tajam menatap lekat pada Amira. Seolah menyatakan bahwa ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya.
***