“Bagaimana pa? Apa sudah ada kabar dari Amira?” Lastri bertanya cemas pada suaminya yang masih berada di luar demi mencari putri mereka. Setelah melaporkan ke polisi namun belum bisa diproses lantaran kasusnya belum dua puluh empat jam, status Amira belum bisa dinyatakan sebagai orang hilang.
“Belum ada kepastian ma, sabar ya.” Jawab Ardi, papa Amira yang tak kalah paniknya.
Lastri mengacak rambut saking sedih tidak bisa berbuat banyak selain menunggu di rumah. Isak tangisnya mulai terdengar lagi, ketika ia hendak menjawab suaminya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sosok yang mereka cari itu memasuki ruang tamu. Sepasang mata Lastri terbelalak, isak tangisnya pun mereda sekejab saat yakin bahwa anak gadisnya telah kembali.
“Amira ….” Pekik Lastri yang belum sempat menutup telpon sehingga Ardi ikut mendengar teriakan itu.
“Amira sudah kembali ma?” Tanya Ardi, namun Lastri tak lagi mendengar pertanyaannya. Ponsel itu hanya digenggam lalu Amira bergegas berlari menghampiri putrinya.
Amira berhenti melangkah ketika mendengar panggilan ibunya. Wajahnya menunduk tak berani menatap ibunya yang pasti sangat mencemaskannya. “Ibu.” Panggil Amira lirih.
Lastri memperhatikan kondisi putrinya, diangkatnya dagu Amira agar wajah itu tidak disembunyikan oleh rambut yang tergerai panjang. Lastri menggigit bibir bawahnya, ia meringis begitu melihat luka di kening Amira yang semestinya mendapat tindakan medis. Luka itu terlalu dalam dan basah, akan sulit dibiarkan sembuh tanpa penanganan intensif.
“Mana lagi yang sakit nak? Katakan sama ibu, jangan takut ya.” Pinta Lastri seraya memegang lembut tangan Amira.
Amira menggeleng pelan, wajahnya masih terlihat pucat terlebih ia merasa ketakutan saat berhadapan langsung dengan ibunya. Ia takut ketahuan membawa pulang sesuatu yang sangat berharga yang didapatkan dari Mbah Wanti. “A … Amira nggak kenapa-napa, bu.” Jawab Amira dengan suara pelan.
“Syukurlah, nak.” Ucap Lastri dan langsung mendekap erat putrinya. Tak bisa ia bayangkan betapa hancur hatinya andai kehilangan anak semata wayangnya. Meskipun terlahir dengan kondisi yang abnormal, bagi Lastri Amira tetap titipan Tuhan yang sangat berharga. Kasih sayang Lastri dan Ardi sepenuhnya tercurahkan untuk Amira. Sebagai orangtua, merekapun tahu bahwa Amira memiliki bakat dan kelebihan lain yang bisa menuntupi kekurangan fisiknya. Hanya saja penampilan tetap dijadikan penilaian standar agar mmendapat pengakuan di kalangan sosial, itulah yang membuat Lastri dan Ardi kewalahan menyemangati putrinya. Sulit menumbuhkan kepercayaan diri bagi Amira agar tidak minder menghadapi bullyan yang datang dari berbagai pihak, tak hanya lingkungan sekolah, namun juga lingkungan sekitar rumahnya.
“Maafkan ibu, nak. Ibu dan ayah tidak becus melindungimu. Setelah ini ayah akan mengurus segala keperluan untuk pindah dari sekolah itu, kita juga akan pindah ke kota lain yang lebih tenang.” Ucap Lastri yang masih memeluk Amira.
Amira melepaskan diri dari pelukan ibunya, kini ia memberanikan diri menatap lekat mata ibunya. “Tidak ibu, aku tidak mau pindah sekolah lagi. Tidak mau pindah rumah lagi!” Tolak Amira tegas.
Lastri terkejut, ia pikir Amira akan mengangguk setuju seperti biasanya. Terlebih setelah mengalami insiden kecelakaan dan pertanggung-jawaban pihak sekolah pun terkesan menyepelekan, justru Lastri yang merasa tidak terima jika putrinya tetap melanjutkan belajar di sekolah itu. Tempat di mana para guru yang semestinya mendidik dan melindungi muridnya, justru ikut diskriminasi terhadap Amira.
“Kenapa nak? Apalagi yang kamu pertahankan dari sekolah itu? Ibu sudah tahu semuanya dari Fandy, ibu nggak bisa terima kamu diperlakukan seperti itu. Hati ibu ikut sakit, nak ….” Lirih Lastri, mengatakan hal sesakit itu membuatnya terlihat akan menangis lagi.
Amira menatap ibunya dengan tatapan miris, ia menggelengkan kepala dengan cepat. “Tidak, Amira tetap pada keputusan untuk bertahan di sekolah itu sampai lulus.”
Ketegasan Amira menolak itu membuat ibunya tak habis pikir, Lastri berusaha meraih tangan Amira untuk digenggam. “Ada apa denganmu? Bukankah kamu pernah bilang tidak betah sekolah di sana? Setelah apa yang terjadi hari ini, kita sudah tidak punya alasan untuk mempertahankannya lagi. Ayah akan mengurus kepindahan kita ke tempat lain, biarlah kita tinggal di desa asal hati kita jauh lebih tenang daripada di sini.” Jelas Lastri penuh harap dan keyakinan.
“Itu dulu, Bu. Tapi ibu nggak nanggapin keluhan Amira kan? Ibu suruh Amira tahan, bersabar, semua pasti baik-baik saja. Amira bertahan sejauh ini, Amira nurut sama ibu. Tapi mau sampai kapan kita terus-terusan lari dari kenyataan? Di manapun kita tinggal, nggak akan ada tempat yang bisa nerima Amira!” Pekik Amira dengan napas tersengal saking emosinya.
Lastri terkejut dengan keberanian putrinya membantah, tidak biasanya Amira yang penurut menjadi emosional. Mereka hening sesaat hingga Amira menyadari bahwa ia baru saja bersikap lancang pada ibunya, ia pun hanya menunduk menyembunyikan penyesalannya.
Keputus-asaan juga dirasakan Lastri, memang benar apa yang disampaikan Amira tadi. Berapa kalipun mereka berpindah tempat, lingkungan sekitar selalu menatap jijik pada putrinya, seakan Amira adalah makhluk yang perlu dihilangkan dari muka bumi ini. Lastri menyadari bahwa putrinya tengah menangis dalam kepala yang tertunduk, naluri keibuannya terpanggil untuk menarik putri malangnya ke dalam pelukan. Memberinya kehangatan dan rasa nyaman agar ia tahu meskipun dunia tidak menginginkannya, masih ada tangan yang bersedia merangkulnya – tangan ayah dan ibunya.
“Kita ke rumah sakit yuk, nak. Luka di dahimu harus segera ditangani biar tidak infeksi.” Ajak Lastri pelan dan tetap memeluk Amira.
Amira menggeleng lemah dalam posisi masih diam pasrah membiarkan Lastri memeluknya. “Nggak usah, Bu. Amira nggak apa-apa, itu hanya lecet saja. Pakai obat merah juga sembuh sendiri kok.” Tolak Amira.
Lastri melonggarkan pelukan, ditatapnya luka di dahi Amira sekali lagi untuk memastikan kondisinya memang tidak parah. Namun begitu ia melihat luka yang tampak dalam itu, reflek Lastri meringis seolah ia juga merasakan sakitnya. “Nak, ini sepertinya harus dijahit, tidak bisa dibiarkan sembuh dengan sendirinya. Ayo, kita obati ke rumah sakit, jangan sampai makin parah dan membekas.” Lastri menarik tangan Amira, hendak mengajaknya ke rumah sakit.
Belum juga melangkah, Amira menepis tangan ibunya hingga membuat Lastri terkejut. Wanita itu menoleh menatap putrinya dengan heran, sikap anak gadisnya yang baik dan penurut itu kini berubah aneh. Lastri seperti melihat orang lain saja dari sosok Amira, perasaan yang asing seperti bukan putrinya yang ada di hadapannya.
“Aku bilang nggak mau, Bu. Sudahlah, biarkan aku istirahat di kamar. Aku lelah....”
Lastri hanya menatap punggung Amira yang beranjak dari hadapannya, lewat tatapan itu ia mengiringi langkah Amira yang cuek berlalu darinya tanpa sopan santun.
“Kamu berubah, nak. Apa yang terjadi padamu sebenarnya?” Lirih Lastri begitu Amira masuk dalam kamarnya.
**