“Pakailah!” Suara Mbah Wanti mengejutkan Amira yang masih termenung menatap ragu pada bedak di tangannya. Amira seperti terjebak situasi, ia segan menolak permintaan orang sesepuh itu. Lagipula permintaannya cukup sederhana, hanya memintanya memakai bedak itu saja. Namun hati Amira terus bergejolak ragu.
Amira menatap wajah keriput Mbah Wanti dan melihat nenek tua itu tersenyum seraya mengangguk padanya. Tingkah itu seolah menyuntikkan semangat pada Amira agar segera melakukan apa yang diperintahkannya. Tangan Amira sedikit bergetar, namun ia tetap membuka wadah bedak itu kemudian meraih spoonnya dan dibalurkan pada permukaan bedak padat itu.
Spoon itu perlahan diarahkan ke wajah Amira yang semakin berantakan bentuknya, pasca kecelakaan barusan menambah daftar cacat pada wajahnya. Melihat pantulan wajahnya dari cermin yang disodorkan Mbah Wanti, langsung membakar emosi Amira. Ia mengesampingkan rasa takutnya kemudian menepuk pelan spoon pada pipi kirinya. Gadis itu menelan ludah karena seketika darahnya terasa mendesir, dan ia merasa merinding saat bedak itu menempel di kulitnya.
Setelah dirasa cukup menyapukan bedak pada area wajah kiri, Amira mengalihkan spoon ke sisi kanan wajahnya. Ia cukup berhati-hati ketika merambah ke area dahi, di mana masih ada luka basah yang ternganga. Selesai. Amira meletakkan kembali spoon pada wadah bedak kemudian menutup bedak itu. Dilihatnya pantulan wajahnya di cermin, hatinya seketika kecewa. Bodohnya ia sempat menaruh harapan tinggi ketika nenek tua itu meyakinkannya bahwa bedak ini istimewa. Nyatanya, tidak ada beda dengan bedak di pasaran. Bahkan bedak yang biasa Amira pakai lebih berkualitas ketimbang yang diberikan Mbah Wanti.
Mbah Wanti tersenyum seringai melihat kegusaran Amira, ia bisa menebak jalan pikiran gadis itu yang sedang meragukannya. “Amira, kamu jelek! Kamu sangat jelek!” Celetuk Mbah Wanti tiba-tiba dan terdengar sangat mengejutkan Amira.
Hati Amira tercabik, rasanya ingin marah kepada nenek tua yang ternyata tidak jauh berbeda dengan teman di kelasnya. Penghina, pembully yang tak bisa menerima keberadaannya hanya karena paras yang kurang menawan. Air mata Amira berjatuhan tak dapat ia tahan lagi sakit hati atas penghinaan itu.
“Kau sangat jelek, Amira!” Mbah Wanti lagi lagi mengulang kata-kata yang tidak ingin didengar Amira. Hingga gadis itu menggelengkan kepala lalu menutup telinga dengan kedua tangannya.
“Cukup! Jangan hi ….” Pekikan Amira terhenti lantaran tangan Mbah Wanti begitu cepat membungkam mulutnya. Amira tersentak kaget, kedua bola matanya melotot pada nenek itu. Mengapa tingkahnya begitu aneh? Sesaat lalu dengan santai menghinanya, lalu sekarang kembali tersenyum ramah seakan tidak terjadi apa apa sebelumnya.
“Tahan emosimu, semua akan sia-sia kalau kamu marah.” Ujar Mbah Wanti lirih namun terdengar sangat menenangkan.
Amira mengerutkan dahinya, ia tidak mengerti apa maksud perkataan Mbah Wanti. Hingga nenek tua itu menunjuk cermin yang diletakkan di samping Amira, kemudian mengisyaratkan agar gadis itu mematut diri di depan cermin sekali lagi. Seolah terhipnotis, atau mungkin Amira lupa akan kebodohannya yang percaya pada Mbah Wanti sebelumnya, ia kembali menuruti permintaan Mbah itu.
“Hah?” Amira terkesiap melihat pantulan wajahnya di cermin. Ia meraba sisi pipinya secara bergantian, matanya pun tak berkedip saking tak percaya dengan penglihatannya.
“Benarkah ini aku?” Tanya Amira takjub.
Mbah Wanti mengangguk tanpa kehilangan senyuman di wajahnya. “Ya, itu kamu yang baru dilahirkan kembali. Wajahmu yang akan punya sejarah baru mulai hari ini.” Ujar Mbah Wanti sangat meyakinkan.
Amira tersenyum takjub, bagaimana tidak terkejut jika ia melihat sendiri perubahan di wajahnya yang tampak instan. Flek hitam serta sedikit kerutan di bawah mata mulai memudar. Meskipun tidak bisa dikatakan cantik, namun perubahan kecil secara cepat itu sudah membuat hati Amira melambung tinggi. “Bagaimana bisa Mbah?” Tanya Amira yang masih sulit percaya bahwa ini bukanlah mimpi. Ia menatap antusias pada Mbah Wanti, meminta penjelasan yang lebih rinci tentang segudang rasa penasarannya.
Mbah Wanti terkekeh, suara tawanya menyeramkan menurut Amira. Namun gadis itu tidak peduli lantaran rasa takutnya sudah tertutupi kegirangan yang tak bisa dijelaskan lagi.
“Tentu saja, namanya juga bedak ajaib. Mbah tidak mungkin bohong meskipun kamu pikir Mbah bohong toh?” Ujar Mbah Wanti yang sengaja melirik Amira.
Amira menunduk malu karena sempat sangat meragukan nenek itu. “Maafkan aku, Mbah. Tapi aku sungguh percaya padamu sekarang. Boleh jelaskan padaku, bagaimana cara kerja bedak ini Mbah?” Pinta Amira dengan kedua tangan merangkap di depan d**a, saking memohon pada Mbah Wanti. Tetapi nenek tua itu terus tertawa, seakan puas menggantung rasa penasaran Amira.
“Waktu kamu pakai tadi terasa bagaimana, nak?” Mbah Wanti malah bertanya pada Amira.
Amira mengerutkan dahi, ragu harus berkata sesuai kenyataan atau sedikit dipelintir. Ia takut jika Mbah Wanti tersinggung lantaran tidak dipercayai Amira pada awalnya. Namun ia memilih jujur, karena sepertinya Mbah itu bukan orang biasa. “Hmm … Awalnya tidak terasa apa apa Mbah, aku tidak akan sadar kalau ada perubahan kalau Mbah tidak menyuruhku bercermin.” Ungkap Amira jujur.
Mbah Wanti manggut-manggut lalu kembali terkekeh, “Bedak ini bisa jadi biasa atau istimewa tergantung hati pemakainya. Kalau kamu tidak percaya, dia pun nggak akan membantumu.”
“Dia?” Amira spontan menyeletukkan pertanyaan itu. Tetapi ia kembali bungkam ketika melihat lirikan Mbah Wanti yang tampak tidak senang pembicaraannya dipotong. Amira menundukkan wajahnya, ia segan dan memilih menjadi pendengar yang baik.
“Bedak ini menunjukkan khasiatnya kalau ada umpan. Ibaratnya kamu nanam, harus disiram dipupuk biar tumbuh toh. Bedak ini juga begitu, hanya akan bereaksi kalau ada yang mengejekmu, menghinamu di hadapanmu, seperti yang Mbah lakukan tadi.” Lanjut Mbah Wanti dengan nada serius.
Amira memberanikan diri menatap wajah lawan bicaranya, pernyataan Mbah Wanti barusan sungguh mengejutkan baginya. Ia perlu menatap keseriusan mimik Mbah Wanti agar lebih meyakinkan.
“Tapi itupun kalau kamu bisa menahan diri. Kalau kamu marah seperti yang tadi hampir terjadi, ya luntur juga bedaknya. Paham?” Kilah Mbah Wanti, ia pun menatap serius pada Amira.
Sekarang Amira mengerti mengapa Mbah Wanti mengejeknya, “Maafkan aku, Mbah. Tadi sempat salah paham pada Mbah.” Ucap Amira menyesali emosinya yang lalai terkontrol.
Mbah Wanti tertawa kecil, “Yo ndak apa-apa, nak. Tidak ada wanita yang mau dibilang jelek, aslinya semua wanita itu cantik. Toh namane yo cah wedok (Toh namanya juga anak perempuan). Tapi ingat lain kali tahan emosimu, biar kamu bisa lebih cantik.” Ujar Mbah itu dengan lembut, begitu mudah baginya untuk merubah sikap dalam sekejab. Ia bisa mengeras dan melunak dalam tempo bersamaan.
Amira mengangguk paham, senyumnya merekah seiring secerca harapan yang baru menyinari hatinya. “Terima kasih banyak, Mbah. Berapa aku harus membayarmu?”
Mbah Wanti tertawa lebar mendengar itu, “Kamu berani bayar berapa ke Mbah?” Canda Mbah Wanti yang sukses mengejutkan Amira. Gadis itu mengira harus memberikan upah mahal kepada Mbah Wanti sebagai tebusan untuck bedak ajaib itu.
“Ndak perlu bayaran, nak. Kamu cukup percaya dan setuju untuk menjadi pemilik bedak ini.” Lanjut Mbah Wanti bersungguh-sungguh.
Amira tersenyum lebar, ia tak menyangka semudah itu syaratnya. “Hanya itu saja, Mbah? Wah … Baiklah aku janji akan percaya dan memakai selalu bedak ini.” Ucap Amira antusias.
Mbah Wanti mengangguk dengan senyuman tipis, tanpa Amira sadari usai mengucapkan janjinya itu, wajah Mbah Wanti mengalami perubahan. Dalam sekejab kerut di dahi Mbah Wanti semakin dalam garisnya.
***