Selamat membaca!
Di saat Alan baru saja masuk ke dalam rumah, tiba-tiba kedua matanya tercekat begitu kaget saat melihat putrinya terus berteriak dalam dekapan seorang pria berperawakan tegas dengan bulu tipis pada rahangnya. Tak hanya sendiri, tampak dua pria lainnya juga berdiri di belakangnya.
"Siapa kalian? Lepaskan putriku!" teriak Alan dengan lantang.
Suara teriakan Alan membuat Emilia bergegas masuk dengan rasa cemas yang mulai terlihat di wajah cantiknya. "Ada apa, sayang?" Seketika wajah Emilia menegang, saat melihat putrinya berada dalam ancaman pria asing dan terus berteriak meminta pertolongan. "Bella," ucap Emilia kembali dengan suara bergetar.
"Aku tidak akan melepaskan putrimu! Sekarang cepat bunuh dia!" titah pria bernama Morgan Freeman. Pimpinan Emperor Britania, sebuah organisasi mafia yang bertanggung jawab atas penembakan sang perdana menteri.
"Daddy, tolong aku! Dad." Bella coba melepaskan diri dengan memukul-mukul tubuh pria itu. Namun, tenaga kecilnya hanya membuat Morgan mendengus sambil menyeringai licik. Terlebih saat pria itu melihat wajah cantik Emilia.
"Ternyata pria ini memiliki istri yang sangat cantik. Mungkin sebelum membunuhnya, aku akan menikmati tubuhnya terlebih dulu. Lagipula akan mubajir jika wanita secantik dia, mati begitu saja," batin Morgan memicingkan ekor matanya untuk memindai tubuh Emilia.
Kini kedua anak buah Morgan sudah berhasil meringkus Alan dan juga Emilia yang tak bisa melawan karena Bella masih berada dalam kuasanya.
"Kurang ajar! Siapa kalian?" tanya Alan penuh penekanan. Wajah kini tampak murka dengan rahang yang mengeras, apalagi saat melihat kedua wanita yang dicintainya terus menangis ketakutan.
"Lepaskan suamiku! Lepaskan putriku! Aku mohon!" pinta Emilia yang terus menangis.
"Sial, aku tidak mau membawa pistolku di dashboard mobil. Ya Tuhan, sekarang apa yang harus aku lakukan?" batin Alan merasa bingung karena tak bisa melakukan apa-apa selama Bella dan Emilia masih berada dalam kuasa Morgan dan anak buahnya.
"Kau pegang anak ini! Wanita itu biar aku yang urus! Sepertinya menarik jika aku menyetubuhinya di depan matamu!" Morgan benar-benar tak memedulikan keberadaan Bella yang masih di bawah umur.
"Kurang ajar, kau!" Tak ingin Emilia dinodai oleh Morgan, Alan pun melawan dengan melepaskan cengkraman pria yang sejak tadi terus menahan tubuhnya. Dua serangan saja, Alan sudah berhasil membuat pria itu jatuh terkapar sambil meringis kesakitan. Ya, Alan memukul d**a pria itu dengan sikut, lalu membantingnya ke depan. Namun, di saat Alan hendak melakukan perlawanan lagi, sebuah tembakan mengarah tepat pada kedua kakinya. Tembakan yang membuat Alan seketika jatuh ke lantai.
"Kalau kau masih berani melawan, maka aku akan membunuh putrimu terlebih dahulu!" ancam Morgan yang baru saja menembak kedua kaki Alan. Pria itu sengaja tidak langsung menghabisinya karena ingin Alan menyaksikan saat dirinya menodai Emilia. Hal yang akan ia lakukan di depan mata Alan.
"Kurang ajar!" kecam Alan begitu kesal.
"Tolong aku, Alan! Tolong aku!" Emilia terus berteriak saat Morgan mulai menarik tubuhnya untuk ikut bersamanya.
"Jangan sakit, Mommy! Aku mohon! Jangan sakit Daddy juga!" Bella terus berupaya untuk melepaskan dirinya dari dekapan anak buah Morgan yang bernama Juan. Namun seperti yang sebelumnya, semua berakhir sia-sia dan malah memancing amarah Juan. Terlebih saat Bella sengaja menggigit tangan pria itu.
"Kurang ajar, kau! Merepotkan sekali!" Juan memukul Bella hingga membuat tubuh mungil itu terhempas ke lantai.
Melihat hal itu, Alan semakin dibuat murka. Ia pun coba untuk bangkit. Sampai akhirnya, kembali jatuh saat pria yang tadi sempat diserangnya, menendang tubuhnya berulang kali.
"Kau berani menyerangku! Mati kau, sialan!" Pria bernama Daren itu tampak begitu kesal karena pukulan Alan pada dadanya masih terasa menyakitkan. Kali ini, Daren membalasnya dengan terus menendang bagian perut Alan secara membabi buta.
Pandangan mata Alan mulai terlihat kabur. Rasa sakit semakin menjalar di seluruh tubuhnya disertai dengan darah yang kini terus keluar dari mulutnya. Ada kemarahan yang besar berkecamuk dalam dirinya. Namun, ia sadar bahwa tak ada satu pun yang bisa dilakukannya. Saat ini, Alan masih berharap ada keajaiban di mana keluarganya bisa selamat dari situasi itu.
"Emilia, Bella," lirih Alan sambil membagi pandangan matanya untuk melihat Emilia yang mulai disetubuhi oleh Morgan dan juga Bella yang sudah tak sadarkan diri.
"Jangan sakiti istriku! Aku mohon!" pinta Alan berulang kali hingga membuat Morgan merasa terganggu dalam melakukan aksi bejatnya.
"Kau ini benar-benar menggangguku. Bunuh dia, Daren!" titah Morgan dengan wajah yang sudah memerah karena menahan hasratnya.
"Baik, Tuan." Daren yang merupakan tangan kanan Morgan pun langsung mengarahkan pistol pada kepala Alan. Membuat Emilia seketika berteriak agar pria itu tak membunuh Alan, suaminya.
"Aku mohon, jangan lakukan itu! Jangan bunuh suamiku! Aku mohon!" Derai air mata tampak membasahi wajah cantik Emilia. Namun, permintaan itu benar-benar tak digubris oleh Daren yang mulai menarik pelatuk pada pistolnya.
"Tenang saja, kau tidak akan mati sendirian. Nanti istri dan anakmu pasti akan menyusulmu!"
"Inilah akhir hidupku. Sebenarnya siapa mereka ini? Apa mereka ada hubungannya dengan kasus yang sedang aku tangani? Kenapa mereka ingin melenyapkan aku dan seluruh keluargaku? Maafkan aku, Emilia. Maafkan Daddy, Bella. Aku mencintai kalian berdua," batin Alan mulai menutup kedua matanya, bersiap menerima ajal yang sudah sangat dekat karena peluru itu kini mulai melesat dari selongsong pistol milik Daren.
"Alan," teriak Emilia yang masih dapat didengar oleh Alan beberapa detik sebelum akhirnya pria itu benar-benar mati dengan luka tembak di kepalanya.
"Andrew, Andrew," panggil Laura berulang kali sambil mengguncang tubuh kekasihnya itu yang sejak tadi hanya termenung di depan cermin.
Lamunan Alan pun seketika buyar. Lamunan yang sempat membawanya kembali mengingat tentang kematiannya. Hari di mana Alan merasa benar-benar tak berdaya karena tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkan keluarganya.
"Kamu kenapa, Andrew?" Laura kembali melontarkan pertanyaannya setelah Alan masih tak menjawab panggilannya.
"Aku bukan Andrew," jawab Alan, membuat Laura langsung terkekeh lucu dan menganggap apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu hanya sebuah gurauan belaka.
"Your jokes not funny, Andrew. Sudahlah, jangan bercanda!" Tiba-tiba Laura mendekap tubuh Andrew dengan begitu erat. "Aku pikir, aku sudah kehilanganmu tadi. Maafkan aku ya karena mengajakmu ke tempat ini. Aku benar-benar tidak tahu kalau kamu tidak bisa berenang." Laura terdengar menangis saat mengatakan itu hingga membuat Alan mulai merasa tidak nyaman dan langsung melepas pelukan itu.
"Aku bukan Andrew. Sekali lagi aku bilang sama kamu jika aku bukan Andrew. Tubuh ini memang tubuh kekasihmu, tapi aku bukan Andrew." Alan kali ini lebih tegas saat mengatakan semua itu. Wajah yang serius benar-benar membuat Laura sempat mempercayainya.
"Apa benar yang aku lihat ini bukan Andrew? Terus siapa pria ini?" batin Laura mulai kebingungan setelah mendengar semua yang terucap dari mulut Andrew.
Sampai akhirnya, ia pun teringat bahwa kekasihnya itu memang sering sekali membohonginya dengan berbagai candaannya.
"Tidak, tidak. Please, Andrew! Jangan lagi ada jokes atau prank. Ini bukan waktu yang tepat untuk itu karena aku sudah mulai merasa takut karena mendengar ucapanmu." Laura coba mendekat untuk kembali memeluk tubuh kekasihnya. Namun, Alan terus melangkah mundur dan kembali mengatakan tentang kebenaran yang terjadi pada Laura.
"Ini bukan jokes atau prank. Aku bukan kekasihmu. Tubuh ini memang pria seperti yang kau sebutkan tadi, tapi aku bukan Andrew. Aku adalah Alan. Alan Walker, anggota M16 London."
Mendengar perkataan itu, kedua kaki Laura seketika terasa lemah. Ia benar-benar terkejut dan masih begitu sulit baginya untuk bisa mempercayai hal yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Bagaimana bisa ada orang yang dapat hidup di tubuh orang lain? Logikanya seolah menolak semua itu. Namun, raut wajah Andrew benar-benar mendesaknya untuk mempercayai bahwa apa yang dikatakannya itu adalah sebuah kebenaran.
"Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi di dunia ini?" tanya Laura yang terus membantahnya.
"Apa kau membawa ponselmu? Coba kau cari berita kematianku!" titah Alan diawali dengan sebuah pertanyaan.
Tanpa berkata apa pun, Laura dengan cepat mengambil ponsel yang ada di saku celana. Lalu, ia mulai membuka browser pada smartphone miliknya dan tak butuh waktu lama, berita tentang kematian Alan Walker berjajar rapi pada layar ponselnya.
"Ya Tuhan, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?" Dengan bibir bergetar, Laura yang sudah tak kuat berdiri pun kini mulai melangkah mundur, lalu keluar dari toilet dan langsung menjatuhkan tubuhnya pada sebuah kursi yang berada di depan toilet itu.
Sementara Alan tampak penasaran dengan keberadaannya saat ini dan apa yang tertulis dalam berita yang dilihat oleh Laura pada ponselnya.
Bersambung ✍️