Selamat membaca!
Alan pun tersadar dari ingatan yang membuat kedua manik matanya tampak basah. Air mata yang terus menetes membasahi wajahnya, saat kerinduan terhadap sosok Emilia dan putrinya kian membuncah di dalam dirinya.
"Aku mohon tolong berikan aku kesempatan. Aku mohon, ada hal yang belum aku selesaikan. Tolonglah! Apa kalian tidak pernah memiliki keluarga? Aku mohon!"
Jiwa Alan terus berontak dan terus meronta sambil memohon ketika kedua sosok berjubah putih itu hendak membawanya ke suatu tempat. Permohonan untuk menyelesaikan apa yang belum dituntaskannya di dunia, yaitu sebuah keadilan. Namun sayangnya, itu tak menghentikan langkah Alan hingga sebuah pintu bercahaya sangat terang dilewati oleh Alan bersama kedua sosok itu sambil membawa harapannya yang harus pupus karena permohonannya ternyata diabaikan. Pria itu pun pasrah dan menerima, walau dengan terpaksa.
"Maafkan aku Emilia, maafkan aku Bella. Aku harus pergi dengan cara seperti ini," batin Alan pasrah yang mulai memasuki sebuah cahaya. Cahaya yang begitu menyilaukan kedua matanya hingga ia hanya mampu terpejam saat melewatinya.
Dalam sekejap, kenangan bersama Emilia dan Bella terlintas secara bergantian dalam pikiran Alan. Kenangan saat pertama kali ia bertemu dan mengenal Emilia hingga mereka menikah dan bahagia atas kelahiran Bella. Kenangan singkat yang akhirnya hilang dan berganti dengan suara hiruk pikuk penuh kecemasan. Suara desiran ombak pun terdengar di sana. Alan seketika membuka matanya dengan tiba-tiba sambil mengeluarkan air dari kerongkongannya yang membuat napasnya terasa sesak. Pandangan Alan mulai memindai situasi di sekitarnya saat itu. Situasi yang tampak ramai dengan orang-orang yang berkumpul mengelilinginya. Namun, pria itu sama sekali tak mengenal satu orang pun yang ada di sana. Termasuk seorang pria berpakaian seragam yang sepertinya adalah seorang penjaga pantai dan baru saja selesai melakukan pertolongan pertama padanya dengan memberikan kompresi.
"Di mana ini?" tanya Alan merasa lebih baik setelah memuntahkan seluruh air yang sempat memenuhi dadanya.
Belum juga pertanyaannya mendapat jawaban, Alan kembali dibuat kebingungan saat dekapan seorang wanita memeluk tubuhnya dengan erat. Dekapan yang disertai suara isak tangis penuh rasa cemas.
"Andrew, kamu selamat. Aku bersyukur sekali, Tuhan masih menyelamatkanmu. Padahal aku kira kamu sudah mati tadi," ucap seorang wanita bernama Laura Sharard dengan penuh haru karena sang kekasih masih dapat diselamatkan setelah nyaris tenggelam.
"Siapa Andrew? Siapa wanita ini?" umpat Alan penuh rasa heran.
Merasa tak nyaman dengan pelukan yang diberikan oleh Laura, Alan pun mulai mengurai pelukan itu dan berlalu pergi meninggalkan keramaian yang benar-benar membuatnya kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini.
Langkah Alan semakin cepat dan tujuannya cukup jelas, yaitu ke sebuah toilet yang berada di depan sana.
"Apa yang terjadi ini? Apa jangan-jangan?" Alan tak melanjutkan perkataannya. Ia kini semakin menambah kecepatan larinya.
Setelah berlari dengan napas yang terengah, kini Alan sudah tiba di depan sebuah wastafel yang berada di dalam toilet. Pria itu pun mulai membasuh wajahnya berkali-kali. Berharap pikiran yang tak masuk akal dapat hilang dari otaknya. Bagaimana mungkin, seseorang bisa hidup kembali di tubuh orang lain. Lantas kenapa wanita tadi memanggilnya dengan nama Andrew. Kenapa tidak Alan?
Beberapa pertanyaan mulai mengusik ketenangannya dan semakin menggerogoti apa yang menurutnya mustahil. Seakan merubah keraguan dalam dirinya saat ini tentang hal yang sebenarnya sangat mustahil untuk terjadi bila harus dicerna sebagai sebuah logika.
Sampai akhirnya, cermin jugalah yang menjawab semua keraguannya itu. "Ya Tuhan, ini tidak mungkin!" Alan mulai menatap wajahnya pada cermin sambil menyentuhnya dengan jemari tangannya. Wajah yang tak dikenalinya. Membuat kedua matanya membeliak tak percaya atas semua yang dilihatnya saat ini.
"Jadi permintaanku dikabulkan. Apakah ini kesempatan kedua agar aku bisa mendapatkan keadilan atas kematianku dan seluruh keluargaku?" ucap Alan diakhiri dengan sebuah pertanyaan yang masih membuatnya tak percaya atas apa yang terjadi saat ini.
Keterkejutan yang membuatnya kembali mengingat kejadian yang menjadi asal muasal dari semua yang menimpa pada dirinya saat ini.
Saat itu, setelah mengatakan hal yang terjadi pada Emilia, Alan akhirnya mendapatkan izin dari sang istri untuk pergi bertugas. Walaupun sempat dihujani beragam pertanyaan dari Bella. Namun pada akhirnya, gadis kecil itu pun mengizinkan Alan untuk pergi setelah ia berjanji bahwa dirinya akan menyusul ke tempat perayaan ulang tahunnya.
Setibanya di kantor pusat MI6, Alan langsung disambut oleh Mike yang memang sudah menunggu kedatangannya.
"Alan, kau sudah sejak tadi ditunggu oleh Bryan," ucap Mike memberitahu rekannya itu sesaat setelah ia keluar dari lift.
"Baiklah, Mike. Sebenarnya apa yang terjadi? Bagaimana bisa kita kecolongan seperti ini? Apa keamanan di sana benar-benar lemah sampai hal ini bisa terjadi?" tanya Alan sambil terus melangkah menyusuri lorong kantor yang kala itu terlihat ramai dari aktivitas.
"Aku sendiri tidak tahu, Alan. Mungkin Bryan akan memberitahu sesuatu yang penting padamu."
"Apa kau tidak tahu apa itu?" tanya Alan lagi.
"Aku tidak tahu karena itu bersifat rahasia dan Bryan hanya ingin memberitahukan hal itu padamu," jawab Mike menyampaikan apa yang sempat Bryan katakan padanya.
"Sebenarnya apa yang ingin disampaikan Bryan, kenapa Mike tidak boleh tahu akan hal itu?" tanya Alan di dalam hatinya.
Setibanya di depan ruangan Bryan, Alan pun masuk dan meninggalkan Mike di depan ruangan yang hanya menatapnya dengan penuh arti.
"Alan, kau sudah datang. Maaf ya, saya harus mengganggu waktu cutimu karena saat ini kita tidak bisa mempercayai sembarang orang, walau itu ada di kesatuan kita sendiri. Ayo silahkan duduk!" ungkap Bryan yang diakhiri dengan sebuah perintah.
Alan pun duduk di kursi yang ada di seberang Bryan. Saat ini, raut penuh keseriusan tampak jelas di wajah Alan. "Ada apa sebenarnya ini Bryan? Kenapa peristiwa ini bisa terjadi?" tanya Alan langsung mengatakan apa yang ada dipikirannya.
"Ada sesuatu yang tidak beres. Ini seperti sebuah settingan yang dilakukan oleh orang dalam. Dalam flashdisk ini berisikan sebuah rekaman CCTV, pertemuan antara Angela Mauren dengan seorang pria dan itu terjadi dua hari sebelum peristiwa ini. Saya curiga kejadian ini adalah bagian dari rencana Angela untuk naik tahta. Coba lihat rekaman ini!"
Alan terus memperhatikan rekaman pidato pada laptop Bryan yang berada di atas meja. Namun, ia sama sekali tak menemukan sesuatu yang janggal dari pidato tersebut. Sampai akhirnya, ia melihat sesuatu yang aneh dari ekspresi Angela saat itu.
"Apa kau juga melihatnya?" tanya Bryan pada bawahannya itu.
"Ya, aku melihatnya. Di detik ini, dia melihat ke arah seseorang yang berada di sisi kirinya, senyuman itu tampak berbeda sekali dengan sebelumnya."
"Jadi itu tugasmu Alan, selidiki dua rekaman CCTV ini. Ingat jangan beritahu siapapun tentang semua ini!"
"Termasuk Mike?" tanya Alan menautkan kedua alisnya.
"Ya, begitulah Alan. Maaf ya, tetapi saya harus melakukan ini demi menjaga kerahasiaan dari penyelidikan ini karena kasus ini sudah dipantau secara langsung oleh PBB. Bahkan FBI juga akan ikut campur dalam penyelidikan jika kita tidak berhasil menemukan titik terang dari kasus ini dalam waktu 3 hari," ucap Bryan yang tak menyukai campur tangan dari pihak luar untuk menangani kasus yang sudah menjadi bagian dari departemennya.
"Baiklah saya akan selidiki semua ini," jawab Alan yang langsung berpikir pada dirinya sendiri. Apa pantas ia merahasiakan semua ini kepada sahabatnya? Sahabat yang di sepanjang karirnya di MI6 selalu berjuang bersamanya.
"Sepertinya Bryan salah menilai Mike. Dia adalah prajurit yang loyal terhadap negaranya jadi aku rasa tidak ada alasan untuk tak mempercayai Mike," batin Alan yang tak memedulikan larangan Bryan.
Alan pun akhirnya pamit kepada Bryan dengan membawa sebuah flashdisk di tangannya. Setelah berada di luar ruangan, langkahnya tiba-tiba terhenti saat Mike ternyata masih menunggunya di sana.
"Bagaimana Alan? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mike penasaran.
Alan tak menjawabnya dan merangkul pundak sahabatnya itu sambil mengajaknya terus melangkah menuju ruangannya.
Setibanya di dalam ruangan, pikiran Alan langsung tertuju pada sosok putrinya yang terpaksa harus ia tinggalkan di hari ulang tahunnya. Sesuatu yang membuatnya merasa gagal menjadi seorang ayah.
"Bagaimana Bella bisa bangga terhadapku jika aku bohong dan ingkar janji padanya?" batin Alan merasa sangat kalut.
Bersambung ✍️