"Aku sudah mengatakannya, hari ini tidak ada makanan untukmu, Karin, dan semua itu adalah akibat kesalahanmu sendiri!" terang Adrian tanpa perasaan.
Membuat Karin muak dan membuang pandangannya. Dia kesal dan ingin sekali menghajar suaminya ini. Baru sehari menikah, tapi dia sudah semena-mena.
"Jadi kamu ingin membuatku mati kelaparan, Tuan Adrian Prayudha yang terhormat?" balas Karin dengan berani. Rupanya perut yang lapar membuatnya cukup berani. "Kamu sungguh tidak tahu malu, pengusaha kaya raya, tapi istri sendiri harus kelaparan demi keegoisanmu!"
"Jaga nada bicaramu, dan ah ya, jangan panggil aku, 'tuan' walaupun posisimu tak ubahnya cuma pelayan untukku, tapi lebih baik kamu panggil, 'mas,' mengerti?"
Karin langsung menoleh dan tersenyum kecut, tak percaya dengan ucapan Adrian. Namun, sebelum kepercayaan diri menyertai Karin, Adrian segera menjelaskan ucapannya.
"Jangan berbangga dulu, panggilan itu bukan apa-apa untukku, dan aku juga tak mau orang salah paham dengan panggilan anehmu."
"Bukannya itu pantas. Aku cuma budakmu, Tuan," jawab Karin seperti sedang meledek.
Adrian mengeram kesal, dia tidak menjawab lagi, tapi kemudian laki-laki itu tiba-tiba saja mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membuat Karin terkejut. Dia yang tak mengenakan sabuk pengaman, terdorong ke depan dan terbentur. Dahinya segera berdarah, tapi Adrian masih tak perduli.
Hari pertama menikah, sudah seperti ujian berat bagi Karin. Dia hampir menangis, tapi gadis itu memilih mengulum bibirnya rapat dan menahan diri.
"Berikan padaku!" ujar Adrian saat Karin sedang mencoba mengobati luka di dahinya sendiri.
Saat ini mereka sudah sampai di rumah, dan Karin tanpa mengeluh ataupun meminta bantuan, secara mandiri memperdulikan dirinya sendiri. Namun, sekarang Adrian tiba-tiba saja perduli.
"Aku baik-baik saja," jelas Karin enggan menerima bantuan.
Akan tetapi, kondisinya yang demikian itu tidak penting bagi Adrian. Dia masih terlihat cuek dan raut wajahnya seakan enggan untuk perduli.
"Bahkan sekalipun kamu mati, itu tidak penting bagiku!" jawab Adrian dengan kejam. "Sayangnya hutang orang tuamu masih belum lunas, dan aku tidak mau rugi. Jadi sebelum aku puas dengan tubuh ini, rohmu tidak boleh pergi," jelas Adrian sambil kemudian menarik dagu Karin agar mereka berhadapan.
Karin segera tersenyum getir mendengar hal itu itu. Suami begitu tega menghinanya sampai sedemikian itu, dan membuatnya sampai berpikir kesalahan apa yang sudah dia lakukan pada laki-laki dihadapannya. Adrian terlihat seperti sangat membencinya.
"Kalau begitu silahkan, perlakuan aku semaumu. Lakukan saja sepuasmu. Jadikan pelayan, atau pelac**mu, tapi Tuan Adrian dengarkan ucapanku baik-baik. Kamu mungkin bisa memiliki tubuhku secara utuh, tapi tidak dengan hati dan perasaanku. Sampai kapanpun kau tidak akan bisa mendapatkannya.
Aku hanya akan mencintai kekasihku, bahkan jika kami tidak bersama. Pernikahan kita dan semua penghalang, tidak akan pernah mampu menghentikan perasaanku padanya!" tegas Karin dengan serius.
Membuat Adrian merasa kalah dan janjinya pada Thania menjadi terasa hampa. Untuk sesaat kalimat Karin menyadarkannya tentang apa yang sudah dilakukannya.
Demi membuat Thania, Adrian memaksa Karin menjadi istrinya. Namun, bisakah semua itu membuat adiknya bersama orang yang mencintainya.
"Kenapa diam, Tuan Adrian. Apakah sekarang kamu sadar sampai sejauh mana uangmu bisa bekerja? Ternyata tidak bisa membeli segalanya," tegur Karin menyadarkan Adrian dari lamunannya.
Laki-laki itu masih tak langsung bicara, melainkan meraih obatnya dan segera mengoleskannya pada luka di dahi Karin.
"Apa kau pikir hati dan perasaanmu berguna untukku?! Jawabannya tidak. Aku tidak butuh dicintai oleh pelayan dan penghangat ranjang sepertimu. Sudah kukatakan yang butuhkan tubuhmu untuk memuaskan aku. Jadi jangan terlalu percaya diri!" cibir Adrian sangat menusuk bagi Karin.
*****
Siang itu dan sampai malam, Karin benar-benar merangkap jadi pembantu. Ditekan suami dan ibu mertuanya yang seolah kompak menyiksanya. Sampai malam tiba, Karin yang masih lapar dan belum makan mulai merasakan gejala yang berlebihan.
Pusing sampai pandangannya kabur, perutnya seperti diremas dan sangat nyeri, ditambah kepalanya yang terasa pusing.
"Kemarilah, kamu boleh makan sekarang," panggil Adrian di meja makan.
Hanya mereka bertiga di sana. Karin, Adrian dan ibu mertuanya Rini. Sementara ayahnya Adrian, di rumah sakit sedang menjaga Thania.
"Itu belum cukup, Adrian. Dia belum boleh makan. Karena istrimu yang tidak tahu diri ini sudah melakukan kesalahan fatal pada Mommy, Nak!" protes Rini keberatan.
Adrian tak memperdulikan ucapan ibunya, dia bahkan menarik kursi disebelahnya untuk Karin. Seakan perhatian, dan hampir saja membuat Karin salah paham.
"Aku tidak suka buang-buang makanan, tapi sisa makananku masih terlalu banyak, dan di rumah ini tidak ada binatang atau kucing yang bisa menghabiskannya. Agar makanan sisa ini tak terbuang percuma, jadi sebagai istri yang baik lakukanlah untukku, untuk suamimu," terang Adrian membuat Rini langsung tersenyum puas.
Sementara Karin langsung kecewa serta direndahkan begitu hina. Membuat kedua bola matanya langsung berkaca-kaca, menahan air matanya.
"Mommy sudah selesai dengan makanan Mommy, dan Mommy akan ke kamar sekarang. Urus dengan baik istrimu, Adrian," jelas Rini sebelum kemudian pergi dari sana.
Sementara itu, Karin belum menyentuh makanannya. Harga dirinya masih tersisa untuk menolak perlakuan keji dari suaminya.
"Apalagi yang kau tunggu? Tidaklah perutmu kelaparan Karin dan apakah kau sudah lupa dengan hutang ayahmu. Kau sudah siap melihatnya di penjara?" tanya Adrian mempermainkan Karin.
"Kau benar-benar suami brengs*k!!" umpat Karin tak berdaya.
Pada akhirnya dia mengabaikan harga dirinya dan melahap makanan sisa itu berkat ancaman Adrian. Memangnya apa lagi yang tersisa, cepat atau lambat bahkan mahkotanya sebagai perempuan pun akan terenggut oleh suaminya yang berhati iblis itu.
"Akhirnya kau tahu diri juga, dan menunjukkan perilaku peliharaan yang sesungguhnya," ujar Adrian tanpa perasaan.
Selesai makan, ternyata tenaga Karin tidak pulih dengan cepat. Pusing masih sangat terasa juga keluhan lain yang terasa menggerogoti tubuhnya. Bahkan Karin berkeringat, dan juga sampai gemetar.
"Tubuhku terasa letih hari ini dan itu karena tingkah dan ulahmu. Pijat di sini, cepatlah!" ujar Adrian sambil menepuk bagian yang membutuhkan pijatan Karin.
Padahal Karin yang sudah sangat lelah dan bahkan sangat mengantuk.
"Jangan menunda-nunda, satu miliar itu bukan jumlah yang sedikit. Kau mau ayahmu di penjara?"
Karin menghela nafasnya dengan kasar. Lagi-lagi dia harus menurut dan melakukannya. Namun, Adrian terus saja tak berhenti mengerjainya.
"Tekan lebih kuat, apa kau tidak punya tenaga?"
Ketika Karin menurut, laki-laki itu malah mengumpat dan menjadi marah. "Brengs*k! Kau memang lemah dan tidak berguna!"
Laki-laki itu kesal, dan terus mengumpat sepanjang Karin memberinya pijatan. Karena terlalu lelah Karin tak berani melawannya, lantaran tidak mau memperpanjang masalahnya. Dia ingin selesai dan bisa beristirahat dengan nyaman.
Namun, lagi-lagi kenyamanan itu hanya impian. "Tidur di lantai sana! Aku tidak mau membagi tempat tidur denganmu!"
*****