"Astaga ini apaan? Lo abis borong makanan Mir?" Aku menatap berbagai camilan yang ada di atas meja kerjaku. Padahal aku juga di bekalin makanan semur jengkol sama bunda. Makanan favoritku.
“Itu si Dokter kulkas yang bawa. Tahu-tahu masuk sini aja terus kasih satu tas penuh makanan. Dia bilang buat kunci mulut kamu." Mira kini mengambil satu kantong keripik kentang yang dibawakan dokter Sam. Sedangkan aku menatap ngeri tumpukan makanan di depanku.
"Woooo enggak ah. Ini mau gue kembaliin aja. Entar dikira gue ngemis makanan ama dia. Ini apaan lagi ada permen kayak gini." Kusentuh tas kresek dengan logo mini market gambar lebah ini.
"Eh ya jangan. Udah ini rejeki kita pagi ini." Tapi Mira menarikku untuk duduk di kursi lagi. "Enggak mau. Gue yang malu tahu. Dikira gue..." Suara layar monitor di depan kami membuat kami berdua akhirnya mengalihkan pandanganku. Dan aku tahu resep pertama sudah masuk. Itu artinya kami tidak bisa ngobrol lagi.
"Udah yuk di racik nih. Tar gue di panggil lagi ama si kulkas." Mira akhirnya mengangguk mengiyakan.
Aku sibuk mengamati layar monitor dan kini memilih obat yang di resepkan. Tapi baru juga berjalan 20 menit mulutku sudah tidak tahan untuk bicara lagi.
"Eh Mir. Si kulkas itu emang belum punya bini?" Mira yang kini serius meracik obat jadi menoleh kepadaku.
"Belum. Emang lo mau jadi bininya? Cakep sih. Tapi kalau dingin gitu ya gue ogah."
Mira mengibaskan tangannya dan kini menatap Dewi yang ikut mencibir juga. "Ih gue juga ogah. Mending tuh ya mas nya yang jaga mini market pengkolan jalan itu loh. Cakep, ramah lagi."
"Lo mah sama sapi nya ipin upin juga mau wik. Yang penting senyumin lo. "
"Huuu kutu lo."
Dan tawa Mira membuat seseorang yang sedang lewat di depan loket obat menghentikan langkahnya.
"Ehem." Deheman itulah yang membuatku terlonjak kaget dan Mira yang baru saja tertawa langsung menutup mulutnya.
"Pagi dokter Sam." Mira yang menyapa dokter berkacamata itu. Tapi Aku hanya menunduk dan tidak berani menatap Dokter Sam. Aku lagi pasti yang disalahkan karena kehebohan ini.
"Yang namanya Hindia siapa?" Pertanyaan itu membuatKU terkejut dan langsung menatap Dokter Sam. " Itu saya." Aku menunjuk diriku sendiri dan tatapan tajam Dokter Sam membuat aku menunduk lagi. Aku Makan apa sih pagi ini? Batinnya. Karena harus berhadapan dengan singa kutub ini.
"Kamu lagi. Nanti setelah selesai jam kerja langsung ke ruanganku "
"Memangnya ada apa pak? Saya kan gak salah lagi Kan? Tadi yang tertawa itu si Mira dok. Bukan saya. Nih saya aja lagi mau nulis resep." Kakiku terkena tendangan di bawah meja. Dan melirik Mira yang menggerutu. Tapi tentu saja Dokter Sam sudah pergi begitu saja.
"Mati gue. Kenapa sih gue harus ke ruangan singa kutub itu lagi." Kutepuk-nepuk kepalaku sendiri. Dan kini Mira hanya menganggukkan kepalanya dengan sedih.
******
Melangkah tergesa aku langsung menuju parkiran motor di depan puskesmas. Untung saja singa kutub itu tidak keluar dari ruangannya sejak tadi. Pasien sudah habis. Hari sudah siang dan waktunya untuk pulang. Aku tidak mau ke ruangan singa kutub itu lagi. Tidak dan tidak. Langsung kuambil helm dan memakainya. Lalu segera menghidupkan motor. Merasa lega karena bisa terhindar dari kemarahan Dokter Sam. Tapi saat membelokkan motorku dan akan keluar gerbang puskesmas. Aku berteriak karena Dokter Sam tiba-tiba berdiri di depanku secara tiba-tiba. Tentu saja membuat aku terkejut antara menghentikan motor maticku dan melajukannya. Dan terjadilah tragedi itu. Aku jatuh dengan motorku.
Aduuhhh." Merintih kesakitan saat kakiku sepertinya terkilir. Untung saja motorku dilepaskan dan jatuh ke kiri sedangkan aku ke kanan. Sebuah tangan tiba-tiba menyentuh kakiku dan membuatku berteriak lagi.
"Awhhhhh aduuhhh sakit." Kleeeeekkkk
"Awwwwwwhhhhhhhhh."
"Coba berdiri." Aku langsung menyentuh kaki yang baru saja diluruskan oleh Dokter Sam yang kini sudah berjongkok di depanku.
"Mana bisa ini kan sakit." Tapi Dokter Sam kini malah beranjak berdiri dan tetap menatapku.
"Ya tolongin atau gimana ih." Kuulurkan tangan untuk minta bantuan Dokter Sam. Dan Dokter Sam masih hanya terus menatapku. Tidak bergerak sedikitpun untuk menyentuh tanganku.
"Ih dokter kejem." Aku akhirnya berusaha berdiri tapi kemudian menunduk untuk menatap kakiku yang tidak terasa sakit sedikitpun. Bahkan kini aku mencoba meloncat dan meloncat lagi. Lalu tersenyum lebar.
"Eh dok enggak sakit. Kok bisa ya?" Aku langsung menyentuh tangan Dokter Sam secara refleks dan mengguncangkannya.
"Ah makasih makasih." Dokter Sam langsung mengibaskan tangannya dan kini melangkah mundur. "Aku tunggu di ruanganku."
"Hah?" Aku masih menatap Dokter Sam yang dengan santainya langsung pergi begitu saja. Meninggalkanku sendiri di halaman puskesmas ini.
"Ih dasar singa kutub. Bantuin kek. Di papah atau gimana. Kan dia yang kuat aku jatuh. Dasar." Aku menggerutu saat akan mengangkat motor. Tapi aku terkejut lagi karena melihat motorku sudah tegak.
"Loh tadi kan kamu jatuh juga kan? Siapa yang negakin kamu?" Kutunjuk-tunjuk motor berwarna pink itu. Terlalu bingung.
"Singa kutub itu?" kuggelengkan kepala. Lalu menuntun motor kembali ke tempat parkir. Puskesmas memang sudah sepi. Dan aku merasa horor harus ke ruangan Dokter Sam lagi.
*****
"Duduk dan diam." Aku hanya menatap Dokter Sam yang kini mencuci tangan di wastafel memunggungiku. Aku sendiri baru saja sampai di dalam ruangan Dokter Sam dengan sedikit malas. Tanpa membantah akhirnya aku duduk. Tidak mau cerewet lagi. Percuma bicara dengan pria dingin.
Tiba-tiba dokter Sam berbalik dan melangkah ke arahnya. Dan langsung bersimpuh di depanku. Aku sendiri sekarang menunduk dan panik saat Dokter Sam tiba-tiba menyentuh kakiku. Refleks aku berteriak lagi.
"Enggaaakk mau dok." Dan langsung mendapatkan tatapan kesal dari Dokter Sam.
"Bawel." Dokter Sam meraih perban dan juga obat yang ada di atas meja. Lalu langsung kembali fokus ke kakiku lagi.
"Dokter mau ngapain coba? Jangan m***m ya dok. Saya bisa laporin dokter kalau mau grepe-grepe saya." Dan kali ini Dokter Sam menghentikan aktivitasnya yang sedang memotong perban. Dia menatapku dengan tajam dari balik kacamatanya itu.
"Aku mau obatin kaki kamu." Aku akhirnya menunduk lagi dan melihat kaki kiriku berwarna biru lebam. Lalu menatap Dokter Sam yang sudah menunduk lagi dan mengolesi salep di lebam itu.
"Owwwhhh anuuu....Saya...Anu... aduuhhh.. "
"Diam. Berisik!" Bentakan itu sontak saja membuat aku menutup mulut. Tapi aku sangat malu kali ini. Dan merutuki kebodohanku.