Hampir Bunuh Diri

1230 Kata
Dewa mengangguk setuju, mencoba memberikan dukungan pada Annisa dalam situasi yang sulit ini. Dia membukakan pintu mobil, membiarkan Annisa masuk, dan segera memulai perjalanan menuju klub tempat Rangga berada. Saat tiba di klub, Annisa keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh amarah. Matanya memancarkan api kemarahan, dan dia langsung bergegas masuk ke dalam klub tanpa ragu sedikit pun. Dewa mengikutinya dengan cepat, mencoba menjaga langkah Annisa agar tidak terlalu terburu-buru. Mereka berdua melangkah masuk ke dalam klub yang penuh dengan gemerlap lampu dan dentuman musik yang keras. Annisa mulai membuka pintu-pintu karaoke satu per satu, mencari keberadaan Rangga dengan penuh amarah dan rasa putus asa. Setiap kali pintu terbuka, matanya mencari-cari sosok yang dicarinya dengan penuh harapan dan kekecewaan yang mendalam. Annisa melangkah maju dengan hati yang hancur ketika melihat Rangga terkapar di salah satu sudut klub, tampaknya dalam keadaan mabuk berat. Di sampingnya, seorang perempuan tampak berdiri dengan wajah yang sedikit terkejut melihat kedatangan Annisa. "Siapa kamu?" tanya gadis itu. Rangga, yang terkejut melihat Annisa, mencoba bangkit dari tempatnya dengan susah payah, wajahnya terlihat bersalah dan kebingungan. "Annisa, ngapain kamu ke sini?" "Kamu yang ngapain di sini setan? Dasar kau cowo redflag, malah asik sama wanita p*****r!" teriak Annisa seraya mengguncangkan tubuh Rangga. "Ya mending guelah p*****r, orang-orang mau ketemu gue mesti bayar, lah kamu? w************n kan?" ujar gadis itu sembari menyilangkan kedua kakinya dan meneguk minuman whisky dari gelas yang ia genggam. "Shut up!" bentak Rangga sembari melik ke gadis itu. Gadis itupun keluar dari ruangan itu dengan langkah kaki pelan dengan senyuman sinis. Rangga menggenggam tangan Annisa, "Nis, akhirnya kamu nemuin aku." "Nemuin? Terus kamu kemana aja nggak nemuin aku? Kamu puas udah hancurin hidup aku hah?" ujar Annisa dengan menghempaskan tangan Rangga. "Nggak, Nis. Aku bingung mau nyari kamu kemana, kamu kan udah blokir nomor aku." "Kita ini satu univ, masa kamu bodoh nggak tahu aku di mana? Tinggal cari ke kampus! Jadi kaya gini kamu hah? Malah asik sama p*****r!" "Nis, aku setres Nis, aku ngerasa bersalah sama kamu." Kedua tangan Rangga memegang pundak Annisa. "Bulshit! Kamu memang jahat Rangga!" "Jni bukan seperti yang kamu pikirkan. Aku nggak ngelakuin apa-apa sama dia. Aku cuman minta dia vuat temenin aku minum doang," ujarnya dengan suara terbata-bata, mencoba menjelaskan. Namun, Annisa sudah terlalu sakit hati dan terluka untuk mendengarkan penjelasan Rangga. Air mata sudah membanjiri pipinya ketika dia menatap Rangga dengan penuh kekecewaan. "Kita putus, Rangga," gumam Annisa dengan suara serak, rasa sakitnya terlalu dalam untuk diucapkan dengan kata-kata yang lebih panjang. Rangga mencoba menjangkau tangan Annisa, namun Annisa sudah membalikkan tubuhnya dan meninggalkan klub dengan langkah yang gemetar, hatinya hancur dan terluka oleh pengkhianatan yang baru saja dia saksikan. Dewa, yang berada di belakang Annisa, memandang dengan perasaan iba, ingin sekali menghapus semua rasa sakit yang Annisa rasakan saat ini. Dewa memasuki ruangan dengan langkah mantap, ekspresi wajahnya serius dan penuh dengan kekecewaan. Dia berdiri di depan Rangga, menatapnya dengan tajam, seolah-olah memancarkan kekecewaan yang dialami Annisa. "Rangga, kamu tahu betapa besar dampak perbuatanmu ini terhadap Annisa," ujarnya dengan suara yang tenang namun penuh dengan ketegasan. "Kamu telah menghancurkan kepercayaan dan cinta yang dia miliki sama kamu, dasar persetan kamu." Rangga mengangkat kepalanya, "Eh Lo siapa? Ikut campur urusan orang! Berani-beraninya ya!" Tangan Rangg hampir menyentuh pipi Rangga. Namun, Rangga berhasil menangkapnya dan Dewa membanting tubuhnya. "s**t!" pekik Rangga Dewa melanjutkan, "Laki-laki kaya kamu itu pengecut! Cuman modal burung aja udah berani ngehamil orang tanpa pertanggung jawaban!" "Hah hamil?" Rangga terperangah. "Masih bego? Mikir dasar IQ jongkok!" Dewa menatap Rangga dengan tatapan tajam, memastikan bahwa pesannya benar-benar tersampaikan. Kemudian, dia meninggalkan ruangan dengan langkah mantap, meninggalkan Rangga untuk merenungkan kesalahannya sendiri. Annisa duduk di pinggir klub, hatinya hancur dan terpukul oleh semua yang telah terjadi. Air mata tak tertahankan membanjiri pipinya saat dia merenungkan semua perasaannya yang bercampur aduk. Tiba-tiba, seorang perempuan muncul di sampingnya, mengeluarkan sebatang rokok dari saku dan menyalakannya dengan gemetar. Dia melihat Annisa dengan pandangan penuh empati, merasakan betapa hancurnya hati gadis itu. "Mau rokok?" tawar gadis itu sembari menyodorkan rokoknya. Annisa menggeleng. "Lo pacarnya Rangga kan?" tanyanya tanpa basa-basi. Annisa mengangguk. "Udah jangan mikirin si Rangga lagi! Dia cuman modal kaya itu juga karena keluarganya!" ucap perempuan itu dengan suara pelan, mengeluarkan asap rokok dari mulutnya. "Gue tahu apa yang kamu rasakan sekarang." Annisa hanya terdiam sembari ia menahan mual dengan menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian, Annisa membiarkan perempuan itu melanjutkan. "Lo hamil kan?" tanyanya tiba-tiba, membuat Annisa terperangah. Annisa hanya menundukkan kepala, tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Perempuan itu melanjutkan, "Gue mengerti betapa sulitnya situasi lo. Lo mahasiswa berprestasi, dan kehamilan bisa ngubah segalanya. Kampus aja ngeluarin lo kalau tahu lo hamil dan itu bakal sulit buat lo." Annisa mendengar perkataan itu dengan berat hati, merasa semakin tenggelam dalam keputusasaan dan kebingungan. Segala sesuatu yang dia bangun selama ini, semua mimpinya, bisa saja hancur hanya karena satu kesalahan besar yang dilakukan oleh Rangga. Annisa merasa terpukul oleh kata-kata perempuan itu, menyadari bahwa situasinya semakin rumit dan sulit. Rasa putus asa merayapi hatinya saat dia memikirkan semua konsekuensi dari kehamilannya yang tidak diinginkan. Sementara itu, Rangga masih dalam keadaan terpaku, merenungkan semua kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun dia mungkin akan bebas dari tanggung jawabnya terhadap Annisa, dia juga menyadari bahwa ada korban lain dari perbuatannya yang sembrono ini. Perempuan itu melanjutkan, "Gue bisa bantu lo." Ia melanjutkan menghembuskan asap rokok lagi dari mulutnya. "Ini kartu nama gue, kalau lo butuh bantuan hubungi gue aja, atau lo ke sini, gue sering mangkal di sini," ucapnya sambil memberikan kartu nama kepada Annisa. Annisa menerima kartu nama itu dengan gemetar. Gadis itu meninggalkan Annisa, gadis itu juga berpapasan dengan Dewa yang keluar dari klub dengan langkah cepat, hatinya berdebar keras ketika ia mencari Annisa. Dia tahu Annisa dalam keadaan hancur dan sangat terpukul oleh semua yang telah terjadi. Sementara itu, Annisa, terhanyut dalam gelombang keputusasaan, berjalan tanpa arah menuju jembatan terdekat. Dia merasa seperti tidak ada tempat untuk melarikan diri dari rasa sakit yang menghimpitnya. Ketika mencapai jembatan, Annisa berhenti dan menatap ke arah air yang mengalir dengan mata yang penuh dengan air mata dan penuh dengan keputusasaan yang tak terbendung. Kemudian, dengan suara yang gemetar, dia berteriak sekuat tenaga. "Bodoh! Bodoh! b******k kau Rangga! Sialan!" teriaknya dengan suara yang penuh dengan keputusasaan dan penderitaan. Dia merasa hancur, seperti tiada lagi harapan di dunia ini. Annisa memukul-mukuli perutnya. Dewa, yang mendengar teriakan Annisa, segera berlari mendekatinya dengan cepat. Hatinya hancur melihat Annisa dalam keadaan seperti ini, dan dia berjanji dalam hati untuk melakukan segala yang dia bisa untuk menolongnya melewati masa-masa sulit ini. Annisa melangkah ke tepi jembatan, niatnya untuk mengakhiri segala penderitaannya dengan melompat ke dalam air yang mengalir di bawahnya. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, tangannya tiba-tiba dipegang kuat oleh Dewa, yang telah mengejarnya dengan cepat. "Annisa, jangan lakukan ini!" seru Dewa dengan suara yang penuh dengan kepanikan dan ketakutan. Annisa menatap Dewa dengan mata yang penuh dengan air mata, merasa hancur dan terluka. "Hidupku sudah tidak ada artinya lagi, Pak Dewa. Aku sudah tidak sanggup lagi," ucapnya dengan suara serak, suaranya penuh dengan keputusasaan yang mendalam. Dewa merasa hatinya hancur mendengar kata-kata Annisa. Dia tahu bahwa dia tidak bisa membiarkan Annisa melakukan sesuatu yang begitu drastis. Dengan tegas, dia berkata, "Annisa, saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahimu dan saya akan membantumu melewati semua ini. Kamu tidak sendiri, Annisa. Saya akan selalu ada di sampingmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN