Status Dewa

1267 Kata
Malam sebelum pergi ke rumah Annisa, Dewa sedang berada di rumah. Setelah mandi, dia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk sambil berjalan ke ruang kerja. Dewa duduk di ruang kerjanya, ia menatap teleponnya sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Rudy, bisa kamu cari tahu tentang seorang mahasiswa bernama Annisa Salshabilla? tanyanya begitu panggilan tersambung. Tentu, Pak Dewa. Saya akan segera mencari informasinya, jawab Rudy. Tak lama kemudian, Rudy datang membawa beberapa lembar kertas. "Pak Dewa, ini informasi yang saya dapatkan tentang Annisa Salshabilla," katanya sambil menyerahkan kertas-kertas itu. Dewa membaca dengan seksama, alisnya berkerut. "Ayahnya telah meninggal saat dia masih kecil. Annisa memiliki seorang kakak laki-laki yang sudah menikah, dan ibunya telah menikah lagi. Dari pernikahan kedua ibunya, Annisa memiliki dua adik perempuan," gumamnya. Rudy mengangguk. "Benar, Pak. Ayah tirinya adalah seorang pemabuk dan sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga." Dewa terdiam sejenak, merenungkan informasi itu. "Rudy, kira-kira hadiah apa yang cocok untuk saya berikan kepada orang tua Annisa agar saya bisa mendapatkan restu menikahinya?" Rudy mengangkat alisnya, sedikit terkejut. "Maaf, Pak? Menikah?" "Iya, Annisa korban pemerkosaan dari pacarnya. Dia sedang hamil," kata Dewa, suaranya berat. "Saya ingin melindunginya. Ini hanya sementara." Rudy menatap atasannya dengan bingung. "Tapi, Pak. Meskipun bapak menikahi Annisa, orang kampus tidak mungkin tahu kan? Itu bisa disembunyikan. Tapi bagaimana dengan kehamilannya? Saya rasa itu akan sulit disembunyikan dari publik." Dewa menarik napas panjang. "Hmmm, itu juga yang saya minta tolong. Biarkan publik tahu kalau kamu adalah suaminya Annisa. Buatlah seolah-olah kamu adalah suaminya." Rudy terdiam, merenungkan ucapan Dewa. "Pak, menurut saya berikan mereka rumah dan usaha bengkel, karena dari informasi yang saya dapat, ayah tirinya dulu punya usaha bengkel." Dewa mengangguk perlahan, memikirkan saran Rudy. "Baik, Rudy. Persiapkan semuanya. Kita akan lakukan itu. Untuk permintaan saya, saya anggap kamu setuju." "Sama-sama, Pak Dewa. Jika ada yang perlu ditambahkan, saya siap membantu," kata Rudy sebelum pamit. Dewa menghela napas panjang. Kemudian, telepon Dewa berdering dan terlihat nama kontak yang tertulis "Mama Nasya". Dengan cepat, Dewa menjawab panggilan tersebut. "Halo?" sapanya. Namun, yang terdengar adalah suara anak kecil. "Halo, Papa! Ini aku, Nasya." "Oh, sayang. Ada apa?" tanya Dewa lembut, sedikit terkejut mendengar suara putrinya yang masih duduk di bangku TK. "Papa, aku mau kasih tahu kalau di sekolah ada festival. Aku ingin Papa datang," kata Nasya dengan penuh semangat. Dewa tersenyum, meski hatinya sedikit tertekan karena berbagai urusan yang sedang dihadapinya. "Tentu, sayang. Papa akan usahakan datang. Kapan festivalnya?" "Lusa, Papa! Aku mau tampil menari. Papa harus lihat, ya!" pinta Nasya dengan suara penuh harap. "Papa pasti datang, sayang. Papa janji," jawab Dewa, berusaha menenangkan putrinya. Nasya terdengar tertawa riang di ujung telepon. "Terima kasih, Papa! Aku sayang Papa!" "Papa juga sayang Nasya. Sampai lusa, ya. Jangan lupa latihan," kata Dewa sebelum menutup telepon. *** Di rumah Annisa. "Dasar anak t***l kamu!" maki Sudrajat sembari terus menjambak rambut Annisa. Annisa terkejut dan berbalik. "Pak?" tanyanya, wajahnya pucat. "Kamu bener kan Annisa? Dasar anak durhaka!" Sudrajat berteriak dan menarik rambut Annisa dengan kasar. Annisa meringis kesakitan. "Lepaskan aku!" Dewa dengan segera melangkah maju dan menahan tangan Sudrajat. "Hei! Lepaskan dia!" Sudrajat terkejut dan menatap Dewa dengan marah. "Siapa kamu berani-beraninya ikut campur urusan keluarga orang?" Dewa menatap Sudrajat dengan tajam. "Saya Dewa, calon suami Annisa. Saya datang ke sini untuk meminta restu Anda karena kami akan menikah." Mendengar itu, Sudrajat terdiam sejenak, wajahnya berubah. "Menikah? Kalian akan menikah?" "Iya," jawab Dewa tegas. "Saya mencintai Annisa dan ingin melindunginya. Tolong jangan sakiti dia lagi." Akhirnya, Sudrajat melepaskan Annisa dan mundur beberapa langkah. "Baiklah, kalau begitu. Tapi jangan harap aku akan merestui dengan mudah," katanya dengan suara rendah sebelum pergi. Dewa menarik napas lega dan memeluk Annisa yang masih gemetar. "Kamu baik-baik saja?" Annisa mengangguk pelan, air matanya mengalir. "Terima kasih, Pak Dewa. Aku takut sekali." Dewa mengusap lembut rambut Annisa, matanya penuh dengan kepedulian. "Jangan khawatir, aku akan selalu melindungimu," ujarnya dengan suara lembut. Sejenak kemudian, Dewa merenung, lalu dengan gerakan cepat ia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponsel. Dengan ketukan ringan, ia memanggil nomor Rudy. Rudy, kamu sudah siapkan rencana semalam? tanyanya dengan suara pasti. Ya, Pak. Semua sudah siap, jawab Rudy di ujung telepon. Oke, sekarang kamu menuju ke rumah Annisa, perintah Dewa tanpa ragu. Dewa kembali melihat Annisa, memberikan senyuman kecil sebagai bentuk dukungan dan kepastian bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Tak lama kemudian, Rudy datang dan Dewa meminta semua anggota keluarga Annisa untuk naik ke dalam mobil. Setelah perjalanan singkat, mereka sampai di sebuah rumah yang cukup luas dengan sebuah bengkel kecil di sampingnya. Dewa membantu Annisa turun dari mobil, dan mereka semua berjalan menuju rumah tersebut. Dewa kemudian menghadap Sudrajat dan keluarga Annisa. "Pak Sudrajat, Ibu, ini adalah rumah baru untuk kalian. Bengkel ini juga untuk Bapak Sudrajat. Saya berharap dengan ini, Bapak bisa memulai hidup yang lebih baik dan meninggalkan kebiasaan buruk," kata Dewa dengan tegas namun sopan. Sudrajat, meskipun masih terlihat angkuh, tampak terkejut. "Kamu pikir dengan ini aku akan merestui kalian? Belum tentu," katanya dengan nada dingin. Dewa tetap tenang. "Pak Sudrajat, saya menghormati Anda sebagai ayah tiri Annisa. Namun, saya tidak membutuhkan restu Anda untuk menikahi Annisa. Yang berhak menjadi wali nikah Annisa adalah keluarganya yang memiliki hubungan nasab langsung. Anda hanya ayah tiri, dan tidak memiliki ikatan darah dengan Annisa." Mendengar itu, Sudrajat terdiam, tidak bisa membantah fakta yang dikemukakan oleh Dewa. Annisa menggenggam tangan Dewa erat-erat, merasa terlindungi dan dihargai. Dewa melanjutkan, "Yang penting bagi kami adalah kebahagiaan Annisa dan restu dari keluarganya yang sebenarnya. Kami berharap bisa hidup damai dan sejahtera, dan jika Bapak bersedia berubah, kami tidak akan menghalangi hubungan baik dengan Annisa." Sudrajat terdiam sejenak, lalu menghela napas berat. "Baiklah, jika itu keputusan kalian." Dewa mengangguk. "Terima kasih, Pak Sudrajat. Kalau begitu rumah ini sudah siap ditempati, Pak Rudy yang akan mengurus perpindahan kalian." Setelah dari sana, mereka kembali masuk ke dalam mobil. Annisa masih terkejut dan tidak menyangka kalau Dewa bisa mengetahui banyak tentang kehidupannya. Dewa melirik Annisa dan tersenyum. "Ayo, kita bertemu kakakmu," katanya. Mereka melanjutkan perjalanan menuju kota Bandung. Sesampainya di sana, mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana di pusat kota. Shandy, kakak Annisa, keluar dengan cepat begitu melihat mereka tiba. Wajahnya penuh kekhawatiran saat memeluk Annisa erat-erat. "Annisa, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya gemetar. Annisa mengangguk, berusaha tersenyum meskipun matanya berkaca-kaca. "Aku baik-baik saja, Kak. Terima kasih." Dewa melangkah maju, menjabat tangan Shandy dengan mantap. "Shandy, saya Dewa. Saya mencintai Annisa dan ingin menikahinya. Kami datang ke sini untuk meminta izinmu, karena kamu yang berhak menjadi wali Annisa." Shandy tertegun, tak menyangka tujuan kedatangan mereka. "Hah? Kita ngobrol di dalam aja, ya," ujarnya, suaranya bergetar. Mereka pun masuk ke dalam rumah. Shandy segera menarik lengan Annisa dan membawanya ke dapur, meninggalkan Dewa sejenak di ruang tamu. "Nis, kamu yakin mau nikah? Kenapa tiba-tiba seperti ini?" tanyanya penuh kekhawatiran, suaranya pelan namun tegas. Annisa melirik sekeliling ruangan, tampak cemas. Shandy mengerti dan menenangkan, "Teh Nur lagi nggak ada. Ayo coba cerita sama kakak, kenapa?" Annisa menghela napas, air matanya mulai menetes. "Kak..." suaranya patah-patah, ia berusaha keras untuk berkata. Shandy meraih bahu Annisa, mengguncangnya pelan. "Kenapa? Kamu dipaksa sama orang tadi, hah?" Annisa menggeleng, air matanya semakin deras. "Nggak, Kak. Pak Dewa dosen Annisa, dia justru yang mau nyelametin Annisa. Annisa ... Annisa hamil, Kak. Anak Rangga." Mata Shandy melebar, terkejut. "Rangga? Pacar kamu itu?" tanyanya, suaranya bergetar dengan campuran marah dan khawatir. Annisa mengangguk perlahan, merasa beban yang begitu berat sedikit terangkat setelah mengungkapkan kebenaran. Shandy menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum berbicara lagi. "Baik, kita selesaikan ini dengan tenang. Kamu nggak sendirian, Nis," kata Shandy sambil merangkul adiknya, memberikan rasa aman yang dibutuhkan Annisa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN