Papa?

1221 Kata
Annisa menatap kakaknya dengan mata berbinar. "Terima kasih, Kak Shandy." "Tapi beneran kan dia mau bantu kamu? Maksudnya kakak dia nggak akan macam-macam sama kamu? Kamu nggak dipaksa kan?" "Nggak, kak." Shandy kembali memeluk Annisa dengan erat. Lalu, mereka kembali ke ruang tamu. Shandy menatap lekat Dewa. "Pak Dewa sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Ini adalah keputusan yang besar, tapi aku percaya kalian sudah memikirkannya matang-matang," kata Shandy sambil menatap keduanya dengan tulus. Dewa mengangguk. "Terima kasih, Shandy. Kami akan memastikan Annisa bahagia." Setelah berbicara beberapa saat, Dewa mengajak Annisa untuk makan siang di sebuah restoran di dekat situ. Mereka berdua memasuki restoran dengan suasana hangat dan nyaman. Pelayan mengantarkan mereka ke meja yang nyaman di sudut ruangan dan memberikan menu. "Kamu mau makan apa?" tanya Dewa sembari melihat menu. "Hmmm, sup aja, Pak. Kalau ada, sup apapun," pinta Annisa sambil tersenyum. Dewa memanggil pelayan dan memesan makanan mereka. "Kami pesan satu sup ayam dan satu steak. Tolong tambah satu jus jeruk dan satu air mineral." Pelayan mencatat pesanan mereka dan pergi. Dewa menatap Annisa dengan penuh perhatian. Namun, ketika makanan tiba, Annisa mulai merasa perutnya tidak bersahabat. Wajahnya pucat, dan keringat dingin mulai muncul di dahinya. Dia mencoba untuk makan sedikit, tetapi perasaan mual semakin kuat. Akhirnya, Annisa buru-buru ke kamar mandi dan mulai muntah. Dewa yang khawatir segera mengikuti dan menemani Annisa di luar kamar mandi, menunggunya dengan cemas. Setelah Annisa keluar, wajahnya tampak lelah dan lesu. Dewa menyentuh bahunya dengan lembut. "Kamu baik-baik saja?" tanya Dewa penuh perhatian. Annisa mengangguk pelan, meski wajahnya masih terlihat pucat. "Aku hanya merasa sedikit mual. Mungkin aku perlu istirahat." Dewa segera mengambil keputusan. "Baiklah, kita booking hotel saja. Kamu bisa beristirahat di sana." Mereka berdua meninggalkan restoran dan Dewa memapah Annisa berjalan ke dalam mobil. Sesampainya di hotel, Dewa membantu Annisa masuk ke kamar dan memastikan dia nyaman di tempat tidur. Dia menyiapkan air putih dan menyelimutinya dengan hati-hati. "Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saja saya. Saya akan berada di sebelah," kata Dewa dengan lembut. Annisa tersenyum lemah. "Terima kasih, Pak Dewa." "Jangan lupa minum obat dan vitamin," pesan Dewa kepada Annisa. Dewa tersenyum dan meninggalkan kamar, memastikan pintu sedikit terbuka agar bisa mendengar jika Annisa memanggil. Dia duduk di sofa di ruang tamu suite hotel, berusaha tetap waspada sambil membiarkan Annisa mendapatkan istirahat yang sangat dibutuhkannya. Malam itu, Annisa terbangun dengan perlahan. Dia melihat ke arah sofa dan melihat Dewa tertidur pulas. Annisa tersenyum tipis, merasa terharu dengan perhatian Dewa. Annisa meraih ponselnya yang terletak di meja samping tempat tidur. Ada pesan masuk dari Ratu> [Nisa, lo ke mana? Kenapa nggak masuk kuliah?] Annisa menatap pesan itu sejenak sebelum mengetik balasan. [Gue di bandung. Gue ada urusan keluarga, Ratu. Mungkin besok juga gue nggak akan masuk kampus.] Ratu membalas dengan cepat. [Oh, semoga semuanya baik-baik saja. Kalau butuh apa-apa kabari kita, ya.] Annisa tersenyum, merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Ratu dan Tika. Setelah mengirim pesan itu, Annisa meletakkan ponselnya kembali dan memandang ke arah Dewa yang masih tertidur. Dengan perasaan tenang, Annisa kembali berbaring dan mencoba untuk tidur lagi, berharap esok hari akan membawa kebahagiaan dan kesehatan yang lebih baik. Keesokan harinya, Annisa terbangun dan melihat Dewa sudah rapi, bersiap-siap untuk pergi. Merasa penasaran, Annisa mendekatinya. "Pak Dewa, mau ke mana?" tanya Annisa dengan suara lembut. Dewa tersenyum dan mendekat. "Ada urusan sebentar yang harus saya selesaikan, Nisa. Tapi jangan khawatir, saya tidak akan lama." Annisa mengangguk, meski masih ada rasa penasaran di hatinya. "Baiklah, Pak." Sebelum pergi, Dewa merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu. Dia menyerahkannya kepada Annisa. "Ini kartu untuk kamu. Saya ingin kamu berbelanja persiapan pernikahan kita. Pilihlah apa pun yang kamu suka dan yang kamu butuhkan. Ini juga kesempatan untukmu buar nggak bosen di hotel terus." Annisa terkejut dan merasa sedikit canggung. "Hmm, Pak, sepertinya ini berlebihan." Dewa tertawa kecil, lalu menyentuh bahu Annisa dengan lembut. "Tenang saja, Nisa. Anggap saja ini bagian dari persiapan kita. Lagipula kamu sebentar lagi akan menjadi istri saya. Sudah menjadi hak kamu!" Annisa mengangguk dengan senyum. "Baik, Pak. Terima kasih." Dewa mengelus puncak kepala Annisa sebelum pergi. "Hati-hati di jalan, ya. Dan nikmati hari kamu." Setelah Dewa pergi, Annisa merasa sedikit gugup. Annisa pun mandi dan bersiap-siap sebelum turun ke kafe hotel untuk sarapan. Meski masih merasa sedikit mual, ia mencoba menikmati makanan yang disajikan. Sarapan yang hangat dan suasana kafe yang tenang membuatnya merasa lebih baik. Sesampainya di pusat perbelanjaan, Annisa mulai berkeliling, memilih barang-barang yang diperlukan untuk persiapan pernikahan mereka. Dia memilih dengan hati-hati, memikirkan apa yang akan membuat momen pernikahan mereka menjadi lebih istimewa. Annisa mulai dari toko pakaian, mencari gaun dan pakaian formal yang mungkin diperlukan. Kemudian, dia menuju toko perhiasan, melihat-lihat cincin dan aksesoris yang cantik. Dia juga melihat dekorasi dan juga bunga. Namun, Annisa segera menggeleng, 'Lagipula aku ini hanya menikah sederhana. Alhamdulillah, aku bisa menikah juga, aku sudah bersyukur,' batin Annisa. Setelah berbelanja, Annisa memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat pusat perbelanjaan. Udara segar dan suasana yang tenang membuatnya merasa lebih rileks. Sambil berjalan, Annisa menikmati pemandangan sekitar dan melihat anak-anak bermain dengan riang. Saat berjalan lebih jauh, Annisa tiba di depan sebuah sekolah TK elit. Dia melihat para anak kecil berlarian di halaman sekolah, ditemani oleh orang tua mereka yang tampak bahagia dan penuh perhatian. Pemandangan itu membuat Annisa terhenti sejenak. Dia memperhatikan dengan senyum di wajahnya, merasakan kehangatan yang terpancar dari kebersamaan mereka. Secara refleks, Annisa mengelus perutnya. Di dalam hatinya, dia merasa lega dan bersyukur. 'Sekarang aku tidak perlu khawatir lagi,' pikir Annisa. 'Anakku akan memiliki orang tua yang menyayanginya dan memberikan semua yang terbaik.' Pikiran itu membuat Annisa merasa tenang dan optimis tentang masa depannya. Dia tahu bahwa dengan kehadiran Dewa, anak mereka akan tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta dan perhatian. Dengan hati yang lebih ringan, Annisa melanjutkan perjalanannya di taman, merasa lebih kuat dan siap menghadapi tantangan apa pun yang mungkin datang. Tiba-tiba, pandangan Annisa tertuju pada seorang pria yang keluar dari sekolah TK tersebut, menggandeng seorang gadis kecil. Gadis itu terlihat begitu manis dan bahagia, senyumannya memancarkan keceriaan yang tulus. Annisa merasa ada sesuatu tentang mereka yang menarik perhatiannya. Tanpa sadar, Annisa mulai mengikuti mereka dari kejauhan, ingin tahu lebih banyak. Sayup-sayup, Annisa mendengar percakapan mereka. Pria itu berjongkok di depan gadis kecil, mengelus kepalanya dengan penuh kasih sayang. "Good girl," katanya dengan suara lembut, senyumnya tulus. "Hmm... Oke, karena Nasya sudah hebat, Papa mau beliin semua keinginan kamu. What you want?" Gadis kecil itu melompat girang, matanya berbinar-binar. "Really? Anything?" Pria itu tertawa kecil, matanya bersinar penuh cinta. "Yes, anything." "Papa, aku mau beli ice cream, please!" pintanya, suaranya penuh semangat dan harap. "Oke, let's go!" jawab pria itu, sambil menggenggam tangan kecil gadis itu dengan erat. Annisa tersentak kaget mendengar interaksi mereka. Pria itu dan gadis kecilnya berjalan hingga mencapai tepi jalan. Annisa tetap menjaga jarak, tetapi saat mereka berbalik, mata mereka bertemu. Keduanya tampak terkejut dan wajah mereka menunjukkan ekspresi yang sama—kaget dan penasaran. Pria itu menghentikan langkahnya sejenak, begitu pula Annisa. Gadis kecil di sampingnya mengerling ke arah Annisa dengan mata besar penuh rasa ingin tahu. Waktu seakan berhenti, membiarkan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Annisa. Gadis kecil itu akhirnya tersenyum, pipinya memerah, dan berkata dengan suara lembut namun penuh rasa penasaran, "Kakak cantik. Kenapa liatin papa kaya gitu?" Annisa terkejut, seolah baru terbangun dari lamunan. Dia cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN