"Ini bukan obat, ini hanya sekadar vitamin sama roti," ucap Dewa ramah.
Mata Annisa terbuka lebar saat melihat isi kantong tersebut. Dia tersenyum kecut, lalu menerima kantong kresek itu dengan malu-malu.
"Terima kasih, Pak," ucap Annisa sambil mengucapkan terima kasih.
Dewa mengangguk ringan. "Tidak perlu terima kasih. Maaf jika saya mengganggu," jawab Dewa dengan lembut.
Namun, Dewa tidak berhenti di situ. Dia melihat Annisa menunggu angkutan umum di halte yang sepi, dan dia tidak tega membiarkannya sendirian. "Maaf, bolehkah saya mengantarmu pulang? Rute saya lewat sana juga," tawar Dewa, menawarkan bantuan.
Annisa terdiam sejenak, merasa terharu dengan kebaikan hati Dewa. Meskipun ragu-ragu, dia akhirnya menerima tawaran tersebut dengan anggukan.
Mereka berdua masuk ke dalam mobil Dewa. Suasana di dalam mobil terasa hening, namun tak terasa canggung. Annisa duduk di kursi penumpang sambil menatap keluar jendela, sedangkan Dewa fokus pada kemudi dengan tenang.
Setiap sudut jalan yang mereka lalui memberikan pandangan baru bagi Annisa, yang jarang berada di daerah tersebut. Sedangkan Dewa, menikmati perjalanan dengan penuh ketenangan.
Saat tiba di depan kosan Annisa, Dewa menghentikan mobilnya. Annisa bersiap-siap untuk turun, namun sebelum itu, dia menoleh ke arah Dewa.
"Terima kasih banyak, Pak Dewa. Saya sungguh menghargai tawaran bantuan Anda," kata Annisa dengan tulus.
Dewa tersenyum ramah.
Annisa tersenyum dan mengangguk dan ia keluar dari mobil.
Dengan itu, Annisa turun dari mobil dan melangkah menuju kosannya dengan perasaan masih tidak tenang yang baru saja dia alami hari itu.
***
Annisa merasa langkahnya terasa berat dan kesakitan saat menuju kamar mandi. Setiap langkahnya diiringi dengan rasa takut dan kekhawatiran yang memenuhi hatinya. Begitu tiba di kamar mandi, Annisa langsung menuju ke shower, membiarkan air mengalir deras menutupi suara isak tangisnya.
Di bawah guyuran air, Annisa merasa seakan-akan beban yang selama ini dia pikul tiba-tiba terasa lebih berat. Air yang menyentuh tubuhnya seolah-olah membasuh segala dosa dan kesalahan yang telah dia lakukan. Dalam keheningan kamar mandi, dia merenungkan segala perbuatan buruk yang telah dilakukannya, merasa hancur oleh rasa bersalah yang menghantui.
Satu jam Annisa menghabiskan waktu di kamar mandi, setelah itu ia melakukan solat dan ia tidak di atas ranjang sembari ia melihat ke atas langit-langit.
Dia mengambil napas dalam-dalam, 'Masih nggak nyangka, bisa-bisanya si Rangga lakuin itu sama aku! Semoga aku nggak kenapa-kenapa ya Allah.'
***
Keesokan harinya, Annisa terbangun dengan tergesa-gesa, ia melihat sekeliling kamarnya begitu terang, ia menyadari kalau hari itu dia bangun terlambat dari jadwal biasanya.
's**t! Aduh aku kesiangan! Hari .... Argh hari ini jadwalnya pak Dewa lagi!"
Dia segera bangun dari tempat tidur. Tanpa banyak berpikir, dia segera bersiap untuk pergi ke kampus.
Saat tiba di kampus, Annisa melihat Dewa sudah berada di sana. Dia merasa lega sekaligus sedikit khawatir.
'Aduh mati aku! Dosen killer mana mungkin bisa lolos!' batin Annisa .
Dengan pelan Annisa menarik daun telinga pintu dan membukanya, pandangan semua orang tertuju pada Annisa.
Annisa bisa merasakan tatapan penasaran dan keheranan dari teman-temannya. Dewa, dengan sikap tegasnya, dia menoleh ke arah Annisa dan mengatakan, "Maafkan saya, Annisa. Hari ini, saya tidak bisa mengizinkanmu masuk ke dalam mata kuliah saya."
Annisa merasa terkejut dan kecewa. Dia mencoba membela diri, "Maafkan saya, Pak Dewa. Saya benar-benar terlambat dan tidak bermaksud untuk mengganggu kelas."
Namun, Dewa tetap teguh pada keputusannya. "Saya harap kamu bisa memahami, Annisa. Ini adalah konsekuensi dari keterlambatan dan ketidakpatuhan pada aturan kampus. Saya berharap kamu dapat memperbaiki diri dan menjadi lebih bertanggung jawab ke depannya. Silakan kamu temui saya di ruangan saya nanti selesai mata kuliah ini."
Annisa mengangguk, meskipun hatinya hancur. Semetara di dalam kelas terlihat teman Annisa berkata dengan isyarat.
'Kenapa?'
Annisa hanya cukup mengedikkan bahunya dan ia keluar dari kelas.
Saat Annisa keluar dari kelas, dia merasa hampir tidak mampu menahan tangisnya. Tapi dia memutuskan untuk menahan emosinya sampai dia sendirian. Dia berjalan menjauh dari kerumunan, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat berjalan, Annisa menemukan tempat yang sepi di kampus. Dia duduk di bangku taman, mencoba mengatur nafasnya yang terengah-engah. Namun, tatapan keheranan dan pertanyaan teman-temannya masih menghantuinya.
Beberapa menit kemudian, Annisa merasa cukup kuat untuk menghadapi Dewa. Dia bangkit dari tempat duduknya dan menuju ruang Dewa dengan langkah ragu-ragu. Ketika dia tiba di depan pintu ruangan Dewa, dia mengetuk pelan.
'Aduh malu banget aku, mana kemarin dia lagi yang nolongin aku," bisiknya pada dirinya sendiri, mengingat tatapan Dewa yang tadi pagi.
Dewa membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum lembut. "Duduk, Annisa."
Annisa memasuki ruangan dengan hati yang berdebar kencang. Dia duduk di depan meja Dewa, menunggu dengan tegang. Dewa duduk di kursi di seberangnya dan melihat Annisa dengan tatapan penuh pengertian.
"Annisa," Dewa mulai, suaranya lembut namun tegas, "Saya ingin kamu tahu bahwa saya tidak bermaksud membuatmu merasa terhukum. Tapi aturan kampus harus ditegakkan untuk kebaikan bersama. Saya percaya kamu bisa belajar dari kesalahan ini dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik."
Annisa mengangguk, menyadari kebenaran dalam kata-kata Dewa. "Maafkan saya, Pak Dewa. Saya sungguh menyesal atas kelalaian saya. Saya tahu hukuman seperti biasakan pak saya harus buat artikel?"
Dewa merubah mimik wajahnya menjadi lebih serius, "Bukan! Karena kemarin juga kamu berhutang budi sama saya jadi saya mau kamu membuat hukuman yang lain."
Annisa mengerutkan keningnya, "Hmmm, pak saya kemarin kan udah nolak saya tawaran bapak buat bantuin saya, kok sekarang saya harus hutang hudi?" Kalau tahu kaya gitu saya sudi oak dibantuin sama bapak!" beber Annisa di hadapan dosennya itu.
Dewa mengangguk sembari menyeringai, "Ah, sudah telat, Annisa. Mau menyesal juga nggak akan bisa! Kamu juga belum tahu hukuman kamu apa kok udah pasrah begitu?"
Annisa terdiam, "Yaudah apa hukumannya pak?" tanya Annisa pasrah.
"Saya nggak akan kasih tahu kamu sekarang!"
"Terus?"
"Mau nggak? Yaudah kalau nggak mau kamu bisa ngilangin mata kuliah saya di semester depan!"
"Iya iya pak, saya mau!"
"Good, selesai jam makan siang kamu tunggu di depan kampus, paham?"
"Pah.. am pak!"
"Oke, silakan kamu kembali ke kelas."
Dewa mengangguk sembari menyeringai, "Ah, sudah telat, Annisa. Mau menyesal juga nggak akan bisa! Kamu juga belum tahu hukuman kamu apa kok udah pasrah begitu?"
Annisa terdiam, matanya mencari tahu reaksi Dewa. "Yaudah apa hukumannya pak?" tanya Annisa pasrah.
Dewa tersenyum misterius. "Saya nggak akan kasih tahu kamu sekarang!"
Annisa mengernyit, mencoba mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. "Terus?"
"Mau nggak? Yaudah kalau nggak mau kamu bisa ngilangin mata kuliah saya di semester depan!"
Annisa merasa deg-degan. "Iya iya pak, saya mau!"
Dewa mengangguk puas. "Good, selesai jam makan siang kamu tunggu di depan kampus, paham?"
Annisa mengangguk, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Pah.. am pak!"
Dewa mengangguk sekali lagi. "Oke, silakan kamu kembali ke kelas."
Annisa meninggalkan ruangan dengan hati yang berdebar-debar, tak sabar untuk mengetahui hukuman yang akan dijatuhkan Dewa.
Di depan ruangan Dewa sudah ada Tika dan Ratu yang sudah menunggu Annisa.
Ratu menghampiri Annisa dengan wajah penuh kekhawatiran, "Nis, lo nggak diapa-apain kan sama Pak Dewa?"
Annisa mengangguk pelan, matanya mencerminkan kebingungan yang mendalam. "Iya, Ratu. Nggak ada yang aneh, kok," jawabnya mencoba menenangkan Ratu.
Tika, yang mendengarkan percakapan mereka, ikut menyela, "Pasti lo dikasih hukuman ya? Tugasnya apa? Bikin artikel? Atau penelitian?"
Annisa merasakan denyutan di dadanya. "Aduh, Tika, gue nggak yakin. Dia nggak bilang apa-apa, cuma minta gue temenin dia nanti siang. Tapi rasanya gimana gitu," ujarnya dengan nada khawatir.
Tika dan Ratu saling bertatapan, mencoba mencerna informasi yang baru mereka dengar. "Hmm, ada yang aneh!" gumam Ratu.
"Iya bener sih! Dia nggak kayak biasanya, kan? Apa jangan-jangan Pak De suka sama lo, Nis!" seru Tika dengan antusias.