Di sebuah kosan kecil yang berlokasi di pinggiran kota, Annisa, seorang mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia, terbaring lemah di atas kasurnya. Suasana di kamarnya terasa suram dengan cahaya remang-remang yang memasuki ruangan melalui celah-celah tirai yang setengah tertutup. Udara terasa pengap, menambah rasa tidak nyaman Annisa yang tengah menderita sakit.
Tak kuasa menahan rasa sakit yang semakin menggelayuti tubuhnya, Annisa meraih ponselnya yang terletak di meja kecil di samping tempat tidur. Dengan suara lemah, dia menghubungi pacarnya, Rangga.
Annisa berbicara dengan napas terengah-engah, "Rangga, tolong ... aku sakit banget di kosan. Bisa nggak kamu datang ke sini?"
Terdengar suara ragu Rangga, "Kamu yakin nggak apa-apa, sayang? Kok rasanya kayak serius banget sih?"
Annisa mengerang kesakitan, "Iya, aku serius! Aku nggak tahan lagi nih, Rangga. Tolong deh, kamu bantu aku."
"Oke oke, aku akan segera ke sana. Tunggu aku ya," jawab Rangga.
Tak lama setelah itu, suara langkah kaki berat terdengar mendekat ke arah pintu kosan Annisa. Rangga membuka pintu dengan cepat, memasuki ruangan yang terasa semakin mencekam dengan keadaan Annisa yang semakin lemah.
Rangga memasuki kamar dengan napas terengah-engah, "Sayang, aku udah sampe. Ya ampun, kamu kenapa?"
Rangga melihat Annisa berbaring seraya metingkuk di lantai.
Annisa mengeluarkan suara pelan, "Aku ... sakit banget, Rangga. Nggak tahu kenapa. Badan aku sakit banget kek dicabik-cabik.
Rangga menggedong tubuh Annisa dan membawanya pergi dari kosan, "Sabar ya, sayang. Aku ada di sini nih, jangan khawatir."
Rangga menggedong Annisa hingga memasuki mobil.
"Kita mau kemana?" tanya Annisa.
"Aku bawa kamu berobat, Sayang," balas Rangga.
Annisa menggenggam tangan Rangga, "Makasih, Rangga. Aku nggak tahu apa yang terjadi sama aku."
Lima belas menit kemudian, mobil Rangga tiba di suatu rumah besar.
Rangga berbisik, suara agak terdengar gelap, "Tapi sayang, sebelum aku datang, aku bawa obat buat kamu. Ini bius yang bisa mengurangi rasa sakitmu."
Annisa mengernyitkan dahi, "Bius? Kok bisa, Rangga? Aku butuh obat yang bisa menyembuhkan aku, bukan membuatku terbius. Katanya kamu mau bawa aku berobat?"
Rangga tersenyuman jahat terlihat di wajahnya, "Maaf, sayang. Tapi ini cara terbaik agar kamu nggak lagi merasakan rasa sakit yang menyiksamu."
Annisa terkejut, "Tunggu, Rangga! Nggak boleh!"
Namun, Rangga sudah terlalu cepat. Dalam sekejap, dia menyuntikkan bius ke tubuh Annisa berusaha menahan rasa panik saat dia merasakan efek bius mulai merambat ke seluruh tubuhnya. Matanya mulai terasa berat, dan tangannya terasa lemas saat mencoba mempertahankan pegangan pada tangan Rangga.
Suara Annisa tergantung, "Rangga, kenapa kamu melakukan ini padaku? Aku butuh bantuan, bukan disakiti!"
"Maaf, sayang. Tapi ini keputusan yang terbaik untukmu. Nantinya kamu akan merasa lega dan tidak akan lagi merasakan rasa sakit yang menyiksamu," ucap dingin Rangga.
Sedangkan Annisa berusaha mempertahankan kesadarannya, dunia di sekitarnya perlahan-lahan memudar. Dia bisa merasakan tubuhnya melemas dan pikirannya semakin kabur. Suara Rangga pun terdengar semakin jauh.
Dalam keadaan setengah sadar, Annisa merasakan dirinya diangkat dan dibawa ke tempat tidur. Suasana di kamarnya semakin suram, seolah-olah mencerminkan keadaan hatinya yang gelap dan penuh kebingungan.
Annisa yang terbaring di ranjang dengan lemas, sementara Rangga begitu antusias melihat wajah polosnya ketidak berdayaan Annisa. Senyum bahagia terlihat di sudut bibir Rangga.
Ia membuka baju Annisa perlahan.
"Malam ini tubuhmu akan menjadi milikku, Sayang," bisik Rangga di telinga Annisa.
Beberapa jam kemudian, Annisa bangun dengan perasaan bingung dan pusing yang masih terasa. Dia membuka mata perlahan dan melihat sekelilingnya, ia sudah tak mengenakan sehelai bajupun, hanya dibungkus oleh selimut berwarna putih. Rangga duduk di samping tempat tidurnya, tetapi ekspresi di wajahnya bahagia.
"Hai, Sayang. Sudah bangun," sapa Rangga.
Namun, Annisa menatap wajah Rangga dengan penuh tanda tanya.
"Kau ngapain tadi? Kau ngapain aku? Hah?" cecar Annisa.
"Aku nggak ngapa-ngapain kamu, Sayang," kata Rangga dengan senyuman sinis.
"Nggak mungkin!" Annisa mencoba duduk, tetapi ia merasa nyeri pada bagian area sensitifnya. Lalu, ia melihat ada bercak darah di seprei.
Tidak terasa mata Annisa mengeluarkan buliran bening, tampak hancur hati Annisa dengan berkeping-keping.
"Kenapa kamu tega buat kaya gini sama aku, Rangga? Kamu udah janji sama keluargaku bakalan jagain aku, kita selesaikan kuliah kita lalu menikah," kata Annisa seraya terisak.
"Oh, Sayang. Aku janji bakalan nikahin kamu, toh kamu nggak akan kenapa-kenapa kok, tenang aja." Rangga mendekati Annisa dan memelukmya erat.
"Argh! Pergi kamu lepasin aku!" Annisa berontak.
Annisa bangkit dan membawa bajunya, ia berlari ke kamar mandi.
Annisa memukul-mukul westafel seraya melihat wajahnya di depan cermin.
"Sial, Sialan Rangga, berengsek! Dia udah hancurin aku!" umpat Annisa seraya menangis.
Ia meraung-raung, melihat tubuhnya yang sudah tidak suci lagi. Annisa keluar dari kamar mandi dan melihat Rangga tertidur pulas.
Annisa melangkah tergesa-gesa keluar dari kamar hotelnya. Cahaya mentari pagi yang menyusup melalui celah-celah jendela menyinari wajahnya yang sembab. Dia merasakan hancur, bagaimana bisa ornag yang dia percayai malah membawanya pada kehancuran.
Saat ia melangkah keluar dari kamar hotel, suasana di luar terasa begitu hidup. Jalan-jalan dipenuhi dengan orang-orang yang sibuk, mobil-mobil berlalu-lalang, dan suara klakson yang menggema di telinganya. Gedung-gedung tinggi menjulang di sekitarnya, mencerminkan sinar matahari yang menambah keindahan pemandangan kota.
Annisa berjalan dengan langkah cepat menuju depan gedung hotel tanpa melihat jalanan.
"Sialan, namanya manusia kalau udah kesambet setan ya jadi setan! Selugu Rangga aja bisa nafsu, *njing!" umpat Annisa selama ia berjalan.
Tiba-tiba, sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju arahnya. Annisa terkejut dan takut, langkahnya terhenti sejenak.
Namun, seorang pria yang akrab baginya, Profesor Dewa, melihat kejadian itu dan dengan sigap melompat untuk menolongnya. Dalam sekejap, Profesor Dewa berhasil menarik Annisa ke tepi jalan yang aman, menjauhkannya dari bahaya.
"Annisa! Kamu harus lebih berhati-hati," ucap Profesor Dewa dengan napas terengah-engah, terlihat khawatir di wajahnya. "Kamu hampir saja ditabrak mobil tadi. Apa yang membuatmu begitu terburu-buru?"
Annisa memandang Profesor Dewa dengan tatapan campuran antara rasa syukur dan rasa malu. "Maaf, Pak," kata Annisa sambil menundukkan kepalanya.
"Terima kasih, pak. Saya pamit," kata Annisa.
Annisa berjalan meninggalkan Dewa, pada saat Annisa berjalan, Dewa merasakan ada yang tidak beres dengan Annisa.
"Bentar deh, kok Pak De bisa tahu aku ya?" pikir Annisa. "Bukannya dia itu cuek banget sama mahasiswa."
"Argh, kenapa jadi mikirin Pak De segala. Ini aku ada di mana coba?" Annisa linglung.
Annisa merogoh saku celananya dan ia tidak menemukan sepeser pun uang.
"Ya Tuhan!"
"Kamu kenapa kaya orang linglung? tanya Dewa.
"Kamu sakit?" tanyanya lagi.
Annisa menggelengkan kepala, "Nggak kok, Pak. Kenapa bapak masih di sini?" Annisa malah bertanya.
"Rumah saya deket sini kok, justru kamu kenapa ada di sini? Hei, kamu berdarah?"
Annisa mendengar perkataan Dewa langsung terkejut dan ia pun lemas. Dewa dengan sigap memapah Annisa membawanya ke dalam mobil.
***
Dewa menggendong Annisa dengan hati-hati dan membawanya menuju rumah sakit terdekat. Suasana di ruang tunggu rumah sakit terasa canggung, diisi dengan suara langkah-langkah yang cepat dari tenaga medis dan keriuhan orang-orang yang menunggu giliran. Annisa merasa tegang dan khawatir, pandangan matanya tak bisa lepas dari pintu-pintu ruang pemeriksaan yang terbuka.
"Pak Dewa, saya ada di mana?" tanya Annisa.
"Ini di rumah sakit," jawab Dewa.
"Pak, saya nggak papa kok, nggak perlu ke rumah sakit," kata Annisa seraya bangkit dari ranjang.
Annisa berjalan setelah berlari, ia begitu ketakutan saat berada di rumah sakit. Tangannya bergetar, ia takut apa yang terjadi pada dirinya diketahui oleh orang lain.
Annisa berlari sekuat tenaga.
Dewa segera menyusul Annisa karena takut ia tertabrak lagi, apalagi dia berjalan pun masih tidak tegap.
Annisa duduk di halte depan rumah sakit, Dewa menatap Annisa. Annisa yang tahu kehadiran Dewa segera menundukkan kepala.
"Pak, maaf saya tidak perlu berobat, saya nggak papa kok," kata Annisa.
Dewa menyodorkan sebuah kresek berwarna putih.
Mata Annisa terbuka penuh