8. Nasehat Gendis Untuk Gama

1345 Kata
Gendis mencincang kasar steak yang ada di hadapannya. Mengungkapkan kekesalan hatinya akan perlakuan Gilang, pada makanan yang tidak bersalah sama sekali. Sungguh, Gendis tak habis pikir kenapa suaminya itu begitu peduli pada Gita dan lebih memilih mengabaikannya. Membenarkan fakta jika memang keduanya ada hubungan tersembunyi di belakangnya. Tadi setelah kepergian Gilang, Gendis bahkan tak ada selera untuk menyantap makanan hasil masakan suaminya itu. Padahal ia cukup tahu jika Gilang sudah capek-capek menyediakan makan malam untuknya. Dan nyatanya dia memilih pergi lagi meniggalkan rumah tanpa repot-repot menyentuh makanan yang pasti sudah dingin. Memesan taksi usai dia mandi dan membersihkan diri serta dandan ala kadarnya. Tak peduli jika hari sudah mulai larut dan di sini lah tempat yang ia tuju. Bukan night club, tapi hanya café yang buka satu kali dua puluh empat jam. Di tempat ini Gendis berharap bisa meluapkan kekesalan serta emosinya dengan makan sembari melihat live music. Namun, pada kenyataannya dia sama sekali tak mampu menghapus bayang-bayang Gilang yang masuk ke dalam mobil bersama Gita di dalamnya. Hingga saat ini pun tak ada pesan yang GiIang kirimkan untuknya padahal tadi jelas-jelas dia mengatakan akan pergi keluar. Apakah Gilang sudah tidak sepeduli itu padanya. Oh Tuhan jika memang Gendis harus mengakhiri pernikahan dengan Gilang maka dia sudah ikhlas. Waktu lima tahun kebersamaan mereka tidak sanggup Gendis perjuangkan lagi jika harus kesakitan yang Gilang torehkan sebab kehadiran wanita kedua. “Kasihan sekali makanannya sampai dicincang tak berbentuk begitu. Jika memang tidak mau dimakan, lebih baik jangan disia-siakan. Mubazir jatuhnya. Padahal di luaran sana ada banyak orang yang ingin sekali makan steak, tapi belum kesampaian.” Perkataan yang menohok hati, membuat Gendis mendongakkan kepalanya. “Gama!” Pemuda itu terkekeh. Tanpa meminta persetujuan dari Gendis, Gama duduk begitu saja di hadapan wanita itu. Memperhatikan Gendis yang wajahnya sudah kusut dan tidak sedap di pandang mata. “Kamu di sini juga rupanya,” ucap Gendis tak tertarik sama sekali dengan kehadiran Gama yang jelas mengganggu kesendirian dan ketenangannya. “Mbak sendiri ngapain di sini? Kalau mau makan rasanya tidak juga, jika melihat steak yang sudah hancur lebur tak berbentuk begitu.” “Kamu ini. Ngapain sih selalu saja julid. Steak aku yang beli, ya terserah mau aku apakan.” Gama berdecak. “Mbak sendirian?” “Iya. Memangnya kamu melihat ada orang lain yang bersamaku?" “Memangnya suami Mbak ke mana? Kenapa membiarkan istrinya yang cantik ini berkeliaran seorang diri malam hari begini. Jika ada yang menculik baru tahu rasa nanti.” Gendis hanya menanggapi dengan geleng-geleng kepala. Beberapa bulan mengenal Gama, Gendis jadi tahu sedikit-sedikit tentang pemuda itu. Meski tampangnya misterius, pendiam jika di kantor, tapi sebenarnya di balik itu semua ada sifat asli Gama yang tidak banyak orang tahu. Ceriwis dan julid. “Siapa juga yang mau menculik istri orang. Kamu ini ada-ada saja.” “Saya,” jawab Gama enteng yang disambut Gendis dengan delikan mata. Lagi-lagi kata-kata absurd diterima Gendis dari pemuda bernama Gama setelah sebelumnya Gama juga pernah menawarkan diri untuk jadi pacarnya. “Jangan cari masalah apalagi berani menggodaku lagi. Lagian kamu ini kenapa tiba-tiba muncul di sini? Kamu sedang ingin makan juga? Atau ada janji dengan seseorang misalnya?” Gama malah melipat kedua lengan depan d**a. “Cie, Mbak Gendis mulai kepo juga sama saya.” Untuk kesekian kali Gendis mendelik judes pada Gama hingga tak lagi mau menanggapi Gama karena menghadapi pemuda itu malah semakin membuat suasana hati Gendis memburuk. Wanita itu meraih tas, mengambil dompet dan menyelipkan lembaran merah di bawah piring makannya. Beranjak berdiri tanpa mau mempedulikan Gama lagi. “Mau ke mana Mbak?” “Pulang.” “Nggak jadi makan?” “Sudah kenyang karena lihat kamu.” Gama masih mengekori Gendis hingga keluar resto. Wanita itu mencoba memesan taksi yang tentu saja sudah mulai jarang beroperasi karena hari pun makin larut. “Mbak naik apa tadi?” Gendis terlonjak kaget. Rupa-rupanya Gama masih mengikutinya. “Taksi,” jawabnya singkat. “Ayo saya antar saja. Ini sudah jam sebelas malam. Bahaya wanita naik kendaraan umum sendirian.” “Kamu nggak perlu repot-repot Gama. Lebih baik kamu pulang juga sana. Nanti dicariin mamamu.” “Ck, saya ini bukan anak mama, Mbak. Sekalipun tidak pulang, nggak akan ada yang mencari Kecuali jika saya pulang dengan membawa calon istri. Barulah mama dan papa ingat jika masih punya anak yang setampan diriku ini.” Ingin muntah rasanya Gendis mendengar ocehan Gama. Lagian kenapa juga dia harus dipertemukan dengan pemuda sableng ini sih. Heran juga. Jika di kantor dan sedang tanpa sengaja dipertemukan dalam kondisi berduaan, Gama juga akan berani jahil juga menggodanya. Namun, jika sedang bersama dengan para rekan kerja yang lainnya, Gama akan bersikap dingin tak tersentuh oleh siapa saja. Sosoknya yang misterius itulah membuat Gama hampir tidak punya teman bicara sebab para rekan kerja jadi sungkan dan takut mengganggu pemuda itu. “Sudah ayo ikut saya. Mbak nggak perlu takut sama saya karena saya janji nggak akan nyulik Mbak sekarang.” “Apa kamu bilang?” Gama tertawa. “Jika suatu saat Mbak saya culik beneran … mau?” “Cih, tawaran macam apa itu. Bisa nggak sih jika kamu tidak bersikap menyebalkan begini? Ah, baru sadar jika lebih baik melihatmu dalam mode diam karena kupingku ini sudah panas mendengar ocehanmu, Gama.” Pemuda itu tertawa sembari meninggalkan Gendis menuju mobilnya. Entahlah melihat wajah Gendis yang kesal seperti itu adalah kebahagiaan tersendiri untuk Gama. Aneh memang karena dia menyukai istri orang. Tapi Gama ada alasan kenapa dia begitu ingin dekat pada sosok Gendis. Tampak luar, Gendis memang terlihat sebagai wanita tangguh yang mandiri. Tapi dibalik itu semua, Gama yakin sekali jika ada hal menyakitkan yang Gendis sembunyikan. Dan Gama ingin sekali menghilangkan apapun yang membuat Gendis merasa sakit. Gama sendiri tak paham sejak kapan ia mulai tertarik pada sosok Gendis, Tapi yang pasti semenjak ia pertama kali masuk di divisi staff keuangan, melihat Gendis yang begitu berbeda dengan teman-temannya membuat hati Gama meleyot seketika. Memang Gendis memiliki usia lebih tua dua tahun darinya. Hal itu tak jadi soalan bagi Gama. Justru kedewasaan Gendis itulah yang membuatnya tertarik. Belum lagi pancaran mata Gendis yang memukaunya membuat Gama tanpa sadar mengakui bahwa ia jatuh cinta dan terpesona pada sosok istri orang bernama Gendis Gayatri. Tin! Gama membunyikan klakson ketika mobilnya berhenti di hadapan Gendis yang masih berdiri di depan café. “Masuk, Mbak! Aku antar Mbak pulang.” “Tidak perlu, Gama. Aku naik taksi saja.” “Tidak ada penolakan. Mbak mau naik dengan sukarela atau mau saya paksa.” Gendis makin melotot dan dna menghentakkan kakinya. Tak ayal perempuan itu pun mendekati mobil Gama karena menolak pun sia sia. Mata Gendis menyipit begitu dia berhasil meraih handel pintu mobil. Ini memang mobil mewah yang tadi sore sempat dia lihat keluar dari kantor. Jadi benar yang tadi adalah Gama dan pemuda itukah pemilik mobil mewah ini? Bagaimana bisa. “Buruan, Mbak! Kenapa sih berdiri di situ!” Gendis masuk dan duduk di samping Gama. Karena penasaran dia pun bertanya. “Gam, ini beneran mobil milik kamu?” “Memangnya kenapa?” Gama baru menyadari bahwa Gendis pasti curiga dengan mobil mewah yang ia abwa ini. Padahal ini adalah mobil termurah yang ada di garasi rumahnya. Gendis menatap penuh curiga pada Gama. “Sebagai staff keuangan aku yakin sekali gajimu masih kalah jauh dari pejabat negara. Tapi kok bisa kamu punya mobil mewah dengan harga milyaran rupiah. Jangan-jangan kamu selama ini suka korupsi uang perusahaan, ya?” Gama membolakan mata dengan mulut menganga. Tak mampu menjawab tuduhan Gendis yang aneh-aneh saja. “Jangan mengada-ada kamu, Mbak.” “Jika bukan karena korupsi terus dari mana coba?” Gama gelagapan tak bisa menjawab. Mana mungkin dia mengakui jika sebenarnya dia adalah anak orang kaya. Bahkan mobil ini pun tidak seberapa nilainya jika dibandingkan dengan kekayaan yang keluarganya miliki. “Tuh kan nggak bisa jawab. Berarti benar. Hati-hati, Gam. Kerja yang bener jangan menuruti ego demi duit. Kamu masih muda. Belum menikah. Lebih baik kerja yang jujur. Nggak papa tidak terlihat kaya asal hidup dicukupkan dan banyak banyaklah bersyukur.” Gama hanya nyengir sembari menggaruk kepalanya mendengar nasihat Gendis padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN