Empat

1153 Kata
*Karena melupakan itu bukan sekadar tentang jarak dan waktu* %%% Nasya mengejapkan matanya. Ia merasa sudah terlalu lama ia memejamkan mata. Dan benar saja, ketika ia bangun, sinar matahari yang masuk melalui jendela sudah sangat terik. Ia melirik ke arah jam dinding yang ada di kamar itu. Dan hampir saja ia terlonjak saking kagetnya. "Jam setengah sepuluh? Kok.. kok aku.. eh, aku ketiduran ya?" bingung Nasya. Nasya berniat turun dari atas tempat tidur. Namun, baru saja ia akan mengangkat kaki kirinya, rasa nyeri itu kembali muncul. Ia hampir saja lupa kalau kakinya sedang tidak baik-baik saja saat ini. "Ibu, Kak Nisa dan Kak Bayu nyariin aku nggak, ya? Bahkan mereka saja kan nggak tahu kalau aku ke Jogja. Bener-bener azab ini," lirih Nasya. Ia menoleh kesana-kemari, mencari keberadaan telepon kabel yang mungkin saja bisa ia gunakan untuk menghubungi keluarganya. Tapi, ia tidak menemukannya di dalam kamar. Itu artinya, ia harus menunggu Bara kembali untuk meminjam handphone pria itu. Mau bagaimana lagi, hanya Bara yang bisa ia mintai tolong saat ini. Nasya baru saja akan merebahkan kembali tubuhnya. Namun, lebih dulu matanya menemukan barang yang ia cari. Handphone. Entah handphone siapa itu. Mungkin saja milik Bara yang tertinggal. "Apa langsung aku pakai aja ya? Apa harus nunggu Bara dulu buat minta izin?" pikir Nasya. "Ah, tapi kelamaan," akhirnya Nasya mengambil handphone itu. "Loh, tidak di password?" kagetnya ketika ia dapat membuka lock screen dengan sangat mudahnya. Tanpa banyak bicara, Nasya mulai mengetikan nomor ibunya, lalu menghubunginya. "Halo," "Kamu sudah bangun?" Nasya menyerit bingung mendengar suara pria yang mengangkat teleponnya. Terlebih, ia merasa familiyar dengan suara itu. Nasya menjauhkan handphonenya dan memastikan apakah ia salah mengetik nomor atau sebagainya. Dan ia sangat terkejut saat melihat nama Bara tertera di sana. 'Bukannya ini handphone Bara?' pikirnya. "Halo, Nasya," "Eh, iya. Maaf aku lancang mengangkat teleponmu," jawab Nasya. "Tidak apa-apa. Aku memang menyiapkannya untukmu. Sementara waktu, pakai dulu saja! Kamu bisa menghubungi keluargamu agar mereka tidak khawatir," ujar Bara dari seberang sana. Nasya tak langsung menjawab. Ia cukup tersentuh dengan kebaikan Bara. 'Tidak! Jangan sampai baper, Nasya!!' batin Nasya berusaha menepis perasaannya. "Em.. okey. Makasih. Kalau gitu-" "Makanan dan obatnya sudah aku siapkan di atas nakas. Makan dan minumlah agar keadaanmu cepat membaik!" potong Bara. Nasya menoleh ke arah nakas. Dan benar saja, di atas nakas sudah tersedia sebuah nampan berisi sepiring nasi goreng, minuman, serta obat miliknya. Ia mengangguk, meski ia tau Bara tidak dapat melihatnya. Dan sekali lagi, Bara berhasil membuatnya tersentuh. Nyatanya terlalu sulit. Hati Nasya bergetar merasakan hangatnya perhatian Bara padanya. "Makasih ya, Bar. Nanti aku ganti kalau Kak Nisa udah kirim uang," kata Nasya. "Sudah dulu, aku masih ada meeting. Kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku!" ujar Bara. "Iya. Sekali lagi terima kasih," jawab Nasya. Tak lama kemudian, Bara memutus panggilannya. Nasya memeluk erat handphone di tangannya. Ia merasa, Bara memperlakukannya dengan sangat spesial. Apakah dia saja yang berlebihan menanggapinya? Pasalnya, sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi diantara mereka. Nasya menggeleng kuat. Apa yang pernah terjadi di masa lalu, tidak seharusnya ia ingat lagi. Semua telah berubah. Dan tak menutup kemungkinan, Bara pun sudah memiliki kekasih yang Baru sekarang. * Nasya baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya. Dan kini, perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tengah menyisir rambutnya di depan cermin. Perutnya bergemuruh minta diisi sejak tadi. Dan ia tidak tahu, apakah di apartemen itu ada makanan atau tidak. Pasalnya, ia belum keluar kamar sejak pagi tadi. Ketika Nasya asyik menyisir rambut, terdengar suara pintu terbuka yang membuat Nasya refleks menoleh. Ia tidak melihat siapa pun. Mungkin orang itu baru saja masuk ke ruang depan. Tak lama kemudian, pintu di belakang Nasya terbuka sempurna. Menampakkan sosok Bara di sana. Pria itu tersenyum tipis lalu menunjukkan sebuah kantung plastik di tangan kanannya. "Mau makan siang bersama?" tawarnya. Tanpa sadar, Nasya tersenyum melihat pantulan bayangan Bara dari cermin. Ia pun mengangguk lalu segera bangkit berdiri dan berjalan perlahan keluar dari kamar. Bara yang melihatnya pun langsung berjalan cepat ke arah Nasya lalu menopang gadis itu. "Eh, aku udah bisa jalan sendiri kok," ujar Nasya disusul oleh ringisan di akhir kalimat. "Kalau masih sakit, jangan terlalu dipaksakan!" saran Bara. Nasya memilih mengangguk patuh mendengarnya. Bara membantu Nasya duduk di salah satu dari tiga kursi yang ada diantara ruang tamu dan mini kitchen apartemennya. Kemudian, laki-laki itu mengambil posisi duduk di sebelah Nasya. Bara mengambil kantung plastik yang sempat ia letakkan, lalu menyodorkan salah satu isinya pada Nasya. "Hhh..." Nasya dapat bernapas lega saat melihat isi box makanan miliknya. Ia mengira, Bara akan membawakannya bubur atau nasi goreng lagi. Tapi untung saja kali ini tidak. "Kamu suka ayam panggang kan?" tanya Bara. Nasya mengangguk dengan penuh semangat. "Sudah minum obat siang? Kalau belum, aku ambilkan ya?" tawar Bara. "Tidak usah. Perutku udah nggak sakit kok," tolak Nasya. Nasya pun segera menyuapkan salah satu makanan kesukaannya itu ke dalam mulut. Tak berselang lama, Bara pun menyusul kegiatan gadis di sampingnya itu. "Soal tasmu, sepertinya memang sudah benar-benar hilang," ujar Bara yang langsung membuat Nasya tersedak. "Uhukk... uhukk..." Bara lekas bangkit dan mengambilkan air putih untuk Nasya. "Yah, terus aku harus bagaimana dong? Aku tidak punya apa-apa lagi. Dan aku belum sempat liburan di Jogja," ringis Nasya. Tanpa ia sadari, matanya mulai memerah. Nasya benar-benar ingin membayar lunas segala waktu yang telah ia curahkan selama ini untuk pekerjaannya dengan liburan di Jogja satu atau dua minggu. Dia sudah menyiapkan semuanya. Dan dia sudah menginginkannya sejak lama. Tapi kini, jangankan untuk liburan. Untuk kembali ke Jakarta saja sepertinya Nasya perlu meminta bantuan pada ibu atau kakaknya. Padahal, ia datang ke Jogja kabur-kaburan. Tanpa restu mereka hanya karena rencana kencan buta yang entah sudah keberapa mereka siapkan untuk Nasya. "Kamu bisa tinggal di sini kalau kamu mau," tawar Bara. Nasya tidak menyangka jika Bara berkeinginan untuk menampungnya untuk beberapa hari ke depan. 'Jangan terlalu baik sama aku, Bar. Dengan kamu menghilang selama delapan tahun saja aku masih sulit melupakanmu, apalagi jika kita kembali dekat seperti ini?' batin Nasya dipenuhi kekhawatiran. "Hmm.. sebaiknya tidak. Aku bisa minta transferan dari Mas Bayu atau Kak Nisa. Kalau boleh, aku boleh pinjam rekening kamu buat nerima uang dari kakakku?" tanya Nasya. Bara tertawa sinis kemudian meneguk sisa air yang ada di gelas Nasya tadi. Nasya mendelik melihatnya. "Kamu kok minum lewat-" '...gelasku,' lanjut Nasya dalam hati. "Kamu mau pulang naik apa? KTP saja tidak punya," potong Bara santai. Tubuh Nasya merosot. Apa yang Bara katakan benar. Ia bukan hanya sekadar tidak punya uang untuk melakukan apapun. Tapi bisa dikatakan, Nasya terlalu tidak punya apa-apa untuk bisa pergi. "Lalu aku harus bagaimana?" bingung Nasya lesu. "Tinggal di sini untuk beberapa waktu, sampai aku bisa mengurus tasmu yang hilang. Aku akan membuatkan surat kehilangan atas data dirimu," ujar Bara. Nasya membulatkan matanya. Bahkan ia berencana pergi dari apartemen Bara hari ini kalau memungkinkan. Dan untuk mengurus barang-barangnya yang hilang, sepertinya tidak akan cukup hanya dengan 2-3 hari. Jadi, apakah Nasya masih memiliki pilihan lain? %%% Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN