Dasar om-om tidak tahu diri! Bagaimana mungkin Aslan langsung to the point mengajak Niken tidur bersama pada pertemuan pertama mereka? Sekalipun mereka sudah berkomunikasi secara intens selama satu bulan terakhir, tetap saja apa yang pria itu lakukan sungguh tidak masuk akal.
Tentu saja Niken langsung menolak mentah-mentah, tak peduli uang yang pria itu tawarkan sangatlah fantastis bagi dirinya yang terbilang hidup pas-pasan. Namun, jika dibandingkan dengan harga dirinya, Niken merasa dua ratus juta itu tidak ada apa-apanya.
“Maaf Pak, sepertinya Anda salah menilaiku. Aku menolak,” tegas Niken. “Aku harap ini kali pertama dan terakhir kita bertemu.”
Niken langsung beranjak dari tempat duduknya dan bergegas meninggalkan Aslan. Ia pun tidak berminat untuk menyentuh makanan lezat yang sudah tersaji di meja. Niken hanya ingin cepat-cepat menjauh dari om-om omes tersebut.
“Niken, tunggu!” Aslan berusaha mengejar Niken, membuat wanita itu merasa malu karena menjadi pusat perhatian para pengunjung restoran.
Daripada semakin menjadi pusat perhatian karena Aslan terus memanggil namanya, Niken terpaksa berhenti. Ia lalu memutar tubuhnya menghadap Aslan.
“Ada apa lagi, Pak?”
“Saya tahu kamu pasti terkejut, tapi saya harap setidaknya kamu mau mempertimbangkan tawaran saya.”
Niken pura-pura tersenyum. “Sekali lagi terima kasih atas tawarannya, tapi aku nggak akan berubah pikiran. Saranku, lebih baik Bapak cari perempuan lain yang bersedia.”
“Saya serius berharap kamu bersedia.”
“Mau kuberi saran?” tanya Niken yang membuat Aslan terdiam. “Jika ingin mencari perempuan untuk diajak ke ranjang, jangan lewat aplikasi kencan. Bukankah ada aplikasi khusus yang umumnya orang-orang gunakan untuk open BO? Aku rasa Bapak tahu karena sudah menjadi rahasia umum. Atau bisa juga datang langsung ke tempat hiburan malam yang menyediakan kupu-kupu malam.”
Aslan masih terdiam karena sepertinya Niken belum selesai bicara.
“Hanya karena memiliki banyak uang, bukan berarti semuanya bisa Bapak beli dengan mudah. Aku bukan perempuan rendahan seperti yang Bapak kira.”
“Maaf dan baiklah, saya nggak akan memaksa,” balas Aslan. “Tapi saya harap kamu menerima ini,” sambungnya seraya menyerahkan sebuah paperbag berukuran kecil yang Niken tak tahu apa isinya.
Niken tidak langsung menerimanya.
“Anggap aja ini kenang-kenangan dari saya,” kata Aslan lagi. “Tolong terima.”
Sampai kemudian paperbag itu sudah berpindah ke tangan Niken.
“Kamu ke sini naik apa?”
“Taksi.”
“Mau saya antar pulang?”
Niken menggeleng. “Terima kasih tapi nggak perlu. Aku bisa pulang sendiri.”
“Baiklah,” balas Aslan. “Sejujurnya saya berharap ini bukan terakhir kalinya kita bertemu, tapi mau bagaimana lagi? Saya nggak bisa memaksamu yang nyatanya nggak tertarik sedikit pun pada saya.”
Niken tidak menjawab.
“Jika ini sungguh terakhir kalinya kita bertemu … saya harap kamu bahagia.” Aslan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
Awalnya Niken ragu, tapi ia lalu membalas uluran tangan pria di hadapannya itu.
“Terima kasih.” Mereka pun melepaskan tangan satu sama lain.
Aslan tersenyum, tapi Niken tidak.
“Aku permisi,” pamit Niken kemudian. Kali ini Aslan tidak mengejarnya lagi.
***
Mimpi apa Niken semalam sampai-sampai harus bertemu dengan pria semacam Aslan? Untung saja wanita itu kini sudah tiba di rumah kontrakan yang beberapa tahun ini ditempatinya bersama Galih, sang kakak karena orangtua mereka sudah tidak ada.
Dengan kondisi mereka saat ini, kesulitan ekonomi bukanlah hal aneh. Namun, sejauh ini Niken bisa bertahan setidaknya untuk menghidupi dirinya sendiri.
Niken yang sudah tiba di beranda rumah tidak langsung masuk lantaran ada notifikasi panggilan masuk diikuti pesan masuk bertubi-tubi. Entah sudah berapa nomor yang diblokirnya dalam seminggu terakhir, yang pasti tidak ada pengecualian apa pun jika nomor terindikasi pinjol, rentenir atau penagih utang, pasti langsung diblokir olehnya.
“Mas Galih sialan. Kenapa dia selalu menggunakan nomorku sebagai penjamin utang?” kesal Niken.
Kakaknya memang tidak tahu diri. Padahal Niken tidak pernah meminta sepeser pun uang dari Galih, tapi kakaknya itu selalu melibatkannya untuk sesuatu yang merepotkan dan menyusahkan. Membuat kesal saja.
Setelah memblokir nomor-nomor yang berusaha menagih utang Galih padanya, Niken lalu meletakkan ponselnya ke tas. Secepatnya ia membuka pintu, tampak Galih sedang berbaring di sofa yang hampir jebol sambil memegangi ponsel yang diposisikan secara horizontal. Sedang apa lagi kalau sedang judi online?
Main game? Galih tidak pernah tertarik untuk bermain game. Satu-satunya hal yang membuat pria itu tertarik adalah judi slot. Tak peduli kalau dirinya sudah miskin jadi tambah miskin.
Berharap Galih sadar adalah sesuatu yang sia-sia. Untuk itu, Niken sebenarnya sudah berencana pergi dari rumah ini dan menjauh dari kakaknya yang sialan tersebut. Namun, ia masih belum memiliki uang yang cukup setidaknya untuk mengontrak di tempat yang layak dan aman.
Bagaimana mungkin uangnya cukup kalau penghasilan Niken yang tak seberapa itu selalu ludes untuk kebutuhan sehari-hari karena semua ia yang tanggung. Bahkan, Galih yang berkali-kali meminta uang pada Niken. Sungguh kakak yang tidak tahu diri, bukan?
“Mas Galih,” panggil Niken.
“Hmm?” jawab Galih tanpa menoleh.
“Apa aku pernah minta uang sama Mas Galih? Enggak pernah, kan? Minta tolong ini dan itu pun hampir nggak pernah, tapi bisakah Mas Galih berhenti menyusahkanku?”
“Apa maksud kamu? Datang-datang malah sewot?” Meskipun menjawab, tapi mata Galih masih fokus ke layar ponsel.
“Harus berapa kali aku bilang supaya Mas berhenti menggunakan nomorku sebagai kontak darurat saat meminjam uang? Aku risi harus mendapatkan teror panggilan dan pesan setiap waktu.”
“Tinggal blokir aja, apa susahnya? Mas nggak nyuruh kamu membayar, kok.”
“Enteng banget ya Mas Galih bilang begitu.”
“Terus Mas harus minta maaf?” Kali ini Galih mendongak menatap adiknya.
Niken mengembuskan napas frustrasi. Berbicara dengan Galih sebenarnya hanya membuang-buang energi, tapi Niken mana mungkin diam saja saat kakaknya semakin keterlaluan?
“Lihatlah penampilanmu, Mas. Sudah seperti zombie.”
Galih tidak menjawab.
“Mas, daripada judi online … bukanlah lebih baik Mas kerja dan mulai menghasilkan uang?”
“Mulai lagi ceramahnya,” gumam Galih.
“Mas udah telanjur banyak utang, bekerja bertahan-tahun pun percuma karena nggak akan bisa lunas walaupun cuma pokok utangnya. Belum lagi bunganya,” kata Galih lagi.
“Itu sebabnya Mas Galih seharusnya berhenti judi online dan mulailah fokus bekerja.”
“Pelan-pelan ya, Mas sedang berusaha sedikit demi sedikit, kok.”
Tentu saja Niken tidak percaya.
“Oh ya Niken, mumpung kita sedang membahasnya … Mas mau bicara sesuatu sama kamu.”
“Bicara apa?”
“Tentang tawaran menarik yang udah lama Mas abaikan, tapi belakangan mulai Mas pertimbangkan,” kata Galih.
“Apa itu? Jangan buat aku penasaran.”
“Jadi begini … sebenarnya kita punya jalan pintas untuk memperbaiki perekonomian keluarga kita.” Galih berbicara serius. Pria itu bahkan sudah meletakkan ponselnya sembarangan di sofa.
“Langsung aja, Mas. Jangan bertele-tele.”
“Tubuhmu … ditawar seratus juta.”
Tunggu, tunggu! Apa?