Ada apa dengan dunia ini? Kenapa tiba-tiba banyak yang menawar tubuh Niken padahal wanita itu tidak ada niatan untuk menjualnya. Jangankan niat, kepikiran saja tidak.
Aslan menawarkan dua ratus juta untuk tidur bersama saja Niken tolak mentah-mentah, apalagi Galih yang hanya setengahnya. Itu jelas tidak masuk akal!
Sungguh, Niken masih waras untuk tidak tergiur oleh uang yang sebetulnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga dirinya yang tinggi.
“Apa-apaan ini, Mas? Kenapa mengatakan sesuatu yang konyol seperti itu?” tanya Niken. “Jika itu lelucon, itu sangat nggak lucu.”
“Mas serius,” tegas Galih. “Pikirkanlah. Utang Mas beserta bunganya kalau ditotal sekitar tujuh puluh jutaan. Kalau kamu setuju dengan saranku … secara otomatis uang yang kita dapatkan nanti bisa untuk melunasi utang. Sisanya? Bisa kita gunakan untuk keperluan sehari-hari,” bujuk Galih.
“Apalagi dengar-dengar, pria yang menginginkanmu itu cukup loyal. Jika beruntung kamu bisa mendapatkan uang tip, barang-barang mewah dan….”
“Kenapa pria itu menginginkanku padahal kami belum pernah ketemu?” Niken sampai tak habis pikir.
“Dia melihat foto-fotomu melalui media sosial.”
“Segitu niatnya Mas Galih untuk menjualku? Sampai-sampai memberi tahu media sosialku,” marah Niken. “Lagian belum ada sepuluh menit Mas Galih bilang nggak akan memintaku membayar utang. Kalau begini caranya, secara nggak langsung Mas ingin aku membayarnya dengan cara se-gila itu.”
“Maaf Niken, Mas kepepet. Bingung harus gimana lagi supaya bisa mendapatkan uang untuk melunasi utang-utang. Mas nggak punya pilihan lain.”
Galih yang seakan gelap mata menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan uang. Utang-utang yang sebenarnya sudah jatuh tempo membuatnya tidak punya pilihan selain mendaftarkan adiknya pada 'makelar' kelas kakap, yang kemudian membuat seorang pria tertarik untuk membeli tubuh Niken dalam artian tidur bersama.
Galih sendiri tidak tahu siapa pria yang rela mengeluarkan uang ratusan juta tersebut karena ia hanya berkomunikasi dengan 'makelar' sebagai perantara.
Namun, meskipun sudah mendaftarkan adiknya sejak bulan lalu, Galih masih antara maju dan mundur tentang bagaimana ke depannya. Ia masih ragu, terlebih tidak tahu cara mengatakannya pada Niken. Sampai akhirnya kini ia memberanikan diri. Ia memang harus memohon agar Niken bersedia.
“Aku masih bingung, kenapa aku yang harus bertanggung jawab atas utang-utang yang sepeser pun nggak aku nikmati uangnya.”
“Mas tahu ini bukan tanggung jawab kamu. Mas juga keterlaluan, tapi ini adalah peluang, Nik. Kapan lagi bisa mendapatkan uang seratus juta dalam sekejap tanpa harus bersusah payah?” jawab Galih. “Kamu itu cantik dan tubuhmu bagus. Itu sebabnya Lalala Store selalu mengandalkanmu menjadi model utama untuk outfit yang menjadi koleksinya. Dan sekarang ada peluang yang terlalu sayang jika dilewatkan. Kamu mengerti maksud Mas, kan?”
“Dasar gila! Bisa-bisanya aku punya kakak seperti ini,” jawab Niken. “Kalau begini caranya … sebaiknya kita nggak perlu saling mengenal.”
“Niken….”
“Sejak lama aku memang ingin pergi dari sini lalu memutus hubungan keluarga denganmu Mas dan sepertinya baru sekarang semua itu bisa terwujud,” potong Niken.
Niken kembali berbicara, “Sial. Bahkan aku yang selama ini membayar uang kontrakan, air dan listrik. Sekarang mandirilah, Mas. Aku akan beres-beres dan pergi sekarang juga.”
“Niken,” panggil Galih lagi yang membuat adiknya terpaksa menoleh.
“Hanya karena Mas terlihat baik-baik aja, kamu pasti berpikir keadaannya juga sama,” kata Galih dengan nada yang lebih serius. “Mas nggak main-main, keadaannya kacau dan jika Mas gagal melunasi utang … nyawa Mas mungkin akan terancam. Nyawa Mas akan menjadi taruhannya.”
“Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Selesaikan masalahmu sendiri, Mas. Tolong jangan libatkan aku lagi.”
“Kamu pikir Mas belum berusaha? Mas sudah melakukan berbagai cara dan tinggal kamu satu-satunya harapan terakhir Mas.”
“Berusaha? Dengan menjual adik sendiri?”
“Mas sangat-sangat-sangat terpaksa karena nggak punya pilihan lain.”
“Apa nggak ada solusi lain selain menjualku?”
Galih menggeleng. Faktanya memang tidak ada solusi. Memangnya siapa yang mau meminjamkan uang sebanyak itu terlebih untuk seseorang yang mustahil bisa melunasinya? Kalaupun ada, bukankah percuma karena itu hanya akan gali lubang dan tutup lubang?
Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Hal yang spontan membuat Niken dan Galih kompak menoleh ke arah pintu yang memang terbuka. Galih langsung menyadari kalau dirinya pasti sudah terlambat jika ingin bersembunyi.
“Selamat siang menjelang sore,” sapa seorang pria berpakaian formal dan rapi tersebut.
“Kenapa kamu masuk tapi nggak menutup lagi pintunya?” bisik Galih.
“Memangnya dia siapa, Mas?” Meskipun Niken menduga kalau pria yang saat ini berdiri di ambang pintu kemungkinan besar merupakan debt collector, tapi ia ingin mendengar jawaban sang kakak untuk memastikannya.
“Dia makelar.”
“Makelar?” Niken mengernyit. Sebetulnya ia butuh penjelasan lebih banyak, tapi suasananya tidak memungkinkan. Terlebih pria yang berdiri di ambang pintu mulai berbicara lagi.
“Wow, pantas saja cuaca hari ini lumayan cerah. Melihat kalian berdua, saya seperti mendapatkan jackpot,” ucap pria yang masih berdiri itu. “Padahal untuk bertemu Galih saja rasanya sulit karena dia terus menghindar dan bersembunyi. Hasil memang tidak mengkhianati usaha. Akhirnya saya bukan hanya bisa menyapa Galih, tetapi adiknya juga.”
“Pria ini bicara apa?” batin Niken.
“Halo, Niken. Ternyata kamu lebih cantik aslinya.”
“Kenapa Anda tahu namaku?” Niken mulai berfirasat buruk.
Apa pria ini sungguh makelar yang akan menjadi perantara jual-beli yang Galih maksud beberapa saat yang lalu? Entah kenapa Niken merasa pria ini ada hubungannya dengan yang sedang dibicarakan oleh Galih.
Melihat raut bingung Niken, pria yang berdiri di ambang pintu itu memberanikan diri untuk masuk mendekati kakak beradik tersebut.
“Apa Galih belum memberitahumu tentang siapa saya?”
“Maaf Pak, saya baru memberi tahu Niken dan dia tampaknya terkejut. Sepertinya saya perlu waktu lebih lama untuk membujuknya,” timpal Galih.
“Kamu baru memberi tahu? Rupanya kamu cukup lama mempertimbangkannya, tapi pada akhirnya kamu yakin kalau ini adalah jalan satu-satunya untuk menyelesaikan masalah. Itu sebabnya kamu memberi tahu Niken, bukan?”
“Memangnya Anda siapa?” Niken berusaha tenang, meskipun ia sudah tahu arah pembicaraan mereka. Ya, ternyata sang kakak tidak main-main. Kakak macam apa yang menjual adik sendiri?
“Perkenalkan, saya Henky. Saya adalah perantara yang akan menghubungkan kalian secara langsung dengan Tuan Aslan.”
Tunggu, dari sekian banyak nama … kenapa makelar ini menyebutkan nama Tuan Aslan?
Apa ini sungguh Aslan yang baru saja ketemuan dengan Niken?
Benarkah dunia memang se-sempit ini?