Dena menjinjing dua buah kotak di tangannya. Tangannya terlihat lebih kuat dibanding perempuan lainnya. Pembuluh darah tampak kontras karena pekerjaan berat yang selalu dilakukannya.
Setiap bertemu orang dia menyapanya dengan senyum, kemudian hatinya kembali sepi seakan-akan senyum itu adalah hal yang dibuat-buat untuk menutupi kesedihannya.
Dena membereskan belanjaan itu. Mengeluarkan satu persatu barang. Menggantungkan barang-barang yang dipajang di atas sebuah kawat panjang. Memasukkan minuman ke dalam lemari pendingin serta yang lainnya.
Begitulah rutinitasnya sepulang sekolah. Kemudian ia membeli makan untuk sekedar mengisi perutnya. Terkadang membeli bakso cuanki tiga ribu rupiah yang nongkrong di depan warung bu Pipit sambil menonton bola kesukaannya.
Kadang juga membeli minuman dingin sachet yang diseduh ditambah gorengan yang masih panas dengan sambal goang favoritnya.
Lingkungan tempatnya bekerja adalah lingkungan yang hangat. Karena ia dari kecil memang tinggal disana. Walaupun kadang, ada juga orang yang memandang negatif padanya.
"Si Dena itu memang bermuka masam". Tak jarang Dena mendengar ucapan itu.
Namun Dena tidak terlalu mengambil pusing terhadap penilaian buruk itu. Mereka hanya mengenal Dena dari luar. Dena percaya masih banyak orang yang mengasihinya apa adanya.
Rumah Dena tidak lagi berada di lingkungan tempatnya bekerja. Lebih tepatnya dulu rumah nenek buyutnya itu telah dijual. Saat itu, setelah masa tenang, anak dan cucu nenek buyutnya datang tengah meminta warisan.
Padahal Dena ingat sekali wasiat nenek buyutnya.
"Jangan pernah menjual rumah ini! Jangan usir Dena dan adiknya!"
Ibu RT sebagai saksinya. Namun jika hanya ucapan saja tentu itu tak cukup kuat di mata hukum, sehingga perebutan warisan itu benar-benar terjadi.
Rumah dua lantai, tempat ia dibesarkan dijual dengan harga begitu murah. Tiga Puluh Delapan Juta Rupiah. Beberapa orang sudah meminta hak nya masing-masing.
Bu RT mencoba menjadi penengah, karena ia benar-benar merasa telah dititipkan sebuah amanah.
"Tolong, buatkan tempat tinggal untuk Haidar dan keluarganya, ini amanat dari nenek Minah," ucap Bu RT.
Akhirnya dengan kesepakatan bersama, anak nenek Minah yang akan membuatkan rumah hunian untuk keluarga Haidar.
Dengan bantuan menantu dari anak nenek Minah, rumah itu dalam seminggu sudah bisa di tempati.
Seseorang yang baik menghibahkan tanahnya untuk dibangun rumah Haidar dan keluarganya, jadi hanya bermodalkan uang sepuluh juta rupiah, bisa dibuatkan rumah dengan dinding bilik bambu.
Bohlam berukuran 5 Watt membuat ruangan berwarna semu kuning, namun ibu Dena sangat mensyukurinya. Ibu Dena sangat baik jika penyakitnya sedang tidak kambuh, membuat Dena sangat menyayangi ibunya.
Anak perempuan tetangga di rumah Dena yang baru ini, memiliki hubungan tidak baik dengan ibu Dena. Saat penyakit ibu Dena kambuh sering terjadi cekcok di antara keduanya.
Ayah dari si anak perempuan tidak terima dan mendatangi ibu Dena sambil menjambak rambut ibu Dena yang tengah duduk di luar rumah.
Dena datang karena mendengar ribut-ribut, tampak ibunya tengah disiksa seperti itu, Dena marah lantas mendorong pria paruh baya itu.
"Jangan sentuh ibuku! Beraninya hanya pada perempuan," Dena marah sedang pria itu hanya melengos pergi.
Dena memeluk ibunya. Ia ingin menjadi pelindung untuknya. Meskipun Dena juga kadang kesal pada penyakit ibunya yang selalu mencari gara-gara, namun tak melebihi rasa sayang pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.
Masa sekolah Dena terbilang penuh derita dan air mata. Karena ia harus berjuang kesana kemari mencari uang untuk membayar ini dan itu.
Pernah pada suatu hari Dena benar-benar sangat membutuhkan uang, lantas ia berdoa pada Yang Kuasa. Ketika ia mandi sabun batang merk negeri Sakura yang tinggal sedikit terasa kasar saat diusapkan pada tubuhnya.
Lantas ia melihatnya, keajaiban datang. Ia mendapatkan sebuah kalung emas putih. Dia menceritakan kebahagiaannya itu pada bibi penjual gorengan yang biasa dibeli Dena. Sehingga tetangga si bibi yang mengetahui Dena mendapatkan kalung itu menawar dengan harga dua ratus lima puluh ribu rupiah.
"Alhamdulillah, aku bisa membayar uang praktek kerja industri sekolah dengan uang ini," Dena bersyukur.
Selain dari itu, Dena selalu mendapat job bersih-bersih di hari Minggu. Seorang perawat di rumah sakit rutin menyuruhnya membereskan rumah serta menyetrika baju seminggu sekali.
Berangkat pagi pulang pada waktu Maghrib. Namun Dena senang karena selain mendapat upah, dia juga selalu dibekali beras dan makanan lainnya. Dena bersyukur banyak orang yang peduli padanya.
Dena menjalani itu semua dengan penuh semangat. Ia berharap suatu saat nanti kehidupannya akan menjadi lebih baik.
Kegiatan Praktek Kerja Industri di sekolahnya mengantarkan Dena pada kepercayaan pemilik sebuah toko komputer. Ia ditawari bekerja kelak di tokonya setelah Dena keluar sekolah kelak.
Tibalah saat itu. Dena sudah lulus dari sekolahnya. Sebenarnya wali kelasnya meminta Dena untuk meneruskan kuliah, namun karena kondisi ekonomi yang tidak mendukungnya Dena merasa pesimis untuk melanjutkan kuliah.
Dena mengucap salam pada sang pemilik toko. Ia datang ke toko komputer dan akan mulai bekerja pada hari itu juga. Suasana toko yang sudah familiar baginya karena tiga bulan dia pernah praktek kerja lapangan disana.
Saat pagi Dena membersihkan lemari hingga laptop pajangan yang berdebu. Melap kaca etalase agar terlihat kinclong. Bahkan hingga membereskan brosur-brosur yang sudah tak terjamah entah sudah berapa tahun.
Dena sangat mencintai pekerjaannya. Bermula dari gaji yang hanya ratusan ribu rupiah, hingga 2 tahun berikutnya gaji itu sudah mencapai dua juta rupiah.
Pekerjaannya tak serta-merta membuatnya adem ayem saja. Kadang ia harus menghadapi komplain pembeli atas kerusakan barang yang di belinya, atau kadang juga ia menghadapi costumer yang merasa kehilangan barang servisnya.
Pernah suatu ketika, Dena merasa bertanggung jawab mengurus barang-barang garansi para costumer toko. Ia bertekad untuk langsung pergi ke service center di kota Banda.
Dena tidak memiliki kendaraan apa-apa, ia nekat pergi menggunakan transportasi umum. Tentunya dengan di dampingi Adrian kekasihnya. Dena senang ia bisa sambil berjalan-jalan bersama Adrian.
Mereka pergi pagi-pagi dengan menenteng kotak notebook. Mereka akan menanyakan seluruh barang garansi yang belum kembali ke toko.
Namun sayang karena saat itu Dena dan Adrian datang pada hari Sabtu sehingga service center hanya buka setengah hari saja.
"Maaf ya kak, sekarang sudah tutup," ucap petugas yang hendak pulang kerja disana.
Dena merasa kecewa, perjuangannya hari ini terasa sia-sia. Dena dan Adrian menyusuri jalan kota Banda. Mereka mengabadikan perjalanan hari ini, dengan berfoto di atas rel kereta api.
Sungguh jika melihat fotonya lagi saat ini, Dena terasa ingin tertawa. Bagaimana mungkin mereka senekat itu. Apakah mereka tidak takut ketika berfoto tiba-tiba kereta api datang di belakangnya?