“Ma-mayat!!”
Langkah Yooshin dan Nara langsung berhenti.
“Apa yang kau bicarakan?”
“Mayat apa maksudmu?”
“Di mana kau menemukannya?”
Satu per satu orang-orang yang ada di sana mulai berkerumun dan melayangkan berbagai pertanyaan.
“A-aku menemukannya di –“
“Apa kau baru saja bilang mayat?” Nara bertanya begitu ia mendekat. Sudah bertahun-tahun lamanya Moa tidak lagi menjatuhkan korban, apakah sekarang ia mulai lagi?
Pria itu baru saja membuka mulut hendak menjawab, namun begitu melihat Nara ia tiba-tiba berlutut di hadapan gadis itu.
“Nona Pendeta, saya mohon!” Pria itu menggenggam tangan Nara kuat. “Jika ini memang ulah Moa, tolong hentikan dia!” pintanya.
Orang-orang lainnya satu per satu ikut berlutut.
“Apa kau yakin ini ulah Moa?” tanya Nara memastikan. Pasalnya Moa sudah melakukan kesepakatan dengannya beberapa tahun lalu, apakah sekarang ia benar-benar melanggar kesepakatan mereka?
“Kita harus memeriksanya,” ujar Yooshin. “Tuan, di mana Anda melihat mayatnya?”
***
Tidak mungkin.
Nara menahan napas sejenak melihat begitu banyaknya mayat yang terkapar di hadapannya. Ia berjongkok, lalu menyentuh darah di salah satu mayat.
“Masih basah. Kurasa, mereka baru saja terbunuh.” Ia menatap nanar ladang canola yang kini dihiasi bercak merah. Terlihat begitu mengerikan, bagaimana bisa ada mahkluk yang tega membunuh manusia tak bersalah dengan cara seperti itu.
“Bawa semua mayatnya dan kuburkan dengan layak. Tolong awasi mereka, pastikan semua mayat dikubur dengan semestinya,” ujar Nara kemudian. Ia membalikkan badannya namun dengan cepat Yooshin menahan tangannya.
“Kau mau pergi ke mana? Bagaimana jika benar-benar Moa yang melakukannya? Ini terlalu berbahaya, Nara.”
Tanpa megucapkan sepatah kata pun, Nara melepaskan tangan Yooshin dan lengannya dan ia pergi dari sana. Rahangnya mengeras, dengan langkah lebar ia pergi menuju suatu tempat.
Berani sekali kau-
“Mencariku?”
Langkah Nara terhenti tepat sebelum ia menginjakkan kakinya di perbatasan hutan. Dengan menggunakan ujung matanya, ia melirik ke samping kanan dan kirinya. Hingga beberapa saat kemudian setangkai canola jatuh tepat di hadapan kakinya.
Kedua tangannya mengepal.
“Jadi benar, kalau kau yang melakukannya?” ujarnya penuh penekanan.
“Kau berusaha menipuku. Kau berbohong!”
“Aku tidak pernah berniat berbohong padamu! Aku memintamu agar menunggu sampai aku sendiri yang akan menyerahkan diri padamu –“
“Kau sama persis seperti ibumu! Kalian sama-sama cerdik –dan juga licik!” Moa berjalan memutari Nara.Ia masih bisa melihat bekas luka yang terdapat di wajah gadis itu, yang tidak lain adalah luka bekas goresan kukunya. Kini gadis itu sudah dewasa. Setelah beberapa tahun ia menunggu, namun Nara tidak kunjung menunjukkan tanda kalau ia akan datang padanya.
“Aku bilang kalau tidak bohong!” teriak Nara.
“Lalu kenapa orang-orang itu selalu berusaha membunuhku?!” balas Moa dengan volume kian meninggi. Jemari tangannya mengeras, seakan bersiap mencengkeram leher Nara jika gadis itu secara tiba-tiba menyerangnya.
“Aku tidak pernah memerintahkan mereka –“
“Kakekmu!” Moa kian murka. “Kakekmu yang memimpin mereka! Dia selalu berusaha melenyapkanku dan apa kau pikir tidak sulit untukku menahan diri agar tidak membunuhnya dan juga orang-orang itu? Berpuluh-puluh purnama aku lewati dengan menghisap sebagian kecil sisi gelap manusia picik seperti kalian. Dan lihat? Semuanya sia-sia!”
Nara meemjamkan kedua matanya rapat saat Moa mengeluarkan pedangnya. Ia dengan cepat menarik tubuh Nara dan langsung meletakkan pedangnya di leher gadis itu.
“Nara!”
“K-Kakek!” Kedua mata Nara membulat. Namun tubuhnya terkunci hingga ia tak bisa bergerak sama sekali.
“Kumohon lepaskan cucuku!” pinta Seungmo.
“Dan kau akan membunuhku?” Moa tersenyum miring. Ia lalu melirik Nara. “Tinggalkan peralatan memanahmu di sini,” ujarnya.
“Tidak, Nara! Jangan lakukan itu!” Seungmo bersiap maju namun semakin menegratkan kunciannya. Permukaan pedangnya hampir saja menggores kulit leher Nara.
“Nara!” Yooshin yang baru saja tiba terkejut melihat Nara yang sudah disandera. Ia sudah menghubuskan pedangnya namun Seungmo dengan cepat menahan pemuda itu.
“Cepat tinggalkan peralatan memanahmu!”
“Nara –“ Yooshin mengerjap. Ia melihat norigae itu masih menggantung di pakaian Nara, lalu bagaimana bisa Moa-
Yooshin menatapnya tidak percaya. “Nara, kau –“ Matanya berkaca-kaca. “Kenapa kau melakukan ini?” Tanpa sadar ia menjatuhkan pedangnya.
Seungmo menatap Yooshin, berusaha mencerna kalimat lelaki itu. “A-apa maksudmu?”
“Nara … “ Yooshin menatap Nara di depan sana. Gadis itu bahkan tidak memberontak sama sekali. “Norigae yang dia pakai, bukan norigae milik ibunya,” ujarnya terus terang, membuat air mata Nara luruh di detik itu juga.
Moa tersenyum miring. “Oh, bahkan orang-orang yang selalu kau banggakan itu tidak menyadarinya sama sekali. Dan apa kau juga tidak tahu? Bahwasanya para penduduk itu hampir setiap hari membicarakanmu, mereka bahkan berpikir untuk mengorbankanmu –“ Moa menggantungkan kalimatnya. Ia menatap Yooshin dan Seungmo bergantian. “ –padaku.”
“A-apa?”
“Apa yang kau bicarakan?!” Yooshin kembali maju, namun pergerakan tangan Moa di leher Nara membuat pemuda itu kembali berhenti.
Perlahan Moa semakin menarik Nara ke belakang. Ia tersenyum begitu Nara benar-benar menjatuhkan peralatan memanahnya.
“Kau berusaha membohongiku sekarang. Maka bunuh saja aku! Jika kau hanya menginginkan kematianku, maka bunuh aku sekarang juga!!” Nara dengan cepat menggenggam pedang milik Moa, membuat Moa terkejut dengan tindakan nekatnya.
“Nara, tidak!” Yooshin dengan cepat meraih pedangnya dan melemparnya pada Moa hingga mahkluk itu dengan refleks melepaskan Nara hingga tubuh gadis itu terjatuh ke tanah dengan luka di telapak tangan. Ia meraung saat lukanya terasa panas, seakan membakar hingga ke seluruh tubuhnya.
“Yoo –Shin!”
Seungmo langsung berlari menuju cucunya dengan panik. “Bawa Nara kembali!” titahnya pada beberapa pengikutnya. Sementara itu Yooshin yang hendak mengejarnya berbalik saat mendengar jeritan Nara.
***
Semua pelayan yang berada di luar menatap pintu ruangan yang tertutup itu dengan cemas. Sudah lewat dari satu jam sang pendeta terus-menerus berteriak kesakitan di dalam sana. Sebelumnya, luka bekas kuku Nara masih membekas hingga saat ini, dan kini tangannya terkena pedang milik Moa yang bahkan belum ada yang mampu menemukan obatnya.
“Tenanglah, Nara. Kau akan baik-baik saja!” Seungmo menatap cucunya begitu cemas. Nara tidak henti-hentinya berteriak dan luka di tangannya terus menerus mengeluarkan darah. Beberapa tabib di sana kewalahan karena mereka tidak bisa membuat pendarahan itu berhenti, dan bahkan tak bisa membuat Nara tenang.
Sakit sekali!
Wajah Nara kian memucat dengan jumlah keringat yang kian meningkat di dahinya. Ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya, ia seperti kehilangan akal sehat akibat rasa sakit yang luar biasa.
“Tolong lakukan sesuatu!” Seungmo tak bisa lagi menahan air matanya.
“Kami kehabisan obat, Tuan. Stok darah sudah digunakan tapi tidak ada gunanya karena pendarahan sama sekali tak bisa dihentikan.” Salah satu tabib berujar.
“Lalu kenapa kalian hanya diam?! Kenapa kalian tidak mencarinya lagi?!” Yooshin menarik kerah pakaian tabib itu dengan tatapan nyalang.
“Ma-maafkan kami! Kami benar-benar sudah menggunakan semua jenis obat yang ada namun tidak ada satu pun yang berhasil.”
Yooshin menghempaskan tangannya dan terduduk. Dia menatap Nara frustrasi. Dia seakan sudah gagal untuk melindungi Nara dan jusru sebaliknya, Nara yang melindunginya. Gadis itu bahkan sampai membuang norigae peninggalan ibunya.
“Aaaargghh!!!” Nara meremas selimut dengan kuat, sebelum pandangannya menjadi gelap.
“Nara!!”
***
Yooshin berjalan keluar dari kediamannya dan melihat beberapa orang berkumpul. Mereka langsung membubarkan diri begitu menyadari kehadirannya di sana, membuat lelaki itu nerasakan ada yang aneh.
“Kudengar Nona pendeta itu sudah tidak sadarkan diri hampir tiga hari. Dia terluka karena Moa, dan lukanya terus mengeluarkan darah. Aku melihat beberapa tabib terkenal datang ke rumahnya kemarin namun aku belum mendengar kalau cucunya itu sudah membaik.”
Langkah Yooshin berhenti di sekat salah satu kerumunan.
“Benarkah? Apa dia akan mati? Lalu bagaimana dengan penduduk di sini? Apa Moa akan membunuh kita semua?” Seorang wanita berujar dengan begitu cemas.
Yooshin kembali melangkah. Kondisi Nara kian memburuk seiring berjalannya waktu. Gadis itu semakin pucat dengan suhu tubuh yang kian menurun. Ia sudah tidak mau mendengar pembicaraan orang-orang itu dan memilih pergi. Ayahnya sudah lebih dulu pergi ke kediaman Seungmo dan ia harus bergegas ke sana. Namun setibanya di sana, ia terkejut saat mendapati kamar Nara dalam keadaan kosong. Seungmo dan ayahnya pun tidak terlihat di sana.
Merasa ada yang tidak beres, ia segera mengecek seisi rumah dan menemukan beberapa pelayan berkumpul dengan tangisan yang pecah.
“Apa yang terjadi?” tanya Yooshin pada mereka.
“Tuan!” Salah satu dari pelayan itu menatap penuh harap padanya. “Tolong selamatkan Nona! Orang-orang itu berencana mengorbankan Nona! Moa semakin murka dan membunuh penduduk desa, membuat orang-orang berpikir kalau Nona menjadi pembawa malapetaka. Saya mohon.” Pelayan itu berlutut dengan tangan yang menggenggam lengan baju Yooshin erat.
“Lalu bagaimana dengan Kakek Seungmo dan juga ayahku? Apa yang terjadi dengan mereka?”
Perbatasan hutan dibakar habis oleh penduduk. Semua pohon ek tak ada yang tersisa satu pun, dan saat Tuan Kim dan Tuan Hwang pergi ke sana, beberapa orang datang lalu membawa paksa Nona! Saya mohon, Tuan! Atau sesuatu yang buruk akan terjadi pada Nona!”
Yooshin mengepalkan tangannya dan segera berlari mencari keberadaan orang-orang itu.