“Sampai kapan pun aku tidak akan menyerahkan putriku pada Moa!!” Seungmo memberontak namun tubuhnya terkunci.
“Kami tidak berniat memberikan Nona Pendeta kepada Moa. Tapi kami, hanya berusaha menyingkirkan segala nasib sial. Semula kami berpikir kalau Moa sudah berhenti, namun begitu mendengar kalau Nona Pendeta berusaha berkhianat, kami sadar kalau kami harus menyingkirkannya.” Seorang pria paruh baya berkata dengan pandanganyang sudah mengabur. Ia menatap tubuh Nara yang berada di dalam peti.
“Kami bahkan sekarang kehilangan harapan kalau Nona pendeta akan bangun kembali,” sambung yang lain. “Beliau selama ini sudah bersikap baik, namun jika sudah seperti ini, biarkan kami sendiri yang bertindak.”
Seungmo menatap nanar peti berisi tubuh cucunya. Ia tidak sanggup jika benar-benar harus melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana orang-orang melempar peti itu ke lautan.
“Nara … “ Suaranya terdengar hampir habis. Tubuhnya ambruk begitu orang-orang tadi benar-benar melemparkan peti itu.
“Naraaa!!!” Yooshin menatap bagaimana peti itu dijatuhkan ke bawah sana. “Naraaaa!!!”
Orang-orang di sana langsung bergerak menghadangnya begitu lelaki itu hendak ikut loncat.
“Naraaaaa!!!” Semakin ia berteriak, semakin besar angin yang berhembus di sana. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan bagaimana peti itu perlahan tenggelam ke dasar, lalu tidak lama setelahnya beberapa potongan kayu mengapung di atas permukaan air, terombang-ambing mengikuti deburan ombak yang ganas.
Tubuh Yooshin kehilangan tenaganya, membuat kedua lututnya menyentuh permukaan tanah.
“Aaaarrgghh!!!”
Tuan Hwang yang tak bisa melakukan apa-apa hanya bisa menatap pilu melihat putranya.
Untuk kedua kalinya, putranya merasakan kehilangan yang teramat dalam.
Maafkan Ayah, Yooshin.
***
Tuan Hwang berdiri menatap Yooshin yang tak berhenti menembakkan panah sejak tadi sore. Pemuda itu tampak begitu lelah, kehilangan banyak air mata dan juga tenaga –dan juga seseorang yang berharga.
“Kenapa Ayah tidak melakukan apa-apa?” tanya Yooshin dengan kedua mata yang kembali memanas. Ia kembali menembakkan anak panah yang entah ke berapa ke pohon di depannya.
“Maafkan Ayah.”
“Ayah tahu, berapa kali pun Ayah meminta maaf, ratusan kali atau bahkan ribuan, itu tidak akan mengembalikkan semuanya.” Yooshin mengambil kembali sebuah anak panah namun tangannya dicekal.
“Nara masih hidup, dan Ayah hanya berdiam diri menyaksikannya dibunuh dengan cara seperti itu oleh orang-orang yang selama ini dia lindungi. Nara selalu berkorban bahkan sejak ia masih anak-anak! Dia iri pada anak-anak lain yang bisa bermain. Apa Ayah tidak tahu? Dia hanya memilikiku. Dia –“ Yooshin mengusap salah satu pipinya dengan punggung tangan. “Dia selama ini tidak memiliki teman.”
“Yooshin … “
“Setelah semua yang dia lakukan, bahkan sampai rela mempertaruhkan nyawanya, itukah balasan yang dia dapatkan?” Yooshin melepas tangan sang ayah dan menatap pria itu kecewa. "Setelah mengorbankan ibu, kini Ayah mengorbankan Nara.” Yooshin membuang pandangannya. Ia menarik kuat tali busur dan melepaskan sang anak panah hingga membelah salah satu anak panah lain.
“Hanya karena dia bukan wanita yang Ayah cintai, apakah ibu pantas diperlakukan seperti itu?”
Tuan Hwang terdiam.
“Tidak heran jika Ayah hanya diam melihat Nara. Karena bahkan di saat ibu dibunuh Moa di depan mata pun, Ayah hanya diam layaknya batu tak bernyawa.”
Yooshin membawa kedua kakinya melangkah pergi. Kini, satu-satunya tempat ia berbagi ikut pergi. Lelaki itu membawa serta pedangnya dan melangkah lebar meninggalkan rumah.
Langkahnya berhenti tepat begitu sampai di rumah Nara. Dapat ia dengar dengan jelas tangisan memilukan para pelayan yang ada di sana. Yooshin menahan napas, lalu menengadahkan kepalanya dan menatap bunga-bunga maehwa yang tengah bermekaran.
“Bunga maehwa bahkan masih bisa mekar saat musim dingin datang. Dia, bunga yang kuat.”
“Aku yakin kau bisa bertahan, Nara. Kau, wanita yang kuat, melebihi maehwa dan canola.” Yooshin kembali melanjutkan langkahnya.
***
Ibu, apa aku akan mati sekarang?
Apa aku bisa bertemu dengan kalian?
Ayah, di sini dingin.
Kenapa aku ditinggalkan sendiri di sini?
Aku takut.
Tidak adakah yang ingin menolongku?
Ini … terlalu dingin, Ayah, Ibu.
Ah, aku melihat sosok malaikat datang.
Yooshin? Apa kau akan datang menolongku?
Atau kau ingin melihatku untuk terakhir kali?
Mari berpisah dengan cara baik-baik. Aku … merasa beruntung bisa mengenalmu.
Yooshin?
***
Perlahan ujung-ujung jemari itu bergerak. Sepasang mata yang selama beberapa waktu tertutup itu pun kini terbuka. Kepalanya terasa nyeri, berikut anggota badannya yang lain. Entah di mana dia saat ini. Entah itu akhirat, atau hanya mimpi yang lewat.
“Sudah sadar?” Suara seseorang menyapa telinganya.
“Aku melihatmu dibuang oleh orang-orang itu. Kau tenggelam dan terombang-ambing di dalam air. Kasihan sekali, padahal selama ini kau yang menolong mereka tapi kau dibuang hanya karena kau berubah menjadi tidak berguna.” Terdengar nada cibiran di kalimatnya.
Nara terbatuk. Ia terkejut melihat kondisi telapak tangannya yang kembali seperti semula, padahal jelas-jelas ia memiliki luka parah di sana hingga pendarahannya tak kunjung berhenti. Ia lalu menatap seseorang yang berada tidak jauh dari posisinya.
“Kenapa? Kecewa karena aku yang menolongmu?”
“Kenapa –argh!” Nara meremas salah satu bahunya yang berdenyut hebat.
“Terjadi sesuatu dengan bahumu, jadi diamlah untuk sementara. Kau ingin bertanya kenapa aku menolongmu?” Kedua mata itu menatap Nara. “Rasanya tidak asyik jika kau buru-buru mati. Waktuku akan terbuang dengan percuma karena kau, hanya boleh mati di tanganku.”
Moa berjalan ke arah Nara dengan sebuah kantung di tangannya.
“Diamlah, lukamu akan sembuh dengan ini,” ujarnya.
“A-apa –aaarrghhh!!” Nara meremas kuat lengan Moa begitu merasakan nyeri yang teramat hebat di kakinya.
Moa menatap wajah Nara yang menahan sakit. “Kau beruntung karena orang-orang itu tidak benar-benar membunuhmu dulu sebelum kau dibuang.” Ia lalu kembali beranjak namun Nara menahan tangannya.
“Kenapa kau sampai melakukan ini?”
“Sudah kubilang kalau kau hanya boleh mati di tanganku. Hanya aku yang boleh membunuhmu. Dan satu lagi, kau itu belum mati. Jadi jangan berpikiran kalau aku menghidupkanmu lagi. Kau hanya kehabisan darah.” Moa melepaskan tangan Nara dan pergi.
Jadi yang tadi itu bukanlah mimpi?
Jadi yang aku lihat bukanlah malaikat atau pun Yooshin, melainkan Moa?
Bagaimana bisa dia yang seperti malaikat pencabut nyawa itu justru menyelamatkanku?
Nara mencoba mendudukkan tubuhnya. Ia menatap ke sekelilingnya. Apa dia dibawa ke tempat tinggal Moa? Apa dia sekarang berada di dalam Hutan Moa?
“Arghh!!”
Lagi-lagi bahunya terasa nyeri. Apa mungkin bahunya patah?
Nara tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya dilemparkan ke dalam lautan dengan cara yang begitu keji, bahkan saat orang-orang tahu kalau dirinya masih dalam keadaan bernyawa. Dengan susah payah Nara bangkit dari posisinya dan berjalan keluar.
Entah hari masih siang atau malam. Hari apa kini, jam berapa, Nara tidak tahu.
“Kau memang keras kepala seperti biasanya.”
Nara menolehkan kepalanya pada Moa yang tengah duduk tidak jauh dari posisinya. Di sekitarnya banyak terdapat akar pohon, membuatnya menebak-nebak kalau tempat persembunyian Moa ada di bawah tanah.
“Bajumu robek, jadi aku membuangnya.”
Nara terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya ia menatap penampilan dirinya dengan pakaian yang berbeda. Ah, tidak, dia sendiri bahkan tidak ingat sebelumnya memakai pakaian warna apa. Yang jelas hanbok yang ia kenakan sekarang bukanlah miliknya.
Tapi tunggu!
“Hanya ada aku di sini, jadi aku yang mengganti pakaianmu.”
Nara berkedip dua kali. Tangannya perlahan menutupi dadanya.
Memalukan.
Moa menatapnya lalu tersenyum miring. “Yang jelas aku tidak melakukan apapun padamu.”
Nara menatap luka di telapak tangannya yang telah menghilang, berikut rasa sakitnya.
“Perbatasan hutan telah habis dibakar oleh penduduk,” ujar Moa.
Kedua mata Nara membulat. “A-apa?”
“Mereka sengaja membakar perbatasan dan tidak menyisakan satu pun pohon ek. Jadi jangan salahkan aku jika aku bisa bebas memakan mereka yang ada di luar sana.”
Mustahil. Kenapa mereka melakukan itu? Bahkan jika dengan ritual malam purnama pun, pohon ek harus tetap ditanam. Dan kini semuanya harus kembali ditanam ulang.
“Mereka menginginkan kematianmu. Tapi mereka juga menyerahkan seluruh hidupnya padaku di saat yang bersamaan. Menarik sekali.”