"Kau masih marah?" Nara menatap wajah Moa dari samping. Mereka keluar dari desa dan kini dalam perjalanan kembali.
Moa tak menjawab. Ia tak lagi berlari, hanya berjalan menyusuri hutan.
"Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri," ujar Nara.
"Diamlah, dan jangan bergerak."
Kedua pipi Nara menggembung. Ia lalu mengeratkan kedua tangannya yang berada di leher Moa.
"Kau tidak terluka? Kurasa di pakaianmu ada noda darah," ujar gadis itu.
"Aku tak apa."
"Kenapa kau memberi uang pada pria itu? Kau juga menurut saat aku menyuruhmu untuk membebaskannya." Nara kembali bersuara.
"Pria itu lebih membutuhkan uang ketimbang aku."
Mendengar itu, kedua sudut bibir Nara naik dan membentuk seulas senyuman tipis. "Aku yakin, sekejam apapun seseorang, ia pasti memiliki sisi lain yang baik."
Moa terdiam selama beberapa saat. Ia menikmati angin sore yang menyambutnya begitu sampai di Hutan Moa.
"Dan sebaik apapun manusia, mereka pasti sedikitnya memiliki sisi lain yang kejam," lirih Moa. Tidak lama kemudian ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang saat mendengar suara dengkuran halus. Ia tersenyum tipis saat mengetahui Nara yang tertidur dalam gendongannya.
Moa kembali melanjutkan langkahnya, lalu menatap langit sore yang dihiasi warna jingga kemerahan.
"Aku tidak pernah terpikir akan mempertahankanmu seperti ini," lirih Moa. "Semakin hari, gadis ini semakin mirip sepertimu, Kiara. Kau merawatnya dengan begitu baik. Aku tidak tahu apakah aku bisa membiarkannya hidup dan membebaskannya atau sebaliknya, aku akan membunuhnya dan membuatnya bernasib sama sepertimu."
"Aku ... benar-benar minta maaf." Suara Moa terdengar memelan.
***
Tuan Hwang dan Seungmo menatap seseorang yang berlutut di depan mereka. Mereka berdua lalu bertukar pandang satu sama lain.
"Kau ... melihat cucuku di sana?" tanya Seungmo.
Pria itu memganggukkan kepalanya pelan. "Iya, Tuan. Saya tidak sengaja melihat Nona Nara di sana. beliau bersama dengan Moa. Saya melihatnya berada di sebuah pasar dan membeli sebuah aksesoris rambut."
"Lalu apa yang terjadi?" Apa kau mengikutinya?" Yooshin yang juga berada di sana lalu bersuara saat pria yang ada di depannya itu menyebut soal Nara.
"Iya. Saya mengikuti mereka berdua secara diam-diam, karena saya terlalu takut dengan kepekaan Moa yang sangat luar biasa. Keduanya lalu makan di salah satu kedai dan terlihat akrab dengan membicarakan banyak hal, namun saya tidak bisa mengetahui apa saja yang mereka bicarakan."
Yooshin seketika terdiam begitu mendengar hal itu. "Mereka makan bersama dan membicarakan berbagai hal? Be-benarkah?" Pia itu setengah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Ba-bagaimana bisa?" Kedua mata Seungmo membulat. "Ya Tuhan ... cucuku." Ia menjatuhkan tubuhnya ke atas permukaan tanah.
"Kau yakin itu mereka berdua? Kau tidak salah orang?" Tuan Hwang mencoba memastikan.
"Saya benar-benar yakin, Tuan. Setelah mereka selesai makan, seseorang mencoba menembakkan anak panah ke arah Nona Nara namun segera digagalkan oleh Moa. Para preman itu lalu dikejar oleh Moa dan Nona Nara mengejarnya. Setelah itu saya tidak bisa lagi mengikuti mereka, hanya itu yang bisa saya sampailkan kepada kalian," ujar pria itu lagi. "Setelah kejadian itu saya tidak melihat mereka lagi, sepertinya mereka pergi dari desa secara diam-diam lewat jalan lain."
"Nara... " Yooshin kehilangan fokusnya. "Kenapa dia melakukannya sampai sejauh ini?" lirihnya. "Tidakkah dia berpikir ingin kembali ke sini, ke tempat seharusnya dia berada?
"Tuan ... bukankah kita sebaiknya segera membawa Nona Nara kembali ke sini? Terlalu berbahaya di luar sana," ujar Tuan Hwang.
"Sebentar lagi. Kita akan menunggu sampai musim dingin tiba, dan kita bisa menyelinap masuk ke dalam hutan.
"Lalu bagaimana jika aku saja yang pergi? Kumohon, Ayah, Kakek. Izinkan aku pergi ke dalam hutan dan membawa Nara kembali," pinta Yooshin.
"Jangan gegabah, Yooshin. Ingatlah, seberapa keras kau berlatih, Moa tetaplah Moa. Dia akan tetap jauh lebih kuat darimu dan kau akan dengan muda dikalahkan lagi. Dan juga kau tidak mengenal Nara yang sekarang. Entah gadis itu sekarang tetap Nara yang dulu kau kenal, atau sudah berubah menjadi sosok lain yang sewaktu-waktu bisa mengincar nyawamu. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi, jadi jangan gegabah dan menurutlah." Tuan Hwang berujar. "Jadi, kau masih harus berhati-hati, bukan hanya demi keselematanmu, tapi Nara juga."
Yooshin mengusap wajahnya kasar. Ia tidak bisa membiarkan Nara terjebak dengan makhluk keji seperti Moa. Yooshin ingin segera membawa Nara pulang ke desa, pulang ke rumah, dan kembali padanya.
***
Moa menidurkan Nara di atas ranjang dan menatap wajah tenang gadis itu. Perlahan, tangannya terangkat dan bergerak mengusap puncak kepala Nara dengan gerakan lembut, seolah tak ingin membangunkannya.
"Aku tahu kau sebenarnya ingin kembali ke tempat tinggalmu. Aku benar-benar minta maaf, tapi aku tak bisa membiarkan hal iu terjadi. Aku tidak mau kau kembali menemui kakekmu yang picik itu. Kau akan semakin berada di dalam bahaya dan tak akan aman."
Moa berjalan keluar dari istananya dan duduk di bawah pohon, di tempat yang biasa ia tempati.
"Jika seandainya Kiara masih hidup, apakah aku akan bisa bersama dengannya?" gumam Moa. Ia menengadahkan kepala dan menatap langit yang mulai gelap, hingga bintang-bintang yang berada di atas sana semakin terlihat dengan jelas, membuat langit terlihat mempesona.
"Hari ini aku pergi ke tempat itu, Kiara. Aku pergi ke tempat kita pertama kali bertemu. Sikap tulusmu masih bisa aku rasakan hingga detik ini, walaupun kejadian itu sudah puluhan tahun lamanya." Moa tersenyum kecut. "Awalnya aku berpikir kalau kita akan bersama, tapi rupanya aku salah. Kita memang berbeda, dan tidak seharusnya bersama. Tapi aku sangat berterimakasih padamu karena hanya kaulah yang memperlakukanku dengan begitu baik."
"Apakah yang aku lakukan sekarang ini salah?" Moa membuang napas pelan dan menyandarkan punggungnya di pohon yang ada di belakangnya. "Aku berharap kau memaafkanku dan bahagia di atas sana. Aku harap kau tenang, walau belum sepenuhnya."
Moa menatap sarung pedangnya yang berwarna biru safir. Ia benar-benar tak menyangka kalau Kiara juga memiliki sisi gelap dalam dirinya sehingga wanita itu ikut terhisap oleh pedang miliknya. Moa berpikir kalau pendeta seperti Kiara akan memiliki hati yang bersih namun dugaannya keliru.
Mungkin pada awalnya Kiara masih memiliki hati yang bersih, namun setelah ayahnya yang tidak lain adalah Seungmo itu mengadu dombanya ia menjadi berubah hingga membantai dan membunuh bangsa Moa satu per satu.
"Aku benar-benar membenci si Tua Bangka itu hingga detik ini." Moa mengepalkan kedua tangannya kuat. "Akan aku pastikan dia akaj menjadi salah satu manusia yang terhisap oleh pedangku. Aku akan menghabisinya dengan kedua tanganku sendiri," ujarnya.