Chapter 29

1131 Kata
Suasana tampak tenang saat Yooshin berjalan melihat-lihat desa. Ini sudah bulan kedua semenjak ia ke hutan terakhir kali untuk membawa Nara kembali. Tak ada kabar lagi setelah itu, yang ia dapatkan hanyalah kabar mengenai Nara yang pergi bersama Moa ke suatu tempat. "Aku tidak percaya kalau mereka akan pergi bersama seperti itu, bahkan mereka makan bersama," lirih Yooshin. "Nara, apa yang kau lakukan sekarang? Ini tidak seperti apa yang pernah kau katakan. Kau bahkan tidak kembali hanya meskipun hanya untuk mengambil panahmu." Ia mendudukkan dirinya di bawah salah satu pohon seraya menatap anak-anak yang tengah belajar memanah. Yooshin tersenyum saat melihat seorang anak perempuan menangis karena bidikan panahnya meleset dari sasaran selama beberapa kali. Gadis kecil itu mengingatkannya pada Nara dulu. Nara menangis saat belajar panah bersama sang ayah. Ia tidak henti-hentinya menangis karena sasarannya meleset. "Kakak!" Seseorang berteriak hingga Yooshin menoleh ke sumber suara. Yooshin tersenyum dan membiarkan gadis kecil itu duduk di sebelahnya. "Apa yang kau lakukan di sini, hm?" tanya Yooshin. "Aku sedang berjalan di sekitar sini dan memetik beberapa bunga." Gadis kecil itu menunjukkan bunga-bunga yang dipegangnya. "Tadinya aku ingin memberikan ini pada Nona Pendeta, tapi kurasa dia belum juga kembali. Apa dia benar-benar tak apa? Aku takut sekali jika dia tak bisa kembali." Yooshin mengusap puncak kepala anak itu dengan lembut. "Dia pasti segera kembali. Kau benar-benar mengkhawatirkannya, ya?" "Hm. Aku ingin belajar memanah dengan Nona Pendeta dan menjadi pemanah yang hebat. Bukankah Nona Pendeta juga bisa menggunakan pedang dengan baik? Tuan Daehyun adalah ahli pedang yang hebat, pasti Nona Pendeta juga tak kalah hebat." Yooshin tersenyum. "Dia adalah wanita yang hebat." "Aku harap dia cepat kembali dan menikah dengan Kakak." Hening selama beberapa saat, Yooshin tampak sibuk mencerna kalimat anak yang duduk di sebelahnya. "Bukankah suatu saat nanti kalian berdua akan menikah?" Anak itu berkedip polos, menatap Yooshin seolah meminta penjelasan. "Kalian berdua tampak serasi, dan aku yakin semua orang di desa ini akan sangat mendukung kalian." Mendengar itu, Yooshin tertawa. Ia kembali mengusap puncak kepala anak itu. *** Nara menatap pantulan wajahnya di permukaan air. Gadis itu lalu beranjak dari tempatnya dan berjalan menyusuri hutan. Hanya terdengar suara burung di sana, membuat Nara sesekali menolehkan kepalanya ke belakang dan juga ke sekitarnya. Gadis itu pergi semakin jauh, bersamaan dengan waktu yang kian berlalu sampai akhirnya ia tiba di suatu tempat, ketika matahari sudah berada tepat di atas kepalanya. Gadis itu berdiri di belakang salah satu pohon besar dan menatap lurus ke depan sana. Benih-benih pohon baru di perbatasan tampak sudah terlihat dan tumbuh dengan baik. Nara menahan napas, mencoba agar air matanya tidak lolos dari kedua matanya. Haruskah ia kembali dan mengambil panahnya? Mengambil norigae miliknya? Atau mengambil pedang milik ayahnya? Kedua tangannya meremas pinggiran pakaian yang ia kenakan. Saat ia hendak melangkah, ia kembali menyembunyikan tubuhnya di balik pohon begitu melihat ada yang datang. Nara mengintip dan melihat Yooshin yang datang bersama dengan seorang gadis kecil. "Apa aku boleh menyimpannya di sini?" Gadis kecil itu berlari kecil menuju salah satu pohon dan meletakkan sebuket kecil bunga di sana. Yooshin tersenyum dan berjalan mendekatinya. Lelaki itu berjongkok untuk menyamai tinggi badan gadis itu dan mengusap puncak kepalanya dengan lembut. "Aku berharap semoga Nona Pendeta akan segera kembali, dan dia baik-baik saja." Nara tentu ingat dengan gadis yang bersama dengan Yooshin itu. Ia tidak menyangka kalau anak itu ternyata masih mengingatnya hingga hari ini. Bahkan norigae yang pernah dibelikannya itu terlihat masih dikenakan di bajunya hingga saat ini. Air mata Nara hampir lolos dan ia menahan diri agar isakannya tidak keluar di saat itu juga. Ia juga menahan mati-matian agar tidak berlari ke arah mereka berdua dan memeluknya dengan erat dengan tangis yang pecah. "Maafkan aku," lirih Nara dengan nada bergetar dan nyaris tak terdengar. "Rasanya aku ingin bertemu dengan Nona Pendeta walau sehari saja." Yooshin segera memeluk gadis itu saat kedua matanya berkaca-kaca. *** Moa berlari menyusuri hutan saat tak menemukan Nara begitu ia kembali. Hujan sudah turun sejak tadi namun ia tak kunjung menemukan keberadaan gadis itu di setiap sudut hutan. "Nara!" Ia memanggilnya beberapa kali namun tak mendapat jawaban. Apakah gadis itu lari selama dia pergi? Apakah dia kembali ke desa? Kedua mata Moa mengkilap menjadi biru safir. Ia kian bergerak cepat dan terus berusaha menemukan Nara. Bau gadis itu tersamarkan oleh air hujan, membuatnya sedikit kesulitan dalam melakukan pencarian. Napasnya sudah memburu dengan salah satu tangan yang sudah menyeret pedang miliknya. Ia berjalan menuju perbatasan hutan dan siap mengobrak-abrik seisi desa di tengah derasnya hujan dan membuat orang-orang di sana berhamburan berlari keluar dari tempat persembunyian mereka. Namun ketika dia hampir mencapai batas, langkahnya terhenti dan ia menoleh ke salah satu pohon yang berada tidak jauh di posisinya. Seseorang tampak duduk di sana seraya memeluk kedua lututnya dengan pakaian yang sudah basah kuyup. Moa terdiam selama beberapa saat melihat Nara yang menangis di sana. Gadis itu terlihat memegang buket bunga di tangannya. Nara mendongakkan kepalanya saat melihat sepasang kaki yang berada tepat di hadapannya, bersama dengan sebuah pedang berwarna biru safir yang menyala saat berdekatan dengannya. Moa menyarungkan kembali pedangnya lalu ia berjongkok di hadapan Nara, menyamai tinggi gadis itu. Perlahan Moa mengangkat tubuh Nara dan mengendongnya, lalu membawanya pergi dari sana. Nara menatap wajah Moa. Pria itu tak mengeluarkan sepatah kata pun sejak tadi. Ia biasanya akan marah besar saat tahu kalau dirinya pergi tanpa sepengetahuannya atau sudah mengacungkan ujung pedangnya ke permukaan leher Nara namun kali ini terasa berbeda. Hingga mereka tiba, Moa masih tak mengatakan apa-apa pada Nara. Akar-akar bergerak perlahan hingga menutupi akses pintu masuk. Dari luar, tak akan ada yang mengira kalau di sana terdapat sebuah pintu. "A-aku minta maaf." Nara berujar lirih. Ia menatap Moa yang sudah duduk di singgasananya. Tak ada jawaban apapun yang terlontar dari mulut Moa, membuat Nara menunduk. Mungkin kali ini pria itu marah padanya. Harusnya Nara tidak melakukan itu. "Aku hanya merindukan suasana di desa dan hanya berniat melihatnya dari perbatasan. Lalu Yooshin dan seorang anak yang pernah kutolong datang ke sana. Tapi aku bahkan tak ada keberanian untuk menunjukkan diri kepada mereka," jelas Nara. Ia lalu menunduk, menatap bunga yang ada di tangannya. Gadis itu kian menunduk saat mendengar suara langkah mendekat ke arahnya. Moa berjalan mendekatinya tanpa sepatah kata pun dan saat mereka benar-benar sudah saling berhadapan, Nara menelan ludah tanpa berani mengangkat wajahnya. Salah satu tangan Moa bergerak mengangkat dagu Nara hingga kedua pandangan mereka bertemu. Moa mendekatkan wajahnya. Di detik berikutnya, Nara merasa material lembut menyetuh permukaan bibirnya, hingga bunga yang ia pegang jatuh bebas dari genggaman tangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN