Bertemu Bunda

1004 Kata
Kapan? From: Dinda Panik? Jelas Gugup? Jelas Tidak menyangka? Banget Kok bisa adalah kalimat yang memenuhi isi otak perempuan berkucir kuda itu saat ini. Ia sampai kayang untuk menghentikan kesalahtingkahannya. Bertemu dengan calon mertu—eh maksudnya, bertemu dengan bundanya Ardan sudah biasa bagi Dinda. Namun, selama ini statusnya sebagai sahabat dari Adel, adiknya Ardan. Bukan pacar laki-laki itu! Besok. Tadinya mau sekarang, tapi gue bilang mendadak banget From: Ardan Melihat notifikasi Ardan membuat kaki Dinda turun. Dengan rambut yang awut-awutan, cewek itu membalas pesan Ardan. Jadinya kapan? From: Dinda Besok, Adinda From: Ardan Ardan membalasnya cepat. Membaca chat Ardan yang menyebut nama lengkapnya membuat pipi Dinda memerah. Cewek itu mengetikkan kalimat singkat. Kemudian bersikap kayang lagi. Oke, Arfabian From: Dinda *** Hari ini Dinda dan Ardan berencana pergi ke toko baju. Kata Ardan mereka harus membeli baju couple untuk meyakinkan bundanya. Dinda sebenarnya bingung. Apakah orang yang berpacaran selalu ditandakan dengan memakai baju samaan? Dinda memoles lipsticknya tipis. Suara mesin mobil cowok itu sudah terdengar. Tak ingin membuat Ardan menunggunya lama, cewek itu berlari cepat ke luar rumah. "Ahahaha!" Suara tawa Ardan yang pertama Dinda dengar saat masuk ke dalam mobil. "Kenapa?" Kening Dinda menyatu. Ia sampai memeriksa penampilannya lewat cermin kecil. "Lo pake kacamata deh, udah kayak meimei," ledek Ardan. Reflek Dinda memukul lengan Ardan. Bukannya diam, tawa Ardan tambah pecah. "Ya udah kuncirannya gue lepas." Tangan Dinda sudah meraih ikat rambut hendak menarik. Namun, tangan Ardan menahannya. "Becanda, Din." "Iya, emang bercanda makanya lo ketawa," tukas Dinda sambil mengempaskan tangan Ardan. Cowok itu kembali menangkap tangan Dinda. "Jangan dilepas gue suka liatnya." Mata mereka bertabrakan. Terlihat jelas pantulan diri masing-masing di mata lawannya. Kelopak Dinda berkedip. Ardan tersadar. "Maksud gue, penampilan lo nggak aneh. Gue nyaman kok ngeliatnya. Lucu juga. Kayak lagi jalan sama bocah." Dinda melepas genggaman Ardan di tangannya. Jantungnya mulai mencari perhatian. Ia tak mau Ardan mendengar degupan kencang ini. Cewek itu merapikan poninya yang sedikit berantakan dan kedua kucirannya yang tampak longgar. Melihat Dinda sudah sibuk seperti itu, Ardan kembali menempatkan dirinya memegang setir. Mata itu. Masih sama seperti tatapan Dinda sepuluh tahun lalu. *** Sudah hampir sejam Dinda dan Ardan belum mendapat baju yang cocok untuk mereka. Rata-rata permasalahannya di selera. Ardan suka sedangkan Dinda tidak atau sebaliknya. Ardan jadi ingat saat ia memilih baju couple bersama Adel semua terasa mudah. Tidak heran. Mereka kembar. Selera mereka hampir sama kecuali di warna. "Yang ini aja. Bagus kok di lo," bujuk Ardan. "Enggak, ah. Gue keliatan pendek pake baju itu." "Lah, kan emang pendek." "Ardan." "Bercanda." Mata Dinda memutar kesal. "Nih, gue mau yang ini," tunjuk Dinda pada model bercorak kotak-kotak warna kuning. "Kayak serbet. Ogah," komen Ardan nyelekit. "Kita cari toko lain aja," ajak Ardan sambil melangkah keluar dari outlet pakaian dewasa itu. Dinda yang tak menyangka aka ditinggal, langsung menaruh asal baju yang ia tunjuk tadi dan mengejar langkah lebar Ardan. Ardan menyuruh Dinda duduk di bangku panjang depan area bermain mandi bola anak kecil. Kemudian cowok itu datang dengan dua eskrim. "Udah hampir dua jam kita muter-muter nggak nemu yang cocok." "Apa perlu kita pake seragam batik SMP. Kan samaan tuh?" ucap asal Dinda, niat berkelakar. "Iya bener juga, lama-lama gue kesel kita besok pake itu aja." "Janganlah, gila!" tolak Dinda. Ardan terkekeh. Ia menjilat eskrimnya sambil melihat anak kecil yang aktif menaiki perosotan lalu jatuh ke kolam berisi bola warna-warni. "Lo bilang ke Bunda kita pacaran berapa tahun?" "Lima," jawab singkat Ardan. Membuat Dinda sukses terkejut. "Hah?!" Cowok itu menggaruk belakang kepalanya. "Kelamaan, ya? Pokoknya dari lulus SMA. Terus kita ngerahasiain dari orang termasuk keluarga karena malu," terang Ardan. "Emang kalau orang pacaran perlu samaan bajunya?" Pertanyaan yang dari pagi bersarang di kepala Dinda akhirnya ia ungkapkan. "Setidaknya punya satu, Din. Lagian waktu Adel sama Dion ketemu Bunda mereka bajunya kapelan." "Kita kan cuma sebentar." "Maksudnya?" Dinda mendongak mendapati Ardan yang sudah menatapnya. "Kita pura-pura pacaran. Ini bakalan selesai kalau rencana perjodohan lo dibatalin. Nanti setelah itu bajunya nggak kepake dong?" jelas Dinda. Ardan membuang wajahnya ke depan. Cowok itu terdiam. Membuat Dinda berpikir kembali seharusnya ia tidak mengatakan itu. "Bener juga," gumam Ardan. Melihat Ardan yang tidak membantahnya, entah kenapa membuat hati Dinda terasa sesak. "Kita pulang aja kalo gitu," putus Ardan. Kepalanya memutar untuk melihat jawaban Dinda. Cewek berkucir dua itu mengangguk kecil. Kemudian keduanya menghabiskan eskrimnya dalam diam. Tentunya dengan merasakan perdebatan batin. Keduanya, makhluk egois yang dipertemukan Tuhan. *** "Dinda!" Bunda langsung menarik Dinda ke pelukannya. "Bunda nggak nyangka kalau kalian pacaran. Maafin, Bunda, ya. Bunda malah ngenalin Ardan ke anaknya teman Bunda." Dinda mengusap punggung bundanya Ardan dengan lembut. "Nggak apa-apa, Bunda. Salah Dinda juga nggak jujur dari awal." Ardan melihat kedua wanita itu dengan hati lega. Sejauh ini rencananya lancar. Kebohongannya tidak terbongkar. "Kita masuk dulu, yuk," ajak Bunda ke ruang tamu. "Bunda udah lama pengen, banget ngobrol berdua sama pacar Ardan. Akhirnya kesampean juga." "Bun," sela Ardan. "Masalah sama Tante Nia gimana? Ardan kan bilang kalau Ardan punya pacar. Bunda nggak percaya." "Minggu besok ada arisan. Nanti Bunda bilang." Bunda kembali menatap Dinda dengan ekspresi bersalah. "Sekali lagi maafin Bunda, ya, Din." "Iya, Bunda. Nggak apa-apa kok. Dinda sama Ardan terlalu takut makanya jadi ngerahasiain ini selama lima tahun." Mata Bunda membeliak. "Beneran lima tahun? Bunda pikir Ardan bohong." Dinda menunduk, ia takut mata berbohongnya terbaca oleh bundanya Ardan. Lalu terasa Bunda bangun dari duduknya. Dinda lantas menoleh. Bundanya Ardan datang dengan album foto besar. "Ini hal yang pengen Bunda lakukan sama pacar Ardan." "Apa, Bunda?" "Lihat foto masa kecil Ardan," jawab Bunda membuat Ardan panik dan segera mendekati bundanya. "Bundaaa!" protes Ardan. "Ish, sana kamu, Ardan," usir Bunda. Lalu tangan Bunda mengambil pergelangan tangan Dinda. "Kita di kamar Bunda aja, yuk." Kemudian Bunda menarik Dinda mengikutinya. Ekspresi tak terima Ardan membuat Dinda menahan tawa. Saat cowok itu menatapnya, Dinda melambai sambil menampilkan senyum meledeknya. Rencananya memang hampir berhasil, tapi tidak seperti ini. Ardan menggusar rambutnya. Sebentar lagi foto dia memakai sempak saja akan dilihat Dinda. Sial! Ardan belum siap! "Bunda jangan yang pake sempak itu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN