Malam Indah

1026 Kata
"Haa!" Ardan menyandarkan dirinya ke sandaran kursi pengemudi. Menampilkan ekspresi lega. "Satu masalah selesai." Cowok itu melirik ke samping. Sadar kalau perempuan yang sudah melihatnya telanjang saat bayi masih di mobilnya. Dinda memiringkan tubuhnya. "Kita nggak mau ngerayain karena udah cocok main di indonesiar?" "Ahahaha!" Mata Ardan melirik ke ujung kiri atas. "Kira-kira mau apa?" Lalu tangan cowok itu memeragakan minum. "Gini?" Lantas Dinda mengangguk girang. "Ayo!" Mendapat persetujuan dari Dinda, cowok itu langsung tancap gas. *** Dinda tak menyangka bahwa Ardan akan membawa ke rumahnya. Spontan ia langsung melihat Ardan meminta penjelasan. "Ada di rumah gue." Setelah mematikan mesin mobilnya. Menarik tuas rem. Membuka sabuk pengaman. Cowok itu membuka pintu mobil. "Lo mau di mobil terus?" sindir Ardan karena Dinda masih terdiam di tempatnya. Tersentak karena sedari tadi ia malah melamun, cewek itu buru-buru keluar dari mobil Ardan. Ini pertama kalinya Dinda masuk ke dalam rumah Ardan secara sadar dan diundang oleh cowok itu. Sebelumnya pernah, tapi dalam keadaan mabuk. Dinda membuka jaketnya dan menaruh di sampingnya. Duduk diam di sofa Ardan. Menunggu cowok itu keluar dari kamarnya. "Lo kalau mau ke kamar mandi di sana," tunjuk Ardan. Dinda mengangguk mengiyakan. "Oke," jawabnya singkat. Merasa butuh ke kamar mandi. Dinda akhirnya memasuki kamar mandi yang ditunjuk Ardan tadi. Sejujurnya, Dinda gugup. Berada dalam satu ruangan berdua bersama Ardan. Padahal dia sering berada di posisi ini. Misalnya saat di toko atau di mobil. Namun, tak bisa dipungkiri kalau kali ini rumah. Dinda di rumah cowok itu dan hanya berdua?! Dinda keluar kamar mandi. Ternyata Ardan sudah memesan makanan siap saji. Cewek itu melihat dua botol anggur yang Dinda tebak harganya pasti senilai dengan makannya selama sebulan. "Gue kayaknya nggak bisa minum banyak. Lo tau, 'kan? Bisa ngacauin tempat lo kalau gue nggak sadar." Ardan terkekeh. Ia membuka tutup botol anggur itu dan menuangkannya di gelas. "Santai aja. Kali ini gue bebasin lo ngeracau aneh-aneh." Cowok itu menyodorkan gelas itu kepada Dinda. "Sebagai ucapan terima kasih." Dinda tersenyum tipis. Ia melangkah pelan dan mengambil gelas itu. Dengan sekali tegukan ia menandaskan isinya. Sensasi terbakar di tenggorokan membuat wajah Dinda mengerut. Lalu cewek itu menaruh gelas itu di atas meja dan mengambil satu paha ayam untuk dilahap. "Gue jadi keinget foto yang lo main hujan-hujanan pakai celana dalem." Ardan menutup wajahnya dengan satu tangan. "Jangan dibahas woy!" Tangan satunya melambai. Dinda tergelak. "Itu umur berapa?" "Tau, ah!" Cowok itu meneguk minumnya. "Seriusan. Itu umur berapa?" Dinda menahan tangan Ardan yang ingin memakan ayam. "Dua tahun kali. Gue kan pisah dari Adel dan Bunda sekitar umur tiga tahun." "Oh," balas Dinda pelan. Ia lupa bahwa Ardan baru bertemu dengan bunda dan adiknya saat SMA. "Sorry. Harusnya gue nggak nanya-nanya masa kecil lo," sesal Dinda. Ardan mengibaskan tangan. "Nggak apa-apa kok. Santai." "Lo rencananya apa untuk selanjutnya?" tanya Ardan gantian. Cowok itu menaikkan satu alisnya menunggu jawaban Dinda. Perempuan itu bergeleng lemah. "Belum kepikiran." "Terus kenapa lo keluar?" tanya Ardan heran. Tidak menyangka bahwa Dinda belum sama sekali memiliki rencana dan sudah berani keluar dari kerjaan. "Ya biar bisa ngelupain lo," jujur Dinda. Kepura-puraannya selama ini hilang. Ia tidak bisa pura-pura tidak punya masalah apa-apa lagi. "Dengan lo nyuruh gue pura-pura jadi pacar lo. Dengan lo baik gini ke gue. Lo tau nggak sih kayak sia-sia aja gue mau ngejauhin lo." Ardan terdiam. Ia sama sekali tidak bisa membalas. Biasanya, ia langsung menolak cewek itu. Biasanya, kalimat nyelekit akan keluar dari mulut cowok itu. Seakan-akan memberi harapan bahwa Ardan mau menerima Dinda lagi. Namun, Dinda tidak bisa menganggapnya seperti itu karena cowok itu pun tidak memberikan kalimat penerimaan. Melihat lelaki itu terdiam menatapnya. Entah, keberanian dari mana. Dinda mendekati wajahnya ke wajah Ardan. Melihat setiap lekuk garis tegas wajah milik Ardan. Helaian rambut yang sudah menghalangi alis tebal milik Ardan. Bentuk mata yang menukik tajam bak mata elang. Kulit sawo matang yang terlihat terbakar sepertinya karena cowok itu sering berada di luar ruangan. Dinda tidak paham, yang membuatnya mabuk itu anggur yang ia minum atau ciptaan Tuhan yang selalu ia dambakan ini. Tak tahu siapa yang memulai, bibir mereka sudah bertemu. Saling memagut dengan lembut. Merasakan sensasi manis yang membuat candu. Malam itu, tanpa adanya pengakuan dari Ardan. Dinda sudah paham dengan apa yang ada dalam isi hati Ardan. Saat ciumannya berbalas. Saat lelaki itu memegang tengkuknya dan menariknya agar semakin dekat. Dinda tahu, bahwa rasanya berbalas. *** Dinda terbangun dengan baju utuh seperti kemarin di sofa ruang tamunya. Kepalanya terasa berat saat ia bangun. Dinda tidak ingat kalau ia pulang semalam. Ah, kemampuan minumnya memang sangat buruk. Dinda yakin, Ardan-lah yang membantunya pulang. Ingin berusaha mengingat bagaimana ia pulang tadi malam yang teringat malah kejadian itu. Reflek Dinda memegang bibirnya. Bibir tebal dan kenyal milik Ardan terbayang di pikiran Dinda saat ini. Bagaimana aroma mint dan rasa anggur yang mereka minum tercampur. Dinda bangkit dan buru-buru mencari ponselnya. Ia harus meyakinkan sesuatu. "Ah, mati lagi," gerutunya saat layar ponselnya tak menyala. Perempuan itu berlari masuk ke dalam kamar untuk mencari charger. Saat ponselnya bernyala. Dinda menunggu sinyal yang berada di ujung kiri atas layar menampilkan empat garis. Lalu jempolnya lincah mencari aplikasi w******p. Senyumnya pudar saat tak ditemukan satu pun pesan dari cowok itu. "Mungkin dia langsung tidur jadi nggak chat gue?" gumamnya berusaha menebak keadaan Ardan. Merasa kandung kemihnya penuh, Dinda lantas pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi Dinda sekalian membersihkan badan, berpikir mungkin saja setelah mandi ia mendapatkan pesan dari Ardan. Nyatanya, nihil. Cowok itu tak kunjung mengirim pesan kepadanya. Masih berpikir kalau Ardan belum bangun, Dinda menyibukan diri dengan hal lain. Seperti masak dan sarapan. Setiap beberapa menit sekali, perempuan itu berlari ke ponselnya hanya untuk mengecek apakah ada notifikasi dari Ardan. Mandi sudah Makan sudah Menyiram tanaman sudah Menyapa tukang sayur sudah Menyapu halaman sudah Digibahi tetangga pun sudah Semua sudah dilakukan Dinda, tetapi notifikasi yang ia tunggu tak kunjung muncul. Dengan mengumpulkan keberaniannya. Dinda mencoba mengirim pesan duluan kepada Ardan. Berharap Ardan akan membalasnya dan menjelaskan arti balasan ciuman itu. Ar, udah bangun? Tadi malem aku pulang gimana caranya? Aku nggak inget From: Dinda Dinda geli sendiri melihat isi pesannya yang menggunakan kata sapaan 'aku'. Dengan sabar Dinda menunggu balasan dari cowok itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN