Takdir Selalu Mendekatkan

1115 Kata
"Kaphan?" Cowok bercelana pendek itu tengah menelepon adiknya sambil menyuap makanan. Terdengar suara gumaman dari orang di ujung sana. "Apa, Del? Nggak kedengeran!" Ardan mengambil gelas di sampingnya. "Dua hari lagi aku pulang. Nanti diomongin lebih lanjut di rumah." Ardan membawa piring dan gelasnya ke dapur. "Gila, adek gue udah mau lamaran aja." "Doain, Arfa," tegur Adel. Dibukanya keran air untuk mencuci piring. "Iya, pastilah." Selesai merapikan bekas makannya, Ardan membawa ponsel dia ke dalam kamar. Sambil mengganti baju, Ardan melanjutkan pembicaraan dengan Adel. Hingga perbincangan mereka sampai pada pembahasan Dinda. "Kamu masih nutup hati buat dia?" Ardan menyisir rambutnya, lalu memakai jaket. "Jangan bahas lagi, deh." "Kamu mah gitu, ngebohongin diri sendiri terus," cecar Adel. Cowok itu menyambar tas dan kunci motornya. "Udah dulu, ya, Del. Gue mau berangkat ke toko. Nanti gue jemput di bandara pas lo pulang." Terdengar helaan napas panjang di ujung sana. "Iya, hati-hati ya, Ar." "Sip. Lo juga." Pembicaraan mereka terputus. Adel sebentar lagi akan menikah. Ardan akan kembali mendapat perbandingan dari sanak saudaranya. Ditanya kapan lulus saja Ardan sudah hampir gila, apalagi pertanyaan kapan menikah. Boro-boro nikah, punya pacar aja enggak. Kalau saja Ardan seperti Kevin yang bisa dengan gampangnya memacari seorang perempuan tanpa memiliki rasa terlebih dahulu. Sayangnya, tidak. Ardan mendesah, ucapan Adel terngiang di pikirannya. "Kamu mah gitu ngebohongin diri sendiri." Apa benar ia sudah membohongi diri sendiri? *** Ardan baru ingat, kalau kunci toko tidak ada dengannya. Terakhir kali ia memberikan kepada Dinda. Sedangkan Dinda tak kunjung tiba. Sepertinya cewek itu akan telat hari ini. Rasa kesal menyelimuti hati Ardan, terlihat dari kerutan di wajah cowok itu serta decakan yang lolos dari mulutnya. Baru saja Ardan hendak menelepon. Sebuah panggilan masuk muncul di layar ponselnya. Dari Bunda. "Halo, Bun." "Ardan kamu di mana?" "Di toko. Ada apa?" "Bisa masuk toko? Kuncinya bukannya sama Dinda?" Dahi Ardan mengerut. "Bunda tahu? Lagi sama Dinda?" "Iya, besok kan Adel pulang. Bunda minta bantuan Dinda buat beres-beres persiapan adek kamu pulang. Apalagi kamu tau nggak tujuan dia pulang apa." Fakta bahwa Dinda sahabat Adel dan orangtua Dinda tetanggaan dengan Bunda cukup menjadi alasan mengapa di saat seperti ini Dinda-lah yang menjadi tempat Bunda meminta bantuan. "Dan, denger nggak sih kamu?" "Eu-iya denger kok, Bunda. Ya udah, Dinda aku izinin nggak kerja hari ini. Tapi hari ini aja loh, Bun. Pendapatan aku bisa berkurang kalau sehari nggak buka toko." "Iya, Dan. Hari ini aja. Kamu kalau mau kuncinya ke sini. Ambil di Dinda." "Iya, Bun." "Malahan kalau bisa ikut bantu-bantu Bunda." "Aku ada janji hari ini, Bun." Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Iya, deh, iya. Ya udah Bunda tutup dulu, ya." "Iya, Bunda." Ardan mengerut keningnya. Bunda tidak tahu kalau Dinda mantan pacarnya. Jadi dia tidak akan tahu bagaimana canggungnya dia kalau sampai bersama Dinda dengan bundanya. Belum lagi kalau Bunda sudah melayangkan kode keras agar Ardan berpacaran dengan Dinda. Namun, saat ini Ardan terpaksa harus ke rumah Bunda untuk mengambil kunci toko. Mengambil kunci toko dan langsung pergi. Itulah rencana Ardan pada awalnya untuk menghindari kecanggungan. *** Sayangnya, rencana Ardan pupus. Papa menelepon dia dan menyuruh Ardan membantu Bunda. Curang. Bunda mengeluh kepada Papa. Ardan tidak akan bisa beralasan kalau sudah pemilik toko yang sebenarnya yang memerintah. "Kata Papa juga nggak apa-apa, kalo bolos sehari." Ardan yang tengah membuka gordain ruang tamu, hanya mengangguk pasrah sambil mengatakan, "Iya, Bunda sayang." "Eh, Dinda jangan diangkat biar nanti sama Ardan!" Bunda berseru kepada Dinda yang hampir mengangkat meja kecil di tengah ruang tamu. "Lagian Bunda minta tolong kamu masak aja, enggak bersih-bersih juga." Dinda menyengir. "Nggak apa-apa kok, Bun. Biar sekalian." Bunda mengibaskan tangannya. "Nggak usah. Sekarang kita ke dapur aja yuk." Dinda melirik Ardan yang terbatuk-batuk karena debu di gordain. "Minum, Dan." Dinda berlari ke dapur untuk membawa gelas berisi air. Ardan menengok sekilas. "Thanks. Ditaro aja di sana." Ia menunjuk dengan dagu meja kecil yang barusan ingin Dinda angkat. Cewek itu mengangguk dan menuruti. Bunda kembali memanggil Dinda dari dapur. Membuat perempuan berkucir kuda itu lekas pergi dari ruang tamu menuju dapur. Dari SMA Dinda sudah terkenal dengan kue buatannya. Maka dari itu Bunda meminta tolong Dinda untuk membuat kue serta cemilan-cemilan yang disukai Adel. "Dion itu temen satu SMP kamu dulu? Satu SMP sama Ardan juga dong?" Bunda tampak terkejut dengan fakta kalau Dinda dan Ardan pernah satu sekolah. Dinda mengangguk kecil. "Iya, Bun." "Tapi kok." Bunda memanjangkan lehernya untuk melihat Ardan yang kini tengah memasang gorden baru. "Kamu sama Ardan kayak orang baru kenal?" Kalau saja Bunda tahu Ardan dan dirinya sempat berpacaran, mungkin ekspresinya akan lebih terkejut dari saat ini. "Iya, mungkin karena saat itu masih kecil. Terus nggak deket juga." Dinda jelas berbohong. Tahu Ardan tidak menceritakan hubungan mereka kepada bundanya, Dinda menyimpulkan bahwa Ardan tidak mau hubungan mereka menjadi bahan perbincangan dengan bundanya. Maka dari itu untuk mendukung Ardan, Dinda akan ikut berbohong. "Owh gitu." Bunda memberikan loyang yang sudah diolesi mentega kepada Dinda. "Terus kamu sekarang udah punya pacar?" Gerakan tangan Dinda yang tengah menggunakan mixer terhenti. Perubahan Dinda membuat Bunda berucap panik. "Eh, bukan gitu maksud, Bunda. Duh, maaf harusnya Bunda nggak nanya itu." Dalam hati, Bunda hanya ingin tahu apakah masih ada kesempatan untuk Ardan. Dinda paham itu. Perempuan itu tersenyum ramah. "Enggak apa-apa kok, Bun. Aku belum punya pacar." Bunda menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bunda bukan mau jail." "Hehe, santai aja Bunda. Dinda udah biasa kok ditanya gitu. Tadi Dinda inget sesuatu makanya kaget." Diam-diam Bunda menghela napas lega. Ia tidak mau sahabat anaknya ini salah paham dengannya. Berbicara dengan Bunda itu asyik dan seru menurut Dinda. Apalagi kesukaan mereka sama. Sama-sama suka bikin kue. Dari kue saja, Dinda dan Bunda bisa membangun pembicaraan yang seru. Usai menaruh adonan kue ke dalam oven, Dinda membantu Bunda membersihkan dapur. "Makasih, ya, Din. Udah bantuin Bunda. Soalnya abis ini Bunda harus masak lagi. Jadi, butuh bantuan kamu buat bikin kuenya." Sambil mencuci tangannya, Dinda berkata, "Nggak apa-apa, Bun. Adel udah nelepon Dinda juga minta dibikinin kue. Itung-itung ngabulin sahabat yang jarang ketemu." Dinda dan Bunda berjalan ke arah ruang tamu. Melihat Ardan yang tengah selonjoran di sofa sambil mengotak-atik ponselnya, membuat Bunda berpikir sesuatu. "Ardan! Kamu anterin Dinda pulang ke rumahnya sana." Dinda menggeleng. "Nggak usah, Bun. Aku mau ke rumah Mama." Dinda seperti Ardan, tinggal terpisah dengan orang tua dan sudah memiliki rumah sendiri. Rumah orang tuanya masih berada di depan rumah bundanya Ardan. "Iya, tau, tapi nanti kalau udah mau pulang ke rumah kamu, bareng Ardan aja." Dalam hati Dinda mendesah ia tidak enak hati dengan Ardan. Sepertinya cowok itu tengah memendam kesal kepadanya. Terlihat dari wajah suntuk Ardan. Meskipun sejujurnya, hal ini membuat Dinda menjadi senang. Setidaknya, sekeras apa pun Ardan menjauhinya takdir akan selalu mendekatkan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN