Adel Pulang ke Indonesia

1055 Kata
"Bunda!" seru Adel kala kakinya menyentuh teras rumah bundanya. Bunda melangkahkan kakinya menuju Adel dan merengkuh tubuh anaknya. "Bunda kangen banget." "Bun, Adel ngajak Dion juga," ucap Adel saat pelukan mereka terurai. Bunda menyembul dari bahu Adel. Melihat sesosok lelaki yang memiliki tinggi sama dengan Ardan muncul dari pagar rumahnya dengan mendorong koper. Lelaki bernama Dion itu menghampiri Bunda dan meraih punggung tangan wanita itu untuk menciumnya. "Dion, kita belum pernah ketemu, kan? Padahal katanya kamu temen Ardan dari SMP." Dion melemparkan senyum ramah. Tidak mungkin dia akan bercerita tentang permasalahannya dengan Ardan dulu. "Iya, Tante. Dulu banyak kegiatan jadi nggak ada waktu untuk main-main sama temen." Ucapan Dion tidak sepenuhnya bohong. Kegiatan masa SMA-nya memang banyak, apalagi saat dia menjabat sebagai ketua OSIS. Namun, bukan berarti dia tidak bisa berkumpul dan bermain bersama teman-temannya. Misalnya saja waktu Adel memintanya untuk belajar bersama, Dion memiliki waktu. Tidak ingin bundanya bertanya macam-macam lagi mengenai Dion dan Ardan, Adel langsung mengalihkan pembicaraan. "Bun, Adel bawain oleh-oleh." Tangannya mengangkat totebag dan menggoyangkannya. "Wahh, ayo masuk," antusias Bunda. Dion dan Ardan lantas menghela napas bersamaan. Menyadari kehadiran Ardan di sampingnya, Dion tampak kikuk. "Santai aja lagi," kata Ardan sambil menepuk bahu Dion. Padahal mereka berdua sudah bersepakat tidak membahas permasalahannya di masa lalu agar dapat kembali berteman tanpa ada kecanggungan. Namun, dalam kondisi seperti ini memori itu kembali terulang dan membuat keduanya tampak kikuk. "Masuk, Yon, Bunda udah masak gue dah laper juga." Dion mengangguk cepat, lalu mengekori Ardan. "Sambil kita cerita kenapa lo bisa sama adek gue," kata Ardan membuat jantung Dion berpacu lebih cepat. Ini baru berhadapan dengan abangnya, Dion sudah keringatan. Bagaimana besok ia harus berbicara dengan ayahnya Adel? *** "Jadi pertemuan kalian itu nggak disengaja?" Bunda bertanya dengan antusias. "Iya, Tan—eh, Bunda." Bunda sudah menyuruh Dion untuk memanggilnya dengan panggilan Bunda bukan Tante. Namun, Dion masih merasa kagok dan selalu menyebut Tante. "Terus gimana bisa kalian jadian?" Dion kembali menceritakan dari awal. Dari mulai ia yang sudah menyukai Adel dari masa SMA. Menemani Adel saat cewek itu lembur kerja. Mengajak Adel saat libur kerja. Kala Adel salah paham saat melihatnya tengah bersama dengan teman kuliah Dion. Sampai ketika Dion mengungkapkan perasaannya. Bunda berulang kali merespon cerita Dion dengan ucapan, "Wah." Bentuk dari ketidaknyangkaan Bunda kalau Adel SMA yang terbilang jauh dari kata rapi dan cantik ternyata diam-diam disukai cowok populer di sekolahnya. "Dion serius sama anak Bunda." Bunda tercenung. Padahal dia sudah tahu dari Adel. Namun, mendengar ucapan itu langsung dari Dion tetap membuatnya terkejut. Pancaran mata Dion menunjukkan keseriusan dari hatinya. "Saya mau lamar anak Bunda." *** Gedung SMA di depannya tidak banyak berbeda. Hanya cat dan tata kebun yang sedikit berbeda. Untuk gedungnya sendiri tetap berdiri di tempat yang sama seperti sembilan tahun yang lalu. Adel menghirup udara di sekitarnya dengan rakus. Bau khas SMA, penjual yang berjajar di depan gerbang, pohon besar yang berada di tempat parkir. Anak berseragam putih abu-abu yang berlalu lalang. Dion meraih tangah Adel dan menggenggamnya. "Ayo, masuk." Ini semua permintaan Adel. Perempuan berpakaian overall itu mengikuti langkah Dion dengan girang. "Kelas sepuluh kamu di kelas mana?" Adel di depan Dion dengan berjalan mundur. "Kelas sepuluh A." Langkah Adel berhenti. "Serius?!" Mata Adel membulat. Bagaimana tidak terkejut, kelas sepuluh A dikenal dengan kelas favorit karena diisi dengan anak-anak berprestasi. Dion mengangguk. Telunjuknya mengarah ke kelas bertuliskan X. A. Lalu telunjuknya bergerak sedikit. "Yang itu kelas kamu. Sepuluh C." Adel mengangguk cepat. Senyumnya tercetak. Tahu Dion ingat dengan kelasnya dulu, walaupun sepele tetap membuat cewek itu tersipu. Ia masih tidak menyangka kalau Dion menyukainya dari SMA. "Udah aku bilang, aku suka kamu dari dulu. Dari kamu belum ngeliat aku." Rasanya Adel ingin mengata-ngatai dirinya sendiri karena ketidakpekaannya. Adel pikir ia anak yang tidak terlihat. Justru malah dia yang tidak melihat Dion yang selalu ada saat ia membutuhkan. Lalu mereka mengayunkan kakinya menuju perpustakaan. Adel mengitari rak yang dulu pernah ia datangi. Letak perpustakaannya masih sama seperti dulu. Setengah ruangan bersisi deretan meja dan kursi. Setengahnya lagi berisi deretan rak. Teringat memori kala Adel membawa tumpukan buku dan terjatuh. Dion yang berada di situ langsung membantunya. "Saat itu aku kira kamu bakal inget sama aku. Ternyata kamu cuma ngucapin terima kasih terus pergi." Adel menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Aku bener-bener tak acuh dulu, ya." "Banget, Del. Tapi karena itu aku jadi makin penasaran." Setelah puas mengitari perpustkaan dan merasakan memori dulu. Adel dan Dion berjalan menuju ruang musik. Pertama kalinya Dion mengetahui Adel bisa bermain piano. Kemudian Adel duduk di kursi panjang itu. Menarik Dion untuk duduk di sampingnya. Perempuan itu membuka penutup piano lalu mulai menarikan jarinya di atas tuts. Ruangan selanjutnya yang mereka datangi adalah ruang olahraga. Di sana mereka bertemu dengan salah satu teman Dion saat kelas sepuluh. "Dika?" Dion menyapa. Dika yang tengah mengumpulkan bola-bola yang berserakan lantas mendongak. "Dion!" Dari baju yang digunakan Dika. Dion sudah menebak kalau temannya itu kini menjadi guru olahraga. "Ngajar di sini?" Dika mengangguk. "Iya, baru, sih. Baru enam bulan." Lalu mata Dika melirik ke samping Dion. "Ini Adel. Temen sekelas gue pas kelas sebelas. Del, kenalin ini Dika." Tunjuk Dion ke Dika. "Dik, kenalin ini Adel," kata Dion memperkenalkan. Dika mengangguk. Lalu matanya mengerling menggoda ke arah Dion. "Masih jadi temen?" Dion terkekeh. "Sebentar lagi teman hidup." "Woah!" seru Dika. "Semoga lancar ya, Yon." Dika menepuk lengan Dion mendoakan. "Makasih loh." Sedangkan Adel di sampingnya sudah tersipu malu. Mendengar Dion memberitahu orang lain tentang hubungan mereka, membuat Adel sedikit malu sekaligus senang. "Ini udah selesai?" tanya Dion melihat keadaan ruang olahraga sudah sepi. "Udah. Kenapa?" "Gue mau masukin satu dua bola lah." Dagu Dion menunjuk ring basket. Mulut Dika membulat. "Boleh. Silakan. Gue keluar dulu deh. Kalau udah selesai wa gue aja. Mau gue kunci." "Oke, siap. Makasi, ya." "Yoi." Seperginya Dika, Dion berlari mengambil satu bola basket dan kembali ke Adel. "Kamu belum pernah liat aku main basket, kan? Terakhir aku main pas SMP, jadi kayaknya sih udah kaku. Udah jagoan Ardan mungkin." "Nggaklah, namanya bakat pasti masih bisa." Adel menunjuk tempat duduk di pinggir lapangan. "Aku liat dari sana." Dion tersenyum tipis. Saat Adel sudah berbalik, lelaki itu kembali memanggil Adel sambil berhambur ke perempuan itu. Bibirnya menempel pada bibir Adel kala cewek itu menoleh. Hanya sekilas, tapi cukup membuat jantung Adel berdegup lebih cepat. "Biar semangat," kata Dion sambil berlari menuju tengah lapangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN