Alasan Itu

1358 Kata
Suasana kantin masih ramai ketika kelima siswa itu duduk di salah satu bangku panjang dan menyantap makanannya masing-masing. Jika sudah waktu istirahat tiba jangan sekali-sekali mengharapkan keadaan kantin yang damai nan tentram seperti keadaan kelas jika diajari guru killer. Gelak tawa siswa, dentingan sendok yang bersentuhan dengan mangkok, bahkan teriakan cempreng dari mulut para pedagang tak ayal membuat keadaan kantin semakin riuh. Dan salah satu yang membuat keadaan kantin jadi semakin riuh adalah kehadiran kelima siswa bergaya abstrak dengan muka tampan, yang menjadi kesayangannya Bu Wati karena sering dipanggil ke ruangannya. Kevin seperti telah mengingat sesuatu yang akan ia pertanyakan, seketika menggebrak meja membuat teman-temannya yang sedang sibuk tertawa menoleh kepadanya. "Ah elah masa nggak tau sih, siapa sih namanya gue lupa. Siapa ya? Sar-sar, Sar apa ya?" "Sarminah?" "Sarjuki?" "Sarkiem?" "Sarimin?" Ucap teman-temannya berurutan dari Galang, Anton, Ryan lalu Aldi. "Et, apaan sih lo pada. Ngaco!" "Ya terus 'Sar' apa?" tanya Galang menekankan kata Sar. "Ini gue lagi nginget-nginget namanya." "Au dah," desis Anton sambil menggelengkan kepala. Lalu pandangannya terhenti pada kotak makan merah di atas meja. "Woi, kotak makan Adel kan ini? Ketinggalan." "Eh iya, dasar pelupa," timpal Aldi. "Ya udah siapa yang mau ngembaliin ke si Adel nih?" "Sarah!" "Hah? Sarah?" "Iya nama adek kelasnya itu Sarah," sahut Kevin. "Apaan sih, Vin, gue nanyanya apa coba, nggak nyambung lo." "Lah, bukannya tadi kalian yang nanya?" "Udah ganti topik lagi, Vin," ucap Galang sambil menatap Kevin gemas. Kevin menaikkan satu alisnya. "Emang? Nggak ada yang ngasih tau gue." Ryan yang mulai jengah dengan perdebatan tidak penting teman-temannya menyudahi. "Ck, ya udahlah gue aja sini." "Nah, gitu dong, Yan." Ryan berjalan menyelusuri lorong menuju perpustakaan. Dari kejauhan dia mulai melihat sosok yang tengah ia cari. Adel, sedang berdiri mematung di depan pintu toilet. "Nah, itu Adel," gumam Ryan lalu berlari kecil. "... Si cupu dengan si trouble maker." Terdengar suara gelak tawa dari dalam toilet siswi, entah apa yang mereka bicarakan Ryan tidak mengetahuinya. Namun, setelah itu ada satu yang ia dapat simpulkan. "Teman?" gumam Adel lalu beranjak pergi dari tempat itu. Akan terjadi sesuatu. *** Ardan masih menatap nanar pintu kayu yang sudah tertutup itu. Kenapa? Apa yang terjadi? Ada banyak hal yang ingin Ardan pertanyakan saat ini karena melihat sikap Adel yang menurutnya berubah 180 derajat. Dia kemarin memang tidak masuk, tetapi teman-temannya tidak ada yang bolos. Mungkin teman-temannya dapat memberi tahukannya apa yang terjadi kemarin sehingga Adel berubah seperti itu. Ardan mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menghubungi semua temannya untuk mengunjungi rumahnya. "Jadi, lo bisa jelasin ke kita kenapa lo cabut nggak ngajak-ngajak," ucap Kevin langsung mengintrogasi Ardan ketika pintu kamarnya terbuka. "Gue nggak suka lo introgasi begitu!" "Terus maksud lo nyuruh kita ke sini itu buat apa?" "Lo itu kayak doi ya, dateng kalo lagi butuh doang," ucap Kevin dramatis. "Nggak usah bacot deh, kemaren gue bolos bukan buat seneng-seneng kok, gue ada misi penting rahasia." "Serah lu dah, Dan," "Di antara kalian ada yang bisa jelasin apa aja yang terjadi kemarin?" "Gue nih ya, bangun tidur, ketemu demes alias dede gemes, godain cecan—" Ardan memotong ucapa Kevin, yang menurutnya tak penting. "Bukan itu maksud gue!" "Lah tadikan lo nanya?" Aldi yang berdiri di antara Ardan dan Kevin, berkata, "Maksud lo apa sih, Dan?" "Ini bukan masalah kalian, ini masalah—" "Adel." Semua mata tertuju pada laki-laku berkacamata yang barusan menyela omongan Ardan dengan satu nama. "Lo tau?" "Nggak banyak, yang gue tau cuma...." Lalu Ryan menjelaskan apa yang dia ketahui kemarin. Tepat setelah Ryan menyelesaikan ceritanya, terdengar dering pesan dari ponsel Ardan berbunyi. "Sial," rutuk Ardan setelah membaca isi dari pesan itu. Mendengar u*****n Ardan, seketika teman-temannya saling berpandangan dengan penuh tanda tanya. "Ada apa, Dan?" tanya Anton. Ardan mengangkat wajahnya memandang teman-temannya satu per satu. "Batre hp gue lowbat." Galang melempar bantal kecil yang berada di dekatnya. "Anjir lo, Dan! Gue pikir ada sesuatu yang penting." Ardan yang mendapat serangan bantal itu langsung menghindar. Refleknya sangat bagus. "Eits ... Eh, ini juga penting tau, hp gue mati sedangkan tadi gue liat Adel ngirim pesan ke gue." Aldi memutar matanya jengah. "Semerdeka lo, Dan." "Stress lama-lama gue ngehadepin lo, Dan." Ryan beranjak memilih duduk bersebelahan dengan Galang. "Untung temen," gumam Kevin yang masih terdengar seraya menyumpalkan headset ke telinganya. "Kalian kenapa sih? Sewot amat kayaknya sama gue." Setelah mengisi daya pada ponselnya, Ardan kembali membaca isi pesan itu. Adel ingin mengatakan sesuatu secara langsung, apa ada kaitannya dengan perubahan sikapnya itu? Ardan mengingat-ingat perbuatannya selama ini. Keterlaluan. Itu yang dapat dia simpulkan. Jika dipikir-pikir kembali ada benarnya perkataan mereka yang mengatakan Ardan itu memperalat Adel. Namun, dia segera meralatnya dengan berpikir dirinya hanya mengerjai Adel, memperalat dengan mengerjai adalah 2 hal yang berbeda, bukan? Namun, jika sikapnya itu sudah keterlaluan maka dia akan berusaha memperbaikinya. Dan perasaan takut mulai merasuki pikirannya. Bagaimana jika Adel tidak ingin lagi berdekatan dengannya? Ya ampun bahkan Ardan sudah mulai terbiasa berdekatan dengan Adel. Dan nyaman. Ya, tidak hanya terbiasa, tetapi nyaman. Dia tidak tau apakah ini benar perasaan nyaman karena teman atau ada hal lain. Perasaan ini dia yakin bukan perasaan antara laki-laki dan perempuan karena dia sudah pernah merasakan hal ini sebelumnya. Apapun itu, yang pasti Ardan tidak ingin hubungan pertemanannya itu rusak. Ah, ya, dia harus memastikan suatu hal. Ia mulai mengetikkan sesuatu di ponselnya. Setelah itu dia mengirimkan pesan itu. Dengan merapalkan doa semoga jawaban yang diterima sesuai dengan keinginannya. Belum ada jawaban. Berpikir hal yang baik mungkin saja si penerima pesan belum membaca pesan dari Ardan. Setelah sejam lebih menunggu, akhirnya ia mendapatkan jawabannya. Sesuai dengan yang diharapkan, Ardan menghela napas lega. Meskipun jika dalam kondisi normal dia akan memaki siapa saja yang menjawab pesannya sangat singkat. Deldel Dan, ada yang mau aku omongin. Jadi, aku harap besok bukan jadwal bolos kamu. Me. Oke, Del. Besok gue masuk kok. Oh, iya, besok kita berangkat bareng lagi, kan? Read *** Beberapa kali Ardan melirik spion hanya untuk melihat ekspresi Adel yang tak berubah, wajah datar. Adel biasanya selalu memasang wajah polos dengan senyum konyol jika Ardan menjemputnya. Sedangkan tadi, ia hanya memasang wajah datar bahkan setelah Ardan menyapanya. "Del," sapa Ardan dan dijawab deheman halus dari Adel. "Katanya mau ada yang diomongin, apa?" "Kamu lagi nyetir, nggak sekarang." Sesingkat itu jawabannya? Ardan hanya dapat menegak salivanya gugup. Ketika sudah sampai di pelataran parkir sekolahnya, seperti yang biasa dilakukan, Ardan akan membukakan helm di kepala Adel. Namun, kali ini tampak Adel tidak ingin dibukakan oleh Ardan. "Sini gue bukain, biasanya juga dibukain, kan?" "Nggak mau kebiasaan." Singkat lagi. Ardan tau Adel tidak pernah bisa membuka helmnya sendiri. Ardan masih duduk di jok motornya dengan masih menatap Adel yang sedang kesulitan membuka helm. Ardan mulai jengah. "Eh, mau ngapa–" "Diem, Del. Yang ada kita telat cuma gara-gara nungguin lo buka helm." Ardan sedikit membungkuk untuk melepas pengait pada helm itu. Hanya membutuhkan waktu beberapa detik helm itu berhasil terlepas. "Ya, udah, nggak usah ditungguin. Tinggalin aja!" Lalu gadis itu membalikan badannya dan melangkahkan kaki lebar-lebar ke arah kelasnya. Ardan hanya dapat menepuk pelan dahinya. "Ogeb dah, kenapa keceplosan sih." Yang Ardan tidak tau, Adel sedang tersenyum tipis, sangat tipis sehingga orang pun tidak akan menyadarinya jika tidak benar-benar memperhatikan wajahnya. *** Ardan sesekali melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. 5 menit lagi bel tanda istirahat berbunyi. Duduknya mulai tidak nyaman. Menunggu 5 menit dirasa seperti menunggu 1 tahun lamanya. "Kapan sih belnya bunyi," gumamnya yang dapat terdengar oleh Kevin yang berada di sampingnya. Kevin mengernyitkan dahinya. "Lo ngapa sih, Dan? Duduk yang bener dong, dah kayak cewe lagi dateng bulan aja lo." Ardan melirik ke sampingnya. "Emang kalo cewe dateng bulan, duduknya kayak gimana?" "Ya, kayak lo gini." Belum sempat Ardan membuka mulut, suara nyaring bel tanda istirahat terdengar. Dengan gerakan kilat Ardan berlari keluar kelas. Dengan napas yang masih tersengal-sengal ia merunduk di depan kelas yang terdapat tulisan 'Ruang Kelas XII IPS 2'. Setelah dia dapat mengatur napasnya, Ardan menegakkan badannya tepat saat itu orang yang sedari tadi ia tunggu berada di depannya. "Hai," sapa Ardan. "Di tempat biasa aja." Perkataan dingin yang dilontarkan untuk membalas sapaan Ardan. Dia berjalan mendahului diikuti oleh Ardan di belakangnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN