Sindiran Keras

1083 Kata
"Terima kasih, Ardan." Dinda membuka sabuk pengamannya. Ardan membuka kunci mobil. "Iya, sama-sama." Cowok itu tidak mengantar Dinda sampai depan rumah. Hanya sampai depan gerbang perumahan cewek itu. Bagi Dinda tidak masalah. Ardan mau memberikan tumpangannya saja sudah cukup. Di sisi lain, Ardan tidak ingin Dinda berpikir yang macam-macam jika ia mengantarnya sampai rumah. Bagaimana pun, Ardan tidak akan memberi harapan lagi kepada perempuan itu. Sesampainya di depan rumah, Ardan melihat teman-temannya sudah menangkring di teras rumah. "Nah, tuh orangnya!" tunjuk Galang membuat temannya yang lain menoleh ke luar gerbang. "Yang mau kencan besok akhirnya pulang. Gue kira mau kabur lo," ujar Kevin membuat Ardan mendelik kesal. "Ngapain sih lo pada ngemper di depan rumah gue," protes Ardan. Pintu rumah Ardan terbuka. Anton, Galang, dan Kevin langsung menjelajahi isi rumah cowok itu. Anton langsung rebahan di kamar Ardan. Galang ke dapur untuk membuka lemari pendingin. Dan Kevin masuk ke kamar mandi. "Dan, lo nggak ada makanan sama sekali?" Ardan yang tengah mencari pakaian ganti hanya menengok Galang sekilas. "Beli onlen aja, gue belum belanja." "Ton, pesenin makanan!" seru Galang. "Iye!" balas Anton sambil membuka aplikasi ojek online. Seperti inilah jika teman-temannya Ardan sudah datang. Tak ada kata tenang di rumah cowok itu. *** "Woy, Dan. Bangun lo!" Sebuah bantal mendarat di wajah cowok itu. Ardan terperanjat. Ia melenguh sambil mengganti posisi tidurnya. "Cepet bangun. Kita harus belanja, Dan. Buat nanti malem." Ardan menguap. Ia mengucek matanya. Meraih ponselnya di atas nakas dan menyalakan layarnya. "Gue hari ini masih kerja. Ngapain sih lo, ah!" "Lah, nggak bolos aja?" ucap polos Galang. "Gila!" umpat Ardan sambil bangkit dari tidurnya dan meraih handuknya. "Lo kan biasa bolos dulu. Apalagi sekarang lo kan atasannya." "Ck! Lagian lo tumben udah bangun aja?" Ardan mengambil sabun cuci muka di mejanya. "Yang lain aja masih pada tidur." Galang memukul dadanya sombong. "Iyalah. Gue." Kepala Ardan bergeleng heran. Temannya satu itu tidak mungkin mau bangun sepagi ini kalau tidak ada sesuatu yang ia inginkan. Ardan lantas masuk ke dalam kamar mandi dan menyelesaikan aktifitasnya. Usai membersihkan badan, Ardan bersiap merapikan diri untuk berangkat kerja. Galang menyembul di ambang pintu sambil membawa gelas kopinya. "Lo beneran nggak mau bolos?" Ardan menaikan satu alisnya. "Mau ngapain sih lo? Ini kalau udah kayak gini ada yang lo mau." Cowok berambut gondrong itu menyengir kuda. "Gue mau sekalian beli jas." Ardan memutar matanya. Sudah dia duga. "Nanti gue transfer aja," ucap Ardan sembari menyemprotkan parfum ke bajunya. "Gue mau kerja. Awas lo ganggu." Ardan menunjuk Galang dengan melempar tatapan tajam. Galang melambaikan tangannya. "Santai. Asal lo jangan lupa jam tujuh harus pulang." Ardan mendengkus. Ia menyambar tas dan kunci motornya. Ardan berharap, semoga nanti malam ada kejadian yang membuat ia tidak harus mendatangi acara itu. *** "Pagi, Dan!" sapa Dinda. Ia bangun dari duduknya dan menghampiri Ardan yang tengah membuka helm. Ardan mengerjap cepat. "Pa-pagi," balas cowok itu kikuk. "Oh, iya, Din." Dinda menoleh. "Apa?" "Nanti gue jam enam pulang, ya. Gue titip kunci." Dinda mengangguk cepat. "Siap." Cowok itu membuka pintu toko lebar. Dinda di belakangnya menatap punggung Ardan dengan tatapan penuh arti. Bohong kalau Dinda sudah melupakan harapannya kepada Ardan. Jauh dalam dirinya, ia masih sangat berharap dapat bersama dengan cowok itu. Ia pernah baca kalimat kalau jodoh tak kan ke mana. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia akan membuktikan itu. *** Jangan lupa Dan From: Galang Tau lu Dan, jangan dipikun-pikunin deh From: Anton Dan, jan matiin ponsel From: Kevin Ardan berdecak. Padahal waktu baru menunjukkan pukul lima sore, tetapi teman-temannya sudah meramaikan grup chat. Cowok itu masih setengah hati untuk ikut dalam rencana teman-temannya. Gue jemput lu ke toko dah From: Aldi Alah jalan ke kamar mandi aja belum bener lu Al From: Anton Ryan just read Ardan just read Ardan Ryan ngeread doang gue sumpahin lambang apel kegigit dihapenya jadi ilang From: Galang Apasi Lang From: Ardan Apasi Lang (2) From: Ryan Apasi Lang (3) From: Aldi Apasi Lang (4) From: Kevin Apasi Lang (5) From: Anton SIALAN LU PADA From: Galang Ardan tergelak di balik meja kerjanya. Emang paling kompak teman-temannya itu jika sudah mengerjai Galang. Gue pulang jam enam. Jangan ganggu gue From: Ardan Kalimat terakhirnya sebelum Ardan benar-benar mematikan ponsel. *** "Temen lo yang kemaren itu, temen SMA?" Ardan tengah membantu Dinda menata produk sampo dan sabun ke dalam rak. Dinda menoleh sejenak. "Iya. Sempet satu kelas juga. Sama-sama ikut organisasi." Ardan mengangguk pelan. Setelah selesai menata sampo dan sabun cowok itu beralih ke rak pembersih baju. "Lo sama temen SMA masih berhubungan baik ya?" tanya Dinda balik. Ia tengah mengelap rak-rak kosong yang sudah berdebu. Lalu Ardan yang memasukkan barang ke rak yang sudah dilap Dinda. "Iya. Beruntung gue temenan sama mereka." "Awet, ya." "Ya, gitu. Meskipun pada gesrek, sih." Dinda tergelak. "Segesrek apa, sih?" "MAKSA GUE PERGI KE KENCAN BUTA!" Ingin sekali Ardan berkata seperti itu. Namun, itu hanya ada di pikirannya saja. "Lo nggak perlu tau deh, takut nyesel." Tawa renyah cewek itu menyembur. Membuat Ardan seketika tercenung. Suara tawa yang sudah lama tidak ia dengar. "Kalau temen SMA gue ada yang gila juga, sih. Ngeshare pengumuman kencan buta di grup angkatan." Ardan membeku. "Lebih konyol lagi ada yang ikut acara itu dong. Ahahaha!" Cowok itu menelan salivanya. Untuk menghindari kecurigaan, Ardan ikut tertawa garing. "Ada-ada aja, orang jaman sekarang. Pengen dapet pasangan sampe segitunya. Hehe," komentar Ardan. Ia seperti tengah berbicara pada dirinya sendiri. "Iya, aneh banget, sih. Padahal mungkin aja jodoh dia ada di sekitar? Siapa tau aja ada yang diem-diem suka, tapi dianya yang pura-pura nggak peka." Ucapan Dinda seperti menyindir dirinya. "Atau mungkin aja emang bukan selera dia makanya dia ikut kencan buta?" Dinda menggelengkan kepalanya tak terima. "Emangnya kalau di acara kayak gitu bakalan dapat yang sesuai selera? Belum tentu. Belum pasti. Kenapa nggak sama yang pasti-pasti aja?" "Kalau dia ngerasa orang yang ada di dekatnya itu bukan yang pasti? Maksudnya bukan jodohnya gimana?" Cewek itu mengibaskan tangannya di depan muka. "Gimana mau tau dia jodoh atau bukan kalau ditolak terus?" "Kalau udah pernah nyoba tapi hubungannya gagal, apa mungkin masih bilang kalau mereka jodoh?" balas Ardan tidak mau kalah. "Mungkin aja. Jodoh kan nggak ke mana, sebanyak apa pun mereka putus, ujungnya akan balik lagi!" sulut Dinda. Dadanya turun naik karena emosi. "Tunggu. Kita lagi ngomongin siapa ya?" Mata Dinda mengerjap cepat. Mulutnya terbuka tertutup tanpa suara. "Temen SMA gue kalau nggak salah." Ardan mengangguk pasti. Iya, dia hanya perlu berpura-pura tidak peka saja. Padahal dalam hatinya sudah yakin kalau setiap kata yang dikeluarkan cewek itu adalah untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN