Dalang Semua Ini

1114 Kata
Diparkirkan motor besar itu dengan asal, Ardan berlari menuju markas sang rival. Sepi. "Woy, b*****t! Gue udah di sini, keluar lo!" Ardan berteriak dalam ruang yang menggema itu. Suara derap langkah kaki seorang terdengar disusul dengan tepukan tangan. "Wow, dateng juga. Gue pikir sebegitu bencinya lo sama mantan." Ardan menatap tajam rival di depannya itu. "Di mana dia?" Bara kembali terkekeh. "To the point banget sih, lo. Nggak mau ngopi-ngopi dulu." "Lama-lama lo bikin gue muak." Ardan berjalan cepat menghampiri Bara lalu mencengkeram kerah baju laki-laki itu. "Udah lama nggak bonyok lo," desis Ardan tepat di depan wajah Bara. Bara menyunggingkan senyum liciknya. "Selalu merasa senang." Dan dengan cepat ia melepas cengkraman tangan Ardan di kerahnya lalu mendorongnya. "Ini wilayah gue, kuasa gue, dan ... permainan gue." Ardan masih memandang tajam ke arah Bara. "Oke, permainan lo, biar gue yang menangin," ucap Ardan sambil membuang ludah ke arah Bara. Bara tertawa, tawanya menggelagar ke seluruh penjuru ruang itu. "Oke-oke, seru juga kalau gitu. Lo mau cewe itu?" Perlahan Bara melangkahkan kaki menuju Ardan. "Gue mau kekalahan lo. Pertukaran yang adil, 'kan?" Ardan seperti memiliki alarm tanda bahaya dalam dirinya. Ia sudah memasang ancang-ancang penjagaan diri. Tepat ketika Ardan berusaha terlebih dahulu menyerang Bara, sesorang di belakangnya menendang punggung cowo itu hingga tersungkur. Ketika Ardan mendongakan kepalanya hendak melihat siapa yang menendangnya pada saat itu juga ia dapat melihat bahwa ia sekarang tengah berada dalam lingkaran kematian. Seperti prediksi ia sebelumnya, Bara tidak sendiri, rivalnya itu bersama beberapa anak buahnya yang lain, kini sedang melingkari Ardan yang masih tersungkur. "Lets play with me," ucap Bara dengan seringai di wajahnya. Dengan secepat kilat Bara langsung menerjang Ardan. Ardan tidak diam, ia juga balas menyerang lawannya. Namun, hal itu tak berlangsung lama, anak buah Bara berusaha menyerang Ardan secara bersamaan. Ditahannya tubuh Ardan yang sudah melemah lalu dengan tanpa belas kasih Bara memukul, meninju, menyerang Ardan secara brutal. Ketika Ardan sudah benar-benar melemah dan kesadarannya hampil terenggut pada saat itu juga Bara menghentikan aksinya. "Lepas!" perintah Bara kepada anak buahnya. Bara mengambil sebatang rokok lalu mematiknya. Ia hisap lalu diembuskan. Ia mendekati Ardan, ia tepuk-tepuk keras pipi Ardan yang sudah memar. "Jangan tidur dulu woy! Gue mau nyeritain dongeng sebelum tidur." "Ini belum seberapa sama apa yang lo udah perbuat ke sohib gue. Gara-gara lo, sohib gue CACAT!" "Lo, udah buat idup sohib gue jadi berantakan sialan!" teriak Bara lagi di depan wajah Ardan. "Lo mau tau siapa yang selama ini diem-diem udah ganggu lo?" Bara menyeringai. Memandang puas wajah tidak berdaya Ardan. "Berapa kali gue berusaha nyelakain lo tapi sialnya lo nggak kenapa-napa." "Gue mau bikin lo kecelakaan waktu lo nyetir mobil, lo bisa ngehindar." Bara mengeluarkan sebatang nikotinnya. "Gue mau serempet lo sama temen lo pake motor. Lo juga bisa ngehindar," katanya sambil menghidupkan nikotin yang ada di bibirnya. "Gue nggak tau lagi lo punya ilmu apa bisa lolos dari gue. Tapi untuk kali ini gue cukup puas ngeliat lo, kalah karena gue." Bara menepuk keras pipi Ardan sambil tertawa. "Kalo lo cukup cerdas, harusnya lo bisa antisipasi ini dari gue yang ngancurin sepeda temen lo itu." Bara menghisap rokoknya dan mengembuskan asapnya ke udara. "Tapi sayangnya lo nggak cukup cerdas buat tau siapa pelaku yang udah berani-beraninya ngeganggu orang-orang terdekat lo." Setelah mengatakan itu semua, Bara beserta gerombolannya pergi meninggalkan Ardan yang tengah terbaring lemah. Di bawah penerangan lampu yang redup itu Ardan akhirnya tau siapa pelaku yang diam-diam sudah mengganggunya dan sialnya Ardan tidak menyadari itu. "ARDAN!" pekik Dinda ketika melihat kondisi Ardan saat ini. Ia buru-buru menghampiri laki-laki itu untuk melihat lebih dekat. "Lo masih bisa bangun? Atau perlu gue telponin bokap lo?" tanya Dinda khawatir. "Jangan, ribet kalo bokap tau bisa khawatir dia. Lo bawa gue ke rumah sakit bisa, 'kan?" Ardan berusaha bangkit, tetapi seluruh tulangnya terasa remuk. Cowok itu meringis, membuat Dinda sigap memegang bahu Ardan. Cewek itu mengangguk cepat lalu segera mengambil ponselnya untuk menelpon rumah sakit. Karena ia tidak mungkin dapat membawanya sendiri. Seusai menelpon Dinda kembali melihat laki-laki yang sedang meringis itu. "Lo nyelamatin gue. Gara-gara gue, maaf, Dan. Sekali lagi maafin gue," gumam Dinda di tengah isakan tangis cewe itu. *** "Ayo, makan sini, Nak." Kevin mengarahkan sendok berisi bubur itu kepada Ardan. "Ish, Vin, yang waras apa!" Ardan berdecak melihat tingkah konyol kawannya itu. Kevin mencebik kala Ardan merebut sendok dan mangkuk yang ada di tangannya. "Gue 'kan mau nyoba nyuapin lo, elah lo mah." "Ba--" "Cot. Iye, bacot gue tau. Kosa kata lo nggak ada yang laen apa," gerutu Kevin seraya mendudukan bokongnya kembali ke sofa. Ia membuang wajahnya ke televisi. "Kalo udah gue cuekin jangan caper loh, Mas." Ardan tak menghiraukan tingkah laku aneh temannya. Ia lebih memilih melahap habis makanannya. Suara dering ponsel terdengar, Ardan melirik Kevin yang tengah membuka benda pipih itu. Hanya ada dia dan Kevin saat ini. Rencananya mereka--teman-temannya Ardan--akan bergiliran menemani cowo itu. Tadinya mereka sepakat untuk bersama-sama nginap di rumah sakit. Namun, Ardan melarang, katanya, "Yang ada gue nggak sembuh-sembuh kalo lo pada di sini. Udah satu aja, dalam keadaan nggak sakit aja gue pusing kalo kalian nginep di rumah gue." Pada akhirnya mereka menyetujui permintaan laki-laki itu. Kini, waktunya Kevin yang menemani Ardan. Ardan melihat gelagat mencurigakan dari temannya itu. Ketika ia menangkap mata Kevin yang melirik padanya, Ardan langsung menanyakan apa yang terjadi. "Adel ngechat gue, katanya dia ke rumah lo, tapi nggak ada orang. Dia nanyain lo ada di mana." Ardan berdecak. "Kayak nggak biasa bohong aja sih, lo." "Terus, katanya dia ke rumah lo sama Dion." "Dion? Ngapain dia?" Kevin mengendikkan bahu. "Emang gue dukun." *** Setelah berhasil mengirimkan pesan itu, Adel mengembuskan napas lelah. Ia mengarahkan pandangannya pada Dion yang sedang menatap lurus rumah megah di depannya. "Kira-kira Ardan di mana, ya?" Dion hanya menggeleng tanpa menengok ke arah Adel. "Mau nunggu dia pulang?" Dion kini menatap Adel dengan tatapan yang tak dapat diartikan. "Segitunya?" Adel bungkam, tak tahu harus menjawab apa. Dion yang melihat reaksi cewe di depannya hanya dapat meringis dalam hati. "Gue bakal bantu lo, nggak usah tegang gitu kenapa, sih," kata Dion santai sambil menepuk-nepuk bahu Adel. Setelah itu ia memilih untuk duduk di jok motornya. Ini belum seberapa, sampai saat ini ia tetap akan selalu berpikir positif dia tidak akan menyerah begitu saja. Dari jarak ia berdiri saat ini, Dion dapat melihat raut khawatir itu. Sangat kentara bahwa cewe itu saat ini sedang gusar. Dion tertawa miris. "Beruntung banget sih lo, Dan." Karena tak ingin larut dalam kemirisannya saat ini, ia memutuskan untuk membuang pandangannya ke arah lain. Tepat ke arah itu, ia melihat seseorang sedang berdiri menghadapnya. Jarak yang tak terlalu jauh membuat Dion sangat yakin dengan apa yang ia lihat. Dia tidak salah lihat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN