Rambut Basah

1542 Kata
Gadis itu terbelalak. Rauna tidak akan mungkin membiarkan Arga menerima panggilan horor itu. Jangankan di kampus, saat di rumah saja ia tak sudi dipanggil istri. Rauna hanya meminta hubungan antara mahasiswa dengan dosennya selayaknya di kampus. “Jangan, Pak! Oke, saya mandi. Silakan bisa keluar dulu,” Rauna menggerutu ia terpaksa mematuhi perintah dosen killer yang memiliki gelar baru yaitu ‘suami’. Mulai sekarang, Arga memiliki taktik untuk melumpuhkan keegoisan gadis itu. Walaupun seorang master of ceremony papan atas, gadis itu masih sangat polos dan mudah terpengaruh dari orang lain. “Lama sekali mandinya? Sampai aku pun, haus menunggunya,” ucap Arga, kemudian ia segera pergi ke dapur. Sudah menjadi kebiasaan Arga, bangun pagi minum air putih hangat untuk investasi kesehatannya. Rauna yang berada di dalam kamar mandi pun bingung, ia lupa tidak memiliki baju ganti yang seharusnya di bawa ke dalam. Semalam hanya memakai baju yang sama saat disidak. “Kenapa aku bisa lupa begini? Gimana aku bisa keluar? Masa pakai baju itu lagi? Kan banyak bakteri, apalagi semalam dikerumuni banyak orang,” Rauna kesal tadi malam ia benar-benar kehilangan status single-nya. Tak ada persiapan sama sekali untuk tinggal di rumah Arga. Namun, sebelum ia masuk ke kamar mandi gadis itu melihat jubah Arga yang menggantung di samping. Rauna berpikir untuk sementara memakai jubah itu sebagai pengganti bajunya. Gadis itu membuka pintu toilet, ia tak sadar bahwa ada Arga yang sedang duduk. Arga memang tipikal pria yang patuh dengan adab minum air putih pun harus dalam keadaan duduk dan mendiamkan terlebih dahulu. “Kenapa kau tidak langsung pakai baju?” Arga memalingkan wajahnya saat gadis itu keluar hanya berbalut handuk setinggi d**a. Langkah gadis itu berhenti sejenak saat mendengar suara yang begitu ia kenali. Jantungnya berdegup lebih kencang saat kepalanya menunduk melihat handuk yang terbalut terlalu ke atas. Gadis itu seakan salah tingkah dan ketakutan hendak lari ke mana saat Arga sudah melihatnya dengan telanjang. Ekor mata gadis itu sedikit melirik. “Ngapain di situ? Mau ngintip saya ya!” tuduhnya. “Tidak! Jangan ngaco, kau!” tolak Arga. Lelaki itu masih melengos. Sampai saat ini, Arga belum terlalu menyukai tubuh Rauna. Ia hanya takut wudhunya menjadi batal saat terbawa nafsunya. Arga masih trauma dengan kejadian tadi malam saat Rauna memeluknya di atas ranjang tanpa ada jarak di antara keduanya membuat naluri kelakiannya tergugah, apalagi hanya memakai handuk setinggi d**a. “Saya hanya ingin meminjam jubahmu saja. S-saya tidak membawa baju ganti,” Rauna menjawab dengan keadaan tubuh yang sedikit menggigil. Udara di pagi hari membuat pori-porinya terbuka lebar dan sedikit gemetar. Kecuali, jika pagi hari ada yang menghangatkan badannya. Eh! “Kau tunggu sebentar, saya akan mengambilkan baju untukmu.” Lelaki itu segera kembali ke kamarnya. Di sana, ada beberapa baju gamis dan daster panjang milik ibunya saat berkunjung yang sengaja ditinggal. Gunanya agar saat ibunya berkunjung tidak terlalu membawa baju terlalu banyak. “Memangnya, dia punya baju wanita?” gumam Rauna yang sudah lama menunggunya. “Bukan punyaku ini punya ibu saya. Di lemari paling atas itu semua milik ibu saya. Kau bisa memakainya untuk sementara.” Arga memberikan baju gamis panjang kepada MC cantik yang sekarang menjadi istrinya. “Terima kasih.” “Sama-sama. Buruan saya tunggu di dalam. Jangan terlalu lama, saya belum membuat sarapan.” Baru pertama kali, Arga melihat Rauna mengenakan gamis berwarna mauve. Terlihat aura gadis itu sangat nyata, tegas, dan mempercantik seakan ber-cosplay menjadi gadis kalem. “Kenapa lihat saya seperti itu? Udah mulai naksir?” tanya Rauna dengan rasa percaya dirinya. Arga memalingkan wajah yang tadinya melihat Rauna tanpa berkedip. “Jangan ngaco! Masih pagi. Buruan mukenanya dipakai.” Setelah selesai mengerjakan kewajibannya sudah menjadi kebiasaan Arga membuat sarapan sendiri. Dosen muda itu memang patuh dengan investasi kesehatan untuk meminimalisir membeli makanan di luar yang belum mengetahui kebersihannya. Rauna yang tak tau diri bukannya bantuin malah asyik kembali ke kamar dengan santainya bermain handphone. Ia yang biasanya membuat insta stories i********: jika selesai show sampai lupa perkara banyak insiden semalam. Arga yang masuk ke kamarnya segera mengambil handphone itu dari genggaman tangan Rauna. Ia yang menempati rumah ini, tetapi seperti gadis itu yang menjadi majikannya dengan duduk santai di atas ranjang. “Buat sarapan! Bukan malah main handphone! Kau mau sarapan tidak?” Gadis itu mengerutkan dahinya. “Tidak usah, terima kasih! Saya bisa memesan makanan online.” Rauna kesal dengan Arga yang lancang mengambil handphone-nya berharap mood-nya kembali membaik pagi ini. “Tidak ada! indekos saya, tidak menerima pesan makanan online. Jadi, harus memasak setiap pagi,” tolak Arga. “Jadi, setiap hari Pak Arga masak?” Rauna melebarkan kedua bola matanya. Gadis itu terbelalak dengan aktivitas yang dilakukan Arga pada pagi hari. Rauna yang merasa perempuan saja anti banget yang namanya memasak di dapur. Arga mengangguk. “Iya, itu hanya pagi. Selebihnya, kau boleh memesan makanan online. Tapi, dibatasi kau harus lihat kebersihannya juga.” “Dih, ngatur-ngatur? Hai, Pak Arga itu cuma dosenku saja itu pun tidak ngajar di kelasku. Mau makan apa juga terserah aku dong. Lagi pula, saya tidak suka sarapan pagi. Yang ada bukannya kenyang malah diare,” sela Rauna tanpa melihat wajah Arga yang mulai terpancing emosi di pagi hari. “Itu lambungmu yang bermasalah cepat bantuin saya masak.” “Gak mau! Sini handphone saya, Pak Arga gak usah ngatur-ngatur saya!” Gadis itu beranjak untuk mengambil ponsel di tangan Arga. Arga mengangkat salah satu tangan yang memegang handphone ke atas agar gadis itu tidak bisa mencapainya. Ia sengaja mengangkatnya lebih tinggi lagi. “Pak, Arga! Kembalikan handphone saya. Pak Arga gak berhak ya mengatur hidup saya!” Rauna berusaha meraihnya, akan tetapi tinggi badan yang terpaut jauh membuat gadis itu kesusahan untuk menggapainya. “Oke, kalau kau gak mau bantuin masak. Hari ini, saya akan memanggilmu dengan sebutan istri.” “Pak Arga gak bisa ya ngancem saya begitu terus. Kita ini hanya sebatas mahasiswa dan dosen saja tidak lebih!” Rauna menjawabnya dengan ketus. “Sebenarnya yang punya rumah ini kau atau saya sih?” “Ini indekos yang disewakan kampus untuk dosen. Jadi, saya sebagai mahasiswa yang juga membayar uang semesteran ikut andil dalam menyewakan untuk Pak Arga. Jadi, Pak Arga gak usah kebanyakan aturan. Toh, untung dapat sewaan.” “Oke. Kalau kau turut ikut andil dalam membayar penyewaan ini. Saya mau telepon Pak Rektor un—” “Oke! Saya mau bantuin masak,” potong Rauna dengan mengerucutkan bibirnya yang terpaksa mengikuti aturan suaminya itu daripada dilaporkan ke Rektor. Sarapan pagi hari ini, Arga membuat telur dadar dan roti bakar. Rauna yang tidak bisa memasak, ia hanya membantu memotong daun bawangnya saja. Namun, Arga sangat kesal potongan yang dibuat Rauna jauh dari pemikirannya. Bahkan, satu daun bawang hanya dipotong perlima bagian saja. “Itu daun bawang buat telur dadar bukan buat kelinci!” Arga mengambil potongan daun bawang itu. “Lah, memang situ merasa kelinci ya? Ya memang sih sukanya ngutilin orang. Gak usah banyak protes. Sudah untung saya mau bantuin malah nyolot,” tangkis Rauna. “Bukan nyolot tapi kau yang salah." “Lah iya, mahasiswa itu selalu salah di mata dosen.” “Bukan begitu. Coba lihatin saya.” Arga memperagakan cara memotong daun bawang. Rauna pun menggeleng lalu melengos ke samping. “Ih, ogah banget lihat Pak Arga. Merasa tampan ya? Mau banget dilihatin sama MC cantik?” Jemari Rauna memainkan anak rambut yang tak peduli dengan keberadaan Arga. “Kau jangan ge’er. Saya hanya memotong daun bawang tugasmu hanya melihat caranya saja.” Arga memotong kecil-kecil selayaknya daun bawang untuk telur dadar. Rauna pun sedikit paham saat melihatnya dengan jeli ia pun mencoba mengikuti yang diajarkan oleh Arga. Setelah selesai masak, Rauna meninggalkan Arga begitu saja di dapur. Dengan cepat, Arga menariknya kembali sampai gadis itu tak sengaja memeluknya. “Eits mau ke mana? Sarapan dulu, kau mau kuliah juga, kan?” “Tidak usah, terima kasih. Saya sudah bilang tidak suka sarapan pagi. Apa Pak Arga tuli?” “Bisakah, kau sopan sedikit pada dosenmu ini? Kalau kau tak menurut padaku maka saya akan memanggilmu istri!” Arga mengancamnya kembali, agar gadis itu patuh dengan perintahnya. “Dosen macam apa sih! Selalu mengancam mahasiswanya terus!” Gadis itu masih belum sadar dalam keadaan berpelukan. "Kamu itu istri saya dan bukan mahasiswa saya!" Menikahi dosen lapuk apa begini? Dikekang, diberang, bahkan mungkin bisa ditendang. Matanya Rauna melihat tubuh yang masih dalam keadaan mendekap. “Pak Arga modus ya? Ini kenapa masih peluk saya?” Arga pun segera melepas pelukannya dengan cepat, hingga akhirnya gadis itu hampir terjatuh jika tidak mampu menyeimbangkan tubuhnya. Kemudian, Rauna pun mencuci bajunya sendiri secara kilat. Walaupun dia seorang MC papan atas mencuci pakai tangan sudah menjadi hal kebiasaannya saat di kampung. Lalu, ia segera menjemurnya di depan rumah Arga. Sebenarnya di belakang ada penjemuran baju. Namun, sayangnya Rauna ingin baju itu segera kering sebab sinar mataharinya begitu terik. “Wah, pengantin baru rambutnya sudah basah aja. Ngakunya sih enggak mau menikahi dosen. Nyatanya, pagi-pagi sudah keramas aja,” sindir tetangga yang menghadiri pernikahan Rauna tadi malam. “Iya nih, ternyata benar ya anak muda jaman sekarang. Gengsinya tinggi banget. Kalau sudah nyampur aja gak mau kecolongan waktunya,” balas temannya, ia pun tak kalah gemas untuk menyindir Rauna dengan rambut yang tergerai basah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN