Sambilan (Sembilan)

2125 Kata
Alvin kembali ke Jakarta seolah membawa beban seratus kilo di pundaknya, padahal bawaannya cuma sebuah tas ransel dan satu travel bag ukuran sedang milik Silvia. Itu pun tidak dipanggul cuma tinggal di tarik saja pegangannya. Tapi rasa-rasanya punggungnya seolah enggan beranjak setiap kali bisa disandarkan. "Kenapa bang?" tanya Silvia saat mereka baru saja tiba di rumah Alvin di Jakarta. "Capek, buruan buka pintunya, elah," jawab Alvin kesal, karena Silvia bukannya memutar anak kunci malah memerhatikan Alvin dengan tatapan aneh. Saat Alvin sudah berada di kamarnya, ponselnya bergetar sekali tanda sebuah pesan w******p masuk. Seperti biasa, Fandi mengajaknya untuk menikmati dunia gemerlap. Alvino Chakra: lagi taubat nasuha gue. abis lebaran gini lagi malas bikin dosa. Fandi Alam: Taik. Oleh-oleh mana? Alvino Chakra: ada, nih cabe kriting. Mau? Fandi Alam: iyyuuh, lo kate gue mau bikin sambalado. Alvino Chakra: dangdut abis. Dastan udah balik dari Jember? Fandi Alam: besok. masih belom puas kelon dia, mau balas dendam katanya. Alvino Chakra: Anjiiir. Tau banget lo nyet s*x life-nya sinyo. Fandi Alam: iya lah. Dia curhatnya ke gue kalo pas pengin tapi bininya jauh. Disuruh jajan, eh gue diceramahin abis-abisan, disuruh buruan taubat, maunya apa coba tuh. Alvino Chakra: anda sedang tidak terhubung ke jaringan internet, silakan coba kirimkan pesan anda lagi setelah internet terhubung kembali. Fandi Alam: bangke emang lu.... Alvino Chakra: lol... Setelah menghentikan chat absurd yang tidak akan ada habisnya itu, Alvin memilih mandi dan mengistirahatkan tubuhnya. Alvin melaksanakan solat isya sendiri karena adiknya sedang datang bulan. Putaran jarum jam di dinding kamarnya sudah sampai di angka sepuluh malam. Laju pikiran Alvin melayang mengingat kembali akan apa yang telah diucapkan pada perempuan itu di hari peresmian perjodohan mereka. Alvin masih tidak percaya pada dirinya sendiri telah mengucapkan serentetan kalimat itu dengan lancar, terlebih ditujukan kepada perempuan asing yang batang hidungnya saja ia tak tahu bentuknya. Padahal Alvin tidak pernah mengatakan rentetan kalimat panjang seperti itu, baik kepada Delisha yang sudah ia kenal selama belasan tahun, maupun kepada perempuan mana pun. *** Hari pertama masuk kerja setelah libur hari raya Idul Fitri adalah hari yang paling dikutuk oleh semua karyawan, baik swasta maupun negeri. Alvin sudah berada di kubikelnya sejak pukul tujuh pagi, karena dia harus mengantar Silvia pagi buta untuk meliput suasana jalanan ibukota di hari pertama pasca libur lebaran. Dastan dan Fandi berjalan beriringan, diselingi tawa yang entah membicarakan apa, Alvin tidak tahu. "Muka lo butek amat, Man, abis liburan gini," sapa Fandi seraya meninju lengan Alvin. Dastan menjabat tangan Alvin untuk saling memohon maaf di hari nan fitri ini. Sedangkan Fandi hanya memberikan ucapan selamat merayakan hari raya kepada Alvin dan Dastan, karena memang Fandi adalah satu-satunya yang non muslim dari mereka bertiga. Meskipun begitu, tetap ada yang namanya keselarasan dalam hubungan persahabatan berbeda agama dan karakter itu. Mereka tetap saling menghormati dan memberi dukungan satu sama lain. Maka dari itu hubungan persahabatan ini tetap terjalin selama bertahun-tahun lamanya. Jika pun berselisih paham, ketiganya bisa menyelesaikan secara dewasa dan mampu menghadapi tiap permasalahan dengan kepala dingin. "Nih oleh-oleh dari Jember." Dastan meletakkan paper bag berukuran cukup besar di atas meja kerja Alvin, kemudian berlalu meninggalkan Alvin dan Fandi menuju ruangannya sendiri. Fandi yang memang selalu gila oleh-oleh, langsung saja mengubek isi tas kertas itu. Isinya ada suwar-suwir, kripik singkong, proll tape, brownies tape, dodol tape, serta tape bakar beraneka rasa. Fandi mengambil sebuah kotak sedang proll tape rasa keju favoritnya, semenjak Dastan sedang melakukan pendekatan dengan cewek asal Jember yang sekarang sudah menjadi istri sahnya. Tidak perlu menunggu waktu lebih lama lagi, Fandi membuka tutup plastik mika kotak kue yang mengemas proll tape, memotong dengan asal menggunakan jari telunjuk dan ibu jarinya, kemudian memasukkan potongan proll ke dalam mulutnya sendiri. Alvin bergidik melihat kelakuan jorok sahabatnya. "Lo nggak mules pagi gini makan tape? Udah cuci tangan lo? Tambah mules tau rasa!" "Mules ya tinggal ke toilet Al, masa iya gue mau boker di meja lo?" "Jijik lo. Minggat sana!" Fandi tertawa terbahak, dia berhasil mengerjai Alvin yang memang paling mudah jijik dan sangat mencintai kebersihan. Fandi membawa serta paper bag yang dibawa Dastan tadi ke tengah ruangan untuk dibagi-bagikan isinya ke karyawan kantor yang lain. *** Menjelang siang Alvin menerima ajakan Cindy, manajer public relation untuk bertemu dengan calon pemegang saham, di sebuah restoran dekat Hotel Borobudur. Seharusnya ini tugas Dastan mendampingi Cindy, tapi karena Dastan sedang sibuk dengan laporan keuangan, juga ada pergantian manajer di divisi keuangan, maka Alvin menerima ajakan perempuan berwajah oriental itu. Yang membuat Cindy lebih memilih mengajak Alvin ketimbang Fandi ataupun manajer yang lain adalah, Alvin itu tidak terlalu genit seperti Fandi dan lainnya. Jadi Alvin kadang memang suka diajak teman-teman kantor perempuan kalau ada urusan di luar kantor seperti sekarang ini, jika Alvin sedang tidak sibuk juga tentunya. Dan lagi alasan Dastan mengutus Alvin mengganti tugasnya, karena Alvin tahu banyak tentang seluk beluk produk dan pabrik Natanegara Plywood. Siapa tahu nanti Cindy membutuhkan bantuan Alvin untuk negosiasi menjelaskan tentang produk dan seluk beluk pabrik. Alvin meminta Cindy menuju meja yang telah direservasi atas nama temannya itu, karena dia akan melaksanakan solat dhuhur terlebih dulu. "Gue solat dulu, tadi nggak sempet di kantor," ujarnya sambil berlalu setelah mendapat satu anggukan dari Cindy. "Ya udah, meja nomor sepuluh lantai dua ya. Gue tunggu di atas." "Oke." Setelah melepas sepatu, Alvin menggulung lengan kemeja dan celana bahannya, lalu dia melangkahkan kakinya dengan hati-hati dan sedikit berjinjit menuju tempat mengambil wudhu khusus pria. Alvin membasuh wajah dan anggota tubuh lainnya dengan menggunakan air yang mengalir dari kran. Sepuluh menit kemudian, Alvin menyelesaikan solatnya. Laki-laki itu kembali untuk mengenakan sepatunya dan merapikan kembali kemeja serta celananya. Saat keluar dari tempat solat, tubuhnya ditubruk oleh seseorang. Kepala orang yang ternyata seorang perempuan itu menyundul d**a bidang Alvin. Perempuan itu terlihat mengusap pelan keningnya sendiri. "Ma, maaf. Saya terburu-buru," ucap perempuan itu, seraya mendongakkan kepalanya. "Astaga! Lo hobi banget nyeruduk orang! Mata tuh dipakek makanya, coba kalau jalan jangan tergesa-gesa, kan enak nggak main sradak-sruduk." Alvin mengomel. Perempuan itu hanya menatap takut-takut pada Alvin. "Iya, kan saya sudah minta maaf. Lagian mas-nya ngapain sih, berdiri di tengah jalan gitu?" jawab perempuan itu beralibi. "Ck, orang kalau dari Mushalla itu abis ngapain coba? Pakek nanya. Satu lagi, gue bukan berdiri tapi lagi jalan, paham?" Alvin mengakhiri ucapannya dengan penekanan saat mengatakan kata 'paham'. Alvin tak berbicara lagi dia memilih berlalu meninggalkan perempuan yang menubruknya lagi, lagi dan lagi. Entah kenapa ia selalu kesal dengan perempuan satu ini yang sama sekali tidak Alvin kenal. Setelah insiden teh panas, beberapa bulan setelahnya, Alvin memang kembali dipertemukan dengan perempuan yang sama dan kejadian serupa. Bedanya di insiden kedua, si perempuan waktu itu membawa tumpukan kertas dan kertas yang dibawanya berhamburan di lantai saat perempuan itu melangkah dengan sembrono dan menubruk tubuh Alvin. Waktu itu Alvin sedang menghabiskan waktunya dengan Delisha di sebuah mall yang cukup jauh dari tempat tinggal Delisha. Alvin sedang terburu-buru karena film yang ingin Delisha tonton sudah akan mulai diputar. Saat Alvin berusaha mengejar Delisha, saat itu juga langkahnya terhalang karena membantu perempuan yang menubruknya membereskan kertas-kertas yang berhamburan di lantai. Herannya, Alvin bisa mengingat kejadian itu, padahal Alvin tergolong lalai jika menyangkut soal mengingat sesuatu hal. *** Alvin sudah berada di samping kursi Cindy dan mendengus kesal. "Napa lo? Habis solat biasanya seger tuh muka, ini kenapa cem kertas bekas," tanya Cindy saat melihat Alvin duduk dengan sedikit mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Alvin menggeleng dan malas menceritakan perihal tadi pada Cindy. Ditambah lagi orang yang diundang mereka ke restoran ini sudah berdiri di hadapan Cindy dan Alvin. Saat perbincangan berlangsung, Alvin tiba-tiba memikirkan mata teduh perempuan sembrono tadi. Di tengah gemerlap ibu kota, dia bisa menemukan perempuan sibuk yang meluangkan waktunya untuk ibadah. Alvin seperti menemukan oase di tengah gurun pasir rasanya, adem banget, begitu yang disuarakan oleh hati kecil Alvin saat ini. Alvin sempat menilai penampilan perempuan tadi, yang terlihat sangat rapi dan formal. Tidak terlihat seperti perempuan yang sedang menghabiskan waktu untuk sekadar jalan-jalan. Alvin juga begitu yakin perempuan berjilbab tadi sedang ada pekerjaan juga di mall ini. Jangan salah, meski terkesan acuh pada perempuan, Alvin juga sering menilai seorang perempuan dari penampilannya. Biasanya yang pertama Alvin lakukan saat menilai perempuan dengan menatap dari ujung kaki hingga paha perempuan itu lebih dulu, baru kemudian beralih ke wajah. Alvin suka melihat kaki jenjang dengan betis dan paha yang tidak terlalu berisi. Baginya, seorang perempuan harus memiliki ciri fisik seperti itu, baru layak dijadikan partner ONS. Namun Alvin juga mempunyai kriteria khusus untuk tipe perempuan yang ingin dia jadikan istri, bukan yang melulu untuk sebagai pemuas nafsu di ranjang. Dan atas dasar apa, perempuan tadi bisa begitu saja masuk ke daftar kriteria istri yang diinginkan oleh Alvin. Tanpa sadar Alvin tertawa kecil di dalam hatinya. Karena dia baru 'ngeh' kalau tadi tidak berani melihat perempuan itu dari ujung kaki seperti kebiasaannya, Alvin hanya berani melihat perempuan itu sampai di matanya saja. Tidak nekat memandang lebih dari itu. Matanya beberapa kali bertemu tatap dengan perempuan yang ia temui di Mushalla tadi. Sebenarnya Alvin sangat ingin menghampiri perempuan itu, tapi nyalinya menciut seketika. Dia menganggap perempuan yang ia pandangi saat ini berbeda dari perempuan yang pernah ia temui. Istimewa, begitu kata kecil Alvin. Hal itu jugalah yang membuat Alvin tidak berani asal berkenalan. Laki-laki itu menghela napas beratnya sekali lagi. Dia juga sebenarnya ingin berkenalan dengan perempuan itu. Andai saja pertemuan mereka diawali dengan cara baik-baik, Alvin tentu tidak akan bersikap sinis padanya. Namun buat apa juga Alvin menyesali itu, dia tidak boleh lagi nekat lirik-lirik perempuan mana pun. Hati kecilnya terus memberi alarm peringatan. Karena mau tidak mau dia akan menikah dengan perempuan yang dua bulan lagi akan menjadi tunangannya. Belum apa-apa Alvin sudah mulai merasa terikat oleh perjodohan itu. *** Meidina mengakhiri solat dhuhur yang baru sempat ia kerjakan di pukul dua siang. Terang saja dia terburu-buru tadi saat mengambil wudhu, sampai langkahnya yang sembrono menubruk seseorang yang sama dengan yang pernah ditubruknya entah beberapa bulan yang lalu, Meidina hampir lupa. Kalau Mitha tahu, dia pasti diledek habis-habisan sama anak kecil itu. Namun ini juga gara-gara Mitha minta jatah tambahan libur lebaran, jadinya schedule Meidina berantakan. Meidina mengira hari ini tidak ada pertemuan penting dengan pihak mana pun, tapi ternyata pihak sponsor yang akan membiayai peragaan busananya di Bandung bulan depan, meneleponnya pagi-pagi untuk mengingatkan pertemuan mereka siang ini. Materi presentasi belum disiapkan sama sekali, jadilah Meidina mengurusnya secara marathon sejak pagi hingga siang, sampai ia lalai untuk melaksanakan solat dhuha dan sekarang hampir kehabisan waktu solat Dhuhur. "Ni Mei, cowok cakep itu kayaknya ngeliatin uni mulu deh," ujar Safirah, salah satu karyawan kepercayaan Meidina di butik, setelah Mitha. "Yang mana? Bapak-bapak gitu, buat kamu saja," ujar Meidina sambil tersenyum geli. "Ck, itu loh Ni, yang pakek kemeja biru langit, yang nggak pakek jas dan dasi. Deket cewek bohai yang lagi ngobrol sama bos-bos itu. Cakep ya, jadi pengin elus-elus rahangnya dan nyium bibir tipisnya," tunjuk Safira dengan mengedikkan ujung dagunya. Astaga, Safirah menjelaskan sedetailnya. Dia tidak tahu saja, padahal sebenarnya Meidina tahu betul siapa yang dimaksud cowok cakep oleh Safirah. Pandangan keduanya sempat berserobok tadi saat di Mushalla, juga saat Meidina mendudukkan bokongnya di kursi sofa yang berseberangan dengan tempat cowok itu sedang mengadakan pertemuan dengan rekan bisnisnya. Posisi duduk laki-laki itu menghadap sekian puluh derajat dari tempat Meidina duduk. Meidina menundukkan kepala saat matanya kembali bertatap dengan laki-laki yang dimaksud oleh Safirah. Jantungnya berdenyut sedetik kemudian, seperti dicubit tapi tidak terasa sakit. Namun Meidina segera melafalkan ucapan istigfar berkali-kali di dalam hatinya, karena sudah melepas pandangannya pada laki-laki lain yang bukan muhrimnya. Ditambah lagi saat ini ia sudah menerima pinangan dari laki-laki lain, yang acara pertunangannya akan diadakan dua bulan lagi. "Hush! Istigfar yang banyak! Cepat beresin ini berkas-berkasnya!" ujar Meidina sambil meletakkan dokumen perjanjian dengan pihak sponsor di pangkuan Safirah. "Ya Allah, Ni, dia ketawa. Jadi pengin digigiti sama giginya yang putih dan rapi itu deh. Dia ngeliat ke sini lagi, ni. Melting gue lihat senyum begini manis." Meidina mengabaikan perkataan Safirah yang masih setia menatap laki-laki tadi dengan tatapan 'lapar' khas gadis 20 tahun, ketika melihat laki-laki tampan. Dia memutuskan untuk segera pergi saja dari tempatnya berada saat ini, untuk menghindari dosa lebih banyak karena perasaan Meidina mengatakan, ia telah mengkhianati calon tunangannya meskipun itu hanya sebatas pandangan. Salah Meidina juga sebetulnya yang memandang laki-laki itu dengan mata hati. Kalau Safirah kan tidak, dia hanya memandang melalui retinanya, lalu menyampaikan kepada otak dan meluncur begitu saja melalui mulut sesuai perintah otaknya. Berbeda dengan Meidina yang melakukan pandangan itu memakai perasaannya. Pernah dengar pepatah lama 'Dari mata turun ke hati'. Nah, pepatah itu sepertinya cocok mewakili perasaan meidina saat ini *Maminang= meminang/melamar *Apa Sarah? Uni terkejut *Calon pengantin pria nya sudah datang. Aduh ibu, tampan betul, Ni, mirip artis, badannya tinggi tegap, hidungnya mancung, halisnya tebal dan hitam, rahangnya kokoh, kulitnya sawo matang, tatapannya tajam. Cowok banget kata anak muda zaman sekarang *Petatat-petitih= petuah-petuah lama ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN