Meidina yakin bahwa lebaran tahun ini akan menjadi lebaran paling tidak menyenangkan sepanjang hidupnya. Karena hal itulah, membuatnya gelisah sepanjang dua malam ini. Sejak semalam, di rumah orang tuanya ramai orang memasak untuk persiapan acara makan besar. Kali ini lebih dari biasanya karena di hari pertama lebaran besok, keluarga pemuda yang hendak dijodohkan dengannya akan datang berkunjung ke rumah ini. Akan diadakan acara maresek. Acara penjajakan yang acap kali dilakukan sebagai langkah awal sebelum pernikahan digelar. Meski ini bukan yang pertama kalinya ia menjalani serangkaian acara ini, tetap saja ia merasa gelisah.
Bukan acara maresek itu yang membuat Meidina gelisah, tetapi ada hal lain yang membuat jantungnya bisa berdebar tidak seperti biasanya. Pemuda itu akan ikut hadir bersama keluarganya dan laki-laki itu akan bertanya langsung pada Meidina, apakah dia bersedia menjadi istri dari pemuda itu atau tidak? Apa itu artinya Meidina akan bertemu dengan sosok laki-laki yang sering ia gambarkan sosoknya selama beberapa bulan ini? Entah lah, perempuan itu tidak berani berangan terlalu tinggi. Dia juga tidak begitu berharap banyak terhadap perjodohan itu.
Belum-belum Meidina seolah merasa dirinya sedang dipermainkan oleh pemuda yang tidak ia kenal sama sekali itu, ketika mengingat pemuda itu kembali mengajukan kembali syarat yang tak biasa. Kata abak-nya, itu merupakan syarat lain pemuda tersebut karena memang pemuda itu juga berhak bertanya dan mengetahui jawaban langsung dari mulut calon mempelai wanitanya. Meidina ingin sekali protes, karena hal seperti itu tidak ada dalam sebuah acara perjodohan yang selama ini ia pernah tahu. Yang namanya perjodohan ya keluarga lah yang akan menentukan tanpa memedulikan kedua insan yang dijodohkan itu mau atau tidak, setuju kah atau malah merasa keberatan. Toh, perjodohan tetap akan berlangsung, pernikahan tetap akan terjadi apa pun keputusannya.
Memang perjodohan yang ia alami ini sangatlah berbeda. Karena sejak awal pemuda itu peduli terhadap keputusan Meidina. Pemuda itu ingin mendengar sendiri keputusan Meidina. Bahkan jika Meidina menolak pun, pemuda itu tidak akan tersinggung apalagi marah, dia akan menghormati sepenuhnya keputusan Meidina. Begitu kata abak-nya saat mencoba meredam emosi anak perempuan satu-satunya.
Ya Tuhan, seperti apa sebenarnya pemuda itu? Di sisi lain, Meidina senang karena pemuda itu peduli pada keputusannya, tetapi dia juga sedikit kesal karena merasa dipermainkan. Mengingat syarat-syarat aneh yang pernah diajukan oleh pemuda yang ia tahu usianya lebih muda darinya sekitar kurang dari dua tahun. Sejak mengetahui akan acara besok, Meidina sudah melakukan sholat istikharoh untuk meminta petunjuk, keputusan apa yang akan ia ambil di hari maresek besok.
Pintu kamarnya diketuk pelan malam ini, ternyata mandeh-nya yang masuk setelah mendapat izin Meidina tentunya.
"Amak kok alun lalok? Hari lah hampir subuh," tanya Meidina sopan seraya melipat mukenahnya lalu ditumpuk jadi satu dengan sajadah dan diletakkan kembali ke dalam almari pakaiannya.
"Baru bangun, nak. Mei yang nampaknya alun lalok sama sekali. Tengok muka Mei di cermin, sambap bakeh manangih."
Meidina merebahkan tubuhnya di tempat tidur, menjadikan paha mandeh-nya sebagai bantal untuk kepalanya. Zakiya membelai rambut hitam dan panjang anaknya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
"Apa Mei masih gelisah karena acara besok?"
"Iya Mak, Mei masih tidak tahu mesti jawab apa jika pemuda itu besok bertanya soal kesediaan Mei menikah dengannya."
Zakiya tersenyum mendengar jawaban puterinya.
"Di kampungnya maupun di kampung ini kan banyak anak gadis yang mempunyai segalanya lebih dari Mei, tapi kenapa Mei yang dijodohkan dengan dia?" tanya Meidina dengan suara lirih, mewakili suara yang sedang diserukan oleh hati dan pikirannya.
"Dia pemuda yang baik, sopan dan ramah. Amak kenal baik dengan mendiang mandeh-nya, abak akrab betul dengan mamak-nya, Uda Rahman. Dia juga berpendidikan, berakhlak dan mempunyai pekerjaan. Apalagi yang Mei ragukan? Kami tidak akan memilihkan yang asal-asalan untuk Mei."
Meidina tidak menyahut. Zakiya kembali melanjutkan menceritakan seperti apa sosok pemuda yang akan menjadi calon suaminya itu.
"Dia yatim piatu, punya adik perempuan yang selalu ia jaga. Kalau dia saja bisa menjaga adik perempuannya dengan baik, maka besar kemungkinan ia akan menjaga istrinya dengan jauh lebih baik lagi."
Zakiya mencecar Meidina dengan serentetan kalimat yang bisa mengenai tepat di hati Meidina. Namun bukan Meidina namanya jika bisa terpatahkan begitu saja.
"Tapi Mei tidak kenal sama dia Mak, Mei tidak tahu isi hatinya, bisa saja dia nampak baik di hadapan semua orang, tapi akan bersikap buruk sama Mei nantinya."
"Isi hati orang tidak ada yang tahu, selain Tuhan dan manusia-nya itu sendiri, Mei!"
Zakiya tetap sabar menghadapi bantahan yang diucapkan oleh puteri semata wayangnya ini. Sudah menjadi tugasnya sebagai mandeh dari perempuan yang akan dijodohkan untuk memastikan bahwa keputusan keluarga telah memilihkan pemuda itu sebagai pendamping hidupnya adalah yang paling tepat.
"Keputusan terakhir ada di tangan Mei, tapi kita keluarga besar percaya kalau ini adalah yang terbaik. Kalau Mei masih ragu cobalah Istikharah, temukan jawabannya. Biarkan Allah yang menuntun Mei menemukan jawabnya."
Mei kembali bertanya, bagaimana dengan perasaan cinta, apa cinta bisa dipaksakan? Apa cinta bisa tumbuh kemudian? Dan Zakiya menjawabnya dengan bijak.
"Semuanya dimulai dari kata percaya. Asal kita percaya dan mampu menjalaninya, cinta itu akan tumbuh. Semuanya dimulai dengan keyakinan. Yakin bahwa ini yang terbaik, yakin bahwa kita mampu, dan asal semua tetap berjalan di koridor yang benar, percayalah perjodohan bukanlah hal yang buruk, nak."
Lalu Meidina kembali bertanya. Kalau kemudian cinta itu tidak tumbuh bagaimana, kalau ternyata proses perkenalan yang seumur jagung itu ternyata tidak punya dampak apa-apa bagaimana? Kalau ternyata salah satu dari mereka jatuh cinta lagi bagaimana? Meidina terus bertanya layaknya wartawan.
Dan lagi lagi Zakiya bisa menjawab.
"Mungkin cinta itu tidak tumbuh, tapi ketika sudah ada anak, rasa sayang itu akan hadir dengan sendirinya. Rasa di mana kita ingin menjadi yang terbaik. Kalau ternyata pasangan kita di luar harapan, maka anggaplah itu ujian dan tantangan.
"Ujian agar kita selalu bersabar, dan tantangan untuk membuatnya menjadi lebih baik lagi. Dan jika suatu hari nanti salah satu di antara kalian ada yang jatuh cinta lagi kepada orang lain, maka bukan cintanya yang salah, kalian lah yang salah. Percaya pada satu doktrin yang selalu ditanamkan para tetua-tetua kita, rumput tetangga hanya fatamorgana, rumput di halaman sendiri tetap lebih baik."
Meidina terdiam, meresapi setiap kalimat bijak yang meluncur dari mulut mandeh-nya.
"Kelak ketika kamu sudah semakin tua dan semakin matang, cinta bukan lagi hal terpenting dalam hidup. Ada banyak hal yang lebih penting dan percayalah cinta itu bisa dipaksakan. Ketika kalian melakukan segala sesuatunya dalam ketulusan, cinta itu akan muncul dengan sendirinya."
Memang setiap manusia mempunyai pemahaman yang berbeda-beda tentang perjodohan dan jujur Meidina salut dengan semua ini. Dan kadang ini yang lagi-lagi membuat perempuan itu percaya bahwa hidup adalah misteri.
Selalu ada rahasia, di balik rahasia. Bisik hati kecil Meidina.
"Ada banyak kisah perjodohan dan pernikahan yang lebih heboh dari yang Mei alami saat ini dan setelah mereka menikah, keluarga mereka baik-baik saja."
Begitu ucapan terakhir Zakiya sebelum memilih meninggalkan Meidina, karena harus bersiap untuk solat subuh berjamaah dengan suaminya. Meidina tidak ikut bergabung, karena saat ini dia masih enggan beranjak dari kamarnya.
Di sujud pertama pagi ini, Meidina tak hentinya memohon petunjuk. Air mata mulai merembes, berusaha menerjang keluar dari ujung matanya. Sebuah tangan putih menadah setiap butiran air mata yang menetes di rahang Meidina.
"Aa nggak akan biarkan satu orang pun membuat Mei meneteskan bulir bening ini. Siapa pun dia, dia yang akan menggantikan tugas Aa untuk menjaga agar air mata Mei nggak tumpah seperti tetesan air hujan sore hari. Dia yang akan Mei sambut di pintu saat malam hari dan akan Mei lepas dengan senyuman di pagi hari. Dia yang akan menjadi imam Mei dan anak-anak Mei kelak. Bahkan dia akan menjadi mamak terbaik bagi kemenakan-kemenakan-nya. Dia yang akan menjadi urang sumando yang selalu diidamkan oleh keluarga Mei sejak dulu. Percaya sama Aa."
Meidina semakin terisak mendengar suara itu, awalnya Meidina pikir itu suara di dalam kepalanya. Hingga membuat kepalanya terangkat. Dilihatnya laki-laki tampan berkulit putih bersih dan bercahaya seperti cahaya rembulan sudah duduk bersila di hadapannya.
"A Fero?" cicit Meidina menyebut nama mendiang suaminya.
Laki-laki di hadapannya berdiri dan tersenyum pada Meidina, lalu melangkah menuju jendela kamar. Saat Meidina beranjak dari duduknya yang bersimpuh sedari tadi, laki-laki itu membuka kedua daun jendela rumah yang tingginya sebatas pinggang orang dewasa. Laki-laki itu kemudian menghilang begitu saja saat langkah Meidina sudah dekat.
Meidina hanya melihat guratan oranye dan hitam sedang saling berebut untuk mempertontonkan kekuatannya. Seolah berebut tempat dan menjadi siapa yang layak tampil mendampingi pagi. Suasana pagi semakin syahdu diiringi suara takbir kemenangan yang mulai bersahutan di penjuru kampung.
----
*Uang penjemputan=sejumlah uang yang diberikan pihak mempelai perempuan kepada pihak laki-laki, sebagai ketersediaannya untuk masuk ke dalam rumah mempelai perempuan.
*Apa sekarang posisi kamu di perusahaan itu?
*Maresek=ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan tujuanya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama.
*Ibu kok belum tidur? Sekarang sudah mau subuh
*Sembap bekas menangis
*Urang sumando=sebutan untuk menantu laki-laki yang juga berarti tamu kehormatan di rumah gadang.
~~~
^vee^