Limo (Lima)

2018 Kata
Perjodohan: Dilema adat yang mengekang hati. ~~~~~ Di sisi lain Alvin sama sekali tidak keberatan apalagi marah, acara pertemuannya dengan perempuan yang hendak dijodohkan dengannya itu telah dibatalkan secara sepihak. Itu artinya dia tidak perlu repot-repot mencari alasan untuk menghindar dari pertemuan yang sempat membuat perutnya melilit semalaman. Sayang sekali, biar sampai kapan pun dan bagaimanapun dia menghindar, perjodohan akan tetap berlangsung. Tak ayal masalah ini kembali membuat Alvin terlihat sering muring-muring tanpa alasan. Ditambah lagi teror dari Nurahman yang acap kali menyinggung perihal apakah Alvin sudah menemukan perempuan yang hendak dijodohkan dengannya itu. "Kenapa lo? Butek amat tuh muka kayak selokan?" tanya Fandi saat keduanya berada di sebuah kelab malam di kawasan Thamrin. Alvin jika sudah suntuk selalu begini, melampiaskannya di dunia gemerlap seperti kelab ini. Ingar bingar musik DJ dan minuman berbau alkohol bisa membuatnya sejenak melupakan permasalahan yang ada. Biasanya Fandi dan Dastan akan setia menemaninya. Namun malam ini, Dastan absen tidak ikut bersenang-senang ala mereka bertiga. Bahkan temannya yang satu itu memang sudah sangat jarang bergabung di tempat seperti ini. Semenjak mengenal 'bidadari tak bersayap', sebutan dari Fandi dan Alvin untuk calon istri sahabatnya itu. "Bosen gue gini mulu hidup," ujar Alvin setelah meneguk vodka di hadapannya "Ganti gaya Al, kalau bosen." Alvin menoyor kepala Fandi atas jawaban ngasal sahabatnya itu. Dipikir sedang have s*x, orang bosan disuruhnya ganti gaya, jelaslah Alvin makin gedeg sama Fandi. "Enak ya, Dastan sudah menemukan jalan kembali pulang. Nggak kayak kita yang jalannya tersesat terus," ujar Alvin lagi, dengan tatapan kosong. Sepertinya Alvin tengah berada diambang batas kadar alkohol yang bisa diterima oleh tubuhnya. "Iya, tersesatnya tapi bikin enak nggak apa-apa lah," jawab Fandi ngasal lagi. Dan jawabannya itu membuat Alvin mendengkus kesal kali ini. "Gue cabut dulu ya." Alvin beranjak dari duduknya lalu mulai melangkah dengan sedikit sempoyongan. "Lah buru-buru amat, Man?" "Buru-buru pale lo, udah jam tiga pagi ini, nyet!" Fandi tidak lagi menjawab Alvin, karena seorang perempuan berambut cokelat gelap sebahu sudah menariknya ke dance flor. Bila sudah diambang teler seperti ini, Alvin tidak akan pulang ke rumahnya. Beruntung tadi dia memutuskan untuk menggunakan mobil sendiri ke kelab. Malam ini, Alvin memutuskan untuk tidur di dalam mobil, agar Silvia tidak melihat abangnya pulang dalam kondisi setengah teler. Alvin menepikan mobil di pinggir jalan tidak terlalu jauh dari kompleks perumahannya. Setelah merendahkan jok mobil, Alvin merebahkan tubuhnya lalu terlelap begitu saja. *** Bulan sudah berganti, bahkan tahun juga telah berganti baru, tapi Alvin masih saja stuck di satu tempat. Pikirannya berputar di satu poros, apalagi kalau bukan perjodohan yang mulai mengusik kehidupannya yang selama ini baik-baik saja. Mungkin juga ada benarnya yang dikatakan Silvia hari itu, bahwa sebenarnya ia cuma pengecut bahkan bisa dikatakan seorang pecundang, yang bisanya lari tunggang langgang menghadapi hal sesepele perjodohan. Belum lagi menghadapi pernikahan yang sebenarnya. Alvin sebenarnya memang sudah berniat hendak mencari perempuan itu, tapi ia benar-benar lupa siapa nama perempuan itu. Sedangkan untuk bertanya pada Nurahman rasanya ia sudah tak punya muka lagi. Nurahman pasti akan menggantungnya di jam gadang, jika ketahuan kalau selama ini Alvin tidak pernah berusaha mencari perempuan itu seperti syarat yang ia ajukan sendiri saat awal perjodohan. Delisha: kak, temenin ya ke butik langganan bunda. Mau pesan baju buat dresscode acara kak Dastan bulan depan. Tiada angin tiada hujan, Delisha pagi ini mengirimi pesan w******p padanya. Delisha akhir-akhir ini mulai tak ada lagi waktu untuknya. Gadis itu tengah disibukkan dengan urusan penyusunan skripsi dan serangkaian riset ilmiah yang Alvin tak mengerti soal riset itu. Bukan pakem ilmu yang Alvin geluti selama ini. Alvin kesal karena setelah sekian lama akhirnya gadis itu kembali membutuhkannya. Ada perasaan enggan baginya untuk menolak permintaan Delisha. Padahal ia sangat ingin mengatakan tidak bukan karena tak ingin atau tidak bisa, tapi lebih kepada hanya ingin menjaga jarak dengan Delisha. Alvino Chakra: iya, dijemput di tempat biasa ya... Lama Alvin bergelut dengan batinnya. Justru jawaban itu yang ia kirim. Rasa ingin bertemu dengan gadis itu, mengalahkan rasa inginnya untuk menjaga jarak. Akhirnya Alvin segera bersiap untuk menemui Delisha. "Mau ke mana, Bang?" tanya Silvia yang melihat abangnya sudah rapi di Minggu pagi seperti ini. Tidak seperti biasanya, Alvin yang selalu menghabiskan waktu hari Minggu-nya hanya di rumah saja, kalau tidak nonton TV ya tidur sepuasnya. Pagi ini Alvin mengenakan pakaian casual saja. Kaus oblong polos warna biru langit, jaket kulit hitam dan celana jeans panjang warna denim. Rambut undercut-nya dibiarkan sedikit acak-acak dengan bantuan gel, rahangnya tampak makin kokoh dengan bekas cukur di sekitar tempat tumbuh jambangnya. "Keluar sama Delisha, dia minta tolong diantar ke butik langganan Bundanya," jawab Alvin, lalu melangkah menuju garasi melalui pintu dapur. Tak lama terdengar suara deru mobil mulai dipanaskan. "Masih aja abang direpotin sama anak manja itu," jawab Silvia ketus. Gadis itu membukakan pintu pagar rumah untuk abangnya yang akan keluar, karena kebetulan Silvia baru datang dari minimarket di ujung jalan, masih di area kompleks perumahan. "Abang yang mau. Udah jangan judes-judes sama dia, bisa jadi nanti dia yang jadi kakak ipar kamu!" ucap Alvin sekenanya. Silvia mencibir. Alvin malah tertawa meledek. "Jaga rumah ya. Assalamualaikum," ucap Alvin dengan wajah semringah. "Emangnya abang udah alih profesi jadi supir uber? Jarang dapat kabar, sekalinya ngabarin minta dianter ke suatu tempat," ucap Silvia sarkas. "Mau sampai kapan abang dijadiin pengawal sama dia? Sama Via aja abang nggak sampai segitunya." Bukannya menjawab salam Alvin, Silvia malah terus saja bicara dengan nada sarkas. Membuat Alvin terganggu lalu menghentikan aktivitas melajukan mobilnya. "Kamu ngomong apa tadi?" Alvin keluar dari mobil, dan kini sudah berada di depan Silvia. "Via kasihan aja sama abang, direpotin terus sama Delisha. Udah saatnya dia mengerjakan segala sesuatunya sendiri, tanpa ngerepotin Abang pastinya," jawab Silvia dengan suara bergetar karena ketakutan mendapat tatapan tajam dari Alvin. "Dia nggak pernah ngerepotin Abang. Kamu kenapa jadi protes? Bukannya kamu yang nggak mau tiap kali abang tawarkan bantuan? Jawaban kamu selalu Via bisa sendiri, Via pengin mandiri, gitu kan. Ya udah jangan salahin Delisha karena dia lebih membutuhkan abang daripada kamu yang adek abang sendiri." "Via bukannya nggak butuh bang Vino, Via cuma nggak mau ngerepotin abang." Silvia semakin menundukkan kepalanya karena ketakutan mendengar nada bicara Alvin yang begitu dingin kepadanya. "Ngerepotin kamu bilang? Nggak ada ceritanya abang kandung merasa direpotkan oleh adik kandungnya sendiri, Via." Alvin tertawa sumbang di akhir ucapannya. "Asal Via tau ya. Laki-laki itu akan merasa menjadi lebih gentle ketika dirinya masih dibutuhkan oleh orang lain, apalagi oleh perempuan yang paling dekat dengannya. Nggak selamanya juga cowok itu menyukai cewek yang terlalu mandiri," ujar Alvin seraya mengacak puncak kepala adiknya. Sekali lagi Alvin mengucap salam sebelum mulai melajukan Rush Silver-nya. *** Ada kecanggungan selama perjalanan menuju butik yang akan dituju oleh Alvin dan Delisha. Suara hanya terdengar saat Delisha memberikan alamat serta menunjukkan arah kepada Alvin. Selebihnya hanya suara audio mobil yang mengisi sisa perjalanan mereka. Sudah lebih tiga bulan keduanya tak bertemu setelah pertemuan terakhir mereka yang berakhir Delisha mengatakan Alvin tidak peka, hanya karena Alvin menjawab pertanyaan Delisha soal pentingnya komitmen bagi Alvin dengan jawaban asal. Delisha tersinggung dan enggan berkomunikasi dengan Alvin. Perempuan dan segala sifat sensitifnya, hal itu yang paling dihindari oleh Alvin mengapa sampai di usianya yang sudah berkepala tiga itu enggan menjalin komitmen apa pun dengan perempuan. Alvin memutuskan tidak ikut masuk ke butik. Laki-laki jangkung itu menyandarkan tubuhnya di samping pintu mobil. Lalu mulai menghisap rokok yang telah terapit di antara ujung jari telunjuk dan jari tengahnya. Matanya tiba-tiba tertuju pada papan nama butik yang cukup besar dan menarik perhatiannya. "Az Zahra Boutique," desis Alvin pelan menyebut nama butik yang dimasuki Delisha beberapa saat yang lalu. Ada gelenyar aneh di dalam hatinya, jantungnya sedikit berdenyut kala menyebut nama butik itu. Rasanya ia seperti tidak asing dengan nama itu. Entah nama butiknya yang sama, atau ia memang pernah mendengar nama seseorang yang namanya sama dengan nama butik itu? Alvin tak mau ambil pusing, ia sedang tak ingin memenuhi pikirannya dengan hal yang memang susah untuk ia lakukan. Alvin memang terbilang payah dalam mengingat nama seseorang. Pikirnya, untuk apa mengingat nama orang yang menurutnya tidak penting. Itulah penyebab Alvin malas berteman dengan orang-orang baru. Oleh sebab itu sampai di usianya yang sudah berkepala tiga ini, temannya dari dulu ya hanya dua orang, perempuan yang ia kenal baik juga hanya Delisha dan Silvia. Selebihnya hanya angin lalu, datang dan pergi begitu saja. "Eh ada mas ganteng. Ngapain Mas?" Gadis bertubuh mungil dengan potongan rambut bob itu tiba-tiba sudah ada di hadapan Alvin seraya tersenyum tiga jari. "Eh, siapa ya?" tanya Alvin santai, seraya membuang puntung rokok yang tinggal busanya itu, lalu menekan puntung rokok yang telah tergeletak di tanah dengan ujung sepatunya. "Lupa ya? Hmm... orang ganteng mah bebas ye lupa sama orang. Gue Mitha. Asistennya orang yang sempat nubruk mas di hotel waktu itu. Insiden teh panas." Mitha mencoba mengingatkan Alvin akan kejadian beberapa bulan yang lalu tahun kemarin, yang ia sendiri saja sudah melupakan kejadian itu sejak lama. "Yang ngasih Mas duit dua ratus ribu buat ganti rugi," ujar Mitha tetap berusaha mengingatkan Alvin. Tiba-tiba Alvin tertawa, membuat matanya agak menyipit dan menampakkan deretan giginya yang besar dan rapi. "Iya inget. Kenapa? Lo mau minta balik duitnya? Udah habis, gue masukin kotak amal masjid pas solat Jumat," kelakar Alvin. Mitha tertawa. "Gue Mitha," ujar Mitha sekali lagi seraya menyodorkan tangannya. "Al," jawab Alvin. Keduanya terlibat obrolan singkat. Tak lama Delisha sudah ada di antara Alvin dan Mitha "Ck, udah jauh-jauh ke sini, eh desainernya lagi nggak ada kata karyawanya," gerutu Delisha dengan wajah sedikit ditekuk. Alvin cuek saja menanggapi kekesalan gadis itu. "Ada yang bisa dibantu, Kak?" tanya Mitha sopan. "Mau bikin baju tapi desainernya lagi nggak ada di tempat, saya sudah titip pesan sama mbak Lina namanya." Mitha kemudian mengeluarkan ipad dari tas jinjingnya. "Saya Mitha, asisten desainernya, pemesannya atas nama siapa ya Kak, nanti saya masukkan daftar janji temu dengan desainernya langsung," ucap Mitha dengan ramah. "Atas nama Feni Aprilia. Nanti tolong dikabarkan, kapan saya bisa kembali kemari lagi," tukas Delisha seraya mengajak Alvin untuk meninggalkan tempat ini. "Iya, Kak," jawab Mitha dengan diiringi senyum ramah. Setelah Mitha selesai dengan aktivitasnya, Alvin dan Delisha kemudian pamit pada Mitha. "Siapa, Kak?" tanya Delisha memecah keheningan saat keduanya sudah berada di dalam mobil. "Kenalan biasa. Pernah ketemu dulu sekali, dianya masih ingat sama Kak Al," jawab Alvin santai, dengan pandangan tetap fokus ke depan mobil. "Dia ingat, tapi aku yakin pasti Kak Al yang nggak ingat dia, ya kan? Aku tebak, Kak Al pasti dah lupa nama cewek tadi?" Alvin hanya tertawa merespon ucapan Delisha. "Biasaan banget, sih." Alvin semakin tertawa, membuat suasana yang tadinya hening dan beku sekarang sudah menjadi ceria dan hangat. Delisha mengajak Alvin ke sebuah kafe yang menyediakan berbagai menu patisserie dan minuman bernuansa Pokemon Go yang sedang naik daun. Sebenarnya kafe ini sudah buka cukup lama, tapi keduanya baru sempat mengunjungi tempat ini sekarang. Setelah memilih menu pastri sesuai karakter monster Pokemon yang diinginkan masing-masing, Alvin dan Delisha menuju salah satu meja yang masih kosong. Di waktu yang bersamaan keduanya mengeluarkan ponsel dan memulai perburuan monster untuk menambah koleksi Pokemon di poke dex masing-masing. Delisha menggembungkan kedua pipinya karena melihat deretan pokemon yang dimiliki oleh Alvin di poke dex nya dengan cp yang cukup tinggi. Jelas saja karena level Pokemon milik Alvin sudah lebih dari level 5 saat ini. Alvin sendiri menjadi gemas melihat ekspresi sebal yang ditampilkan oleh Delisha. Tanpa canggung ia langsung mencubiti pipi gembung Delisha. Delisha yang dicubiti semakin pura-pura cemberut, lalu mengembalikan ponsel Alvin. Ponsel milik Delisha saat ini masih berada di tangan Alvin. Baru saja ia keluar dari aplikasi game yang membuat keduanya lupa waktu, ada panggilan masuk di ponsel Delisha dengan nama kontak Regio. "Ada telepon dari Regio," tukas Alvin seraya mengembalikan ponsel kepada sang pemilik. Delisha menerima ponsel tersebut dengan setengah merebut, karena Alvin agak menahan ponsel itu saat hendak menyerahkan pada Delisha. "Siapa Regio?" tanya Alvin dengan nada bicara agak posesif. "Temen di Bandung," jawab Delisha singkat dan memasukkan ponselnya ke dalam sling bag Michael Kors-nya. "Balik yuk Kak, udah sore nih," ujar Delisha. Tanpa menunggu jawaban dari Alvin, Delisha beranjak dari duduknya. Alvin tak mengucapkan sepatah kata pun, hanya mengikuti langkah Delisha keluar dari kafe. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN