Meidina murka pada Ayahnya yang telah seenaknya melamar laki-laki untuknya. Bagaimana ayahnya yang ia kenal sangat bijak itu bisa berlaku semena-mena pada Meidina. Perempuan itu menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya, mengingat semua yang dikatakan oleh abak-nya beberapa waktu yang lalu. Pintu kamarnya diketuk pelan dari luar.
"Masuk saja," jawab Meidina dengan suara parau akibat menangis terlalu lama. Jejak air mata di pipinya ia hapus menggunakan punggung tangannya.
"Etek bawakan teh hangat untuk Mei. Lekas diminum ya sebelum dingin."
"Yo tek, makasih."
Perempuan berusia tidak lebih dari 40 tahun itu, adik perempuan dari pihak mandeh-nya yang biasa ia panggil etek, melesakkan tubuhnya di ranjang tempat Meidina sedang berbaring sedari tadi. Kemudian, etek-nya mengusap dengan lembut helaian rambut hitam dan panjang milik Meidina.
"Kenapa nasib Mei seperti ini, tek? Kenapa abak tega sama Mei? Padahal Mei sudah menuruti apa yang selalu abak katakan."
"Mei jangan berkata begitu. Abak itu sayang sama kamu. Dia pasti akan memberikan yang terbaik untuk Mei."
Meidina menggelengkan kepalanya dengan lemah, tidak percaya begitu saja dengan yang dikatakan oleh etek-nya kali ini.
"Etek dengar, pemuda yang mau dijodohkan denganmu adalah pemuda tampan. Etek pernah bertemu dengannya dulu sekali. Pasti sekarang dia sudah jauh lebih dewasa. Usianya lebih muda dari Mei sekitar satu atau dua tahun."
Etek-nya itu menjelaskan tentang seperti apa sosok laki-laki yang akan dijodohkan dengan Meidina. Meidina benar-benar terkejut, karena yang terpikir dalam benaknya adalah dia akan dijodohkan oleh pria tua seumur dengan abak-nya. Etek-nya kembali meyakinkan Meidina jika semua yang ia katakan adalah benar, tidak ada kebohongan sedikit pun. Ada senyuman terukir di bibir Meidina, meskipun nyaris samar. Meidina memang berniat akan menikah lagi, tetapi tidak dengan dijodohkan seperti ini. Harga dirinya seolah tercabik-cabik. Apa karena dia seorang janda, lalu orang-orang bisa seenak perutnya menghakimi dia, jika dia tidak cepat-cepat mengakhiri status jandanya.
"Abak tak enak Mei, saat orang di kampung ini membicarakan status kamu. Bukannya membicarakan kesuksesan kamu di Jakarta!"
Meidina mengingat lagi ucapan abak-nya saat Meidina menentang keras perjodohan itu. Dia merasa keputusannya untuk bertahan tinggal di Jakarta dulu tidak lah berarti apa-apa, jika ternyata tidak mengubah pemikiran masyarakat tentang buruknya status janda yang melekat pada image seorang wanita. Meidina hanya mencoba untuk tidak peduli. Toh ini bukan dia yang minta, tapi ini takdir Tuhan yang tak sanggup dipungkiri oleh siapa pun.
Sambil menghela napas panjang, Meidina lalu berdoa dalam hati, semoga pemuda itu menolak perjodohan ini. Apa pun alasannya nanti Meidina sudah siap dan ikhlas dengan penolakan dari pemuda itu. Memang saat ini dia masih belum siap lahir batin membuka pintu hatinya untuk cinta yang baru. Iya cinta, Meidina yakin, meskipun dijodohkan, rasa cinta itu pasti akan tumbuh dengan sendirinya, seiring berjalannya waktu jika sudah terbiasa hidup bersama. Dan untuk saat ini, Meidina masih tidak siap untuk jatuh cinta lagi.
***
Malam harinya, Sutan Tun Razak beserta sanak familinya datang ke Rumah Gadang milik Haji Syarif. Setelah berbincang-bincang, datuak memperkenalkan Alvin pada keluarga besar Tun Razak. Ternyata pembicaraan ini dan tidak menemui jalan buntu . Keluarga besar Tun Razak menyukai sikap dan pribadi Alvin yang memang ramah dan sopan. Sampai pada acara datuak dari pihak Tun Razak menanyakan pada Alvin, apakah ia bersedia untuk disandingkan dengan anak perempuan satu-satunya Sutan Tun Razak? Alvin terdiam sesaat, kemudian berdeham dan mulai menyuarakan isi hatinya.
"Saya tidak mengatakan saya bersedia, juga tidak mengatakan saya menolak perjodohan ini. Saya hanya ingin mengajukan satu syarat, sebelum saya mengambil keputusan besar dalam hidup saya."
Ucapan Alvin yang terdengar mantap, membuat orang yang ada di ruangan ini saling menatap dalam diam. Lalu Sutan Tun Razak berdeham dan bertanya syarat apa yang hendak Alvin ajukan.
"Saya harus bertemu dia terlebih dahulu, sebelum mengambil keputusan besar itu. Saya dengar dia tinggal di Jakarta, maka dari itu, saya yang akan mencarinya sendiri ke seluruh penjuru Jakarta. Jika saya menemukan perempuan itu dengan tangan saya, maka saya akan menerima perjodohan ini," ujar Alvin dengan penuh kepastian.
"Alvino! Lancang bana wa'ang! Bukan kamu yang akan memutuskan, tapi adat yang memutuskan menerima atau tidak pinangan sutan Tun Razak malam ini!"
Suara datuak-nya menggelegar ke seluruh penjuru rumah gadang. Membuat semua orang yang hadir malam ini hatinya bergetar ketakutan, kecuali Alvin. Dia terlihat tenang dan menaikkan ujung bibirnya membentuk seutas senyum, seolah puas akan apa yang ia sampaikan baru saja.
"Tenang datuak, mungkin Vino salah bicara, mungkin bukan begitu maksudnya, ya 'kan Vin?" Mak Angah-nya angkat suara di antara ketegangan yang menyelimuti ruangan ini.
"Tidak ada yang salah dari apa yang saya katakan. Tolong hargai saya. Kan saya sudah bilang, saya cuma minta satu syarat saja. Saya hanya ingin bertemu terlebih dahulu dengan calon saya, ingin menanyakan langsung apa dia bersedia mendampingi hidup saya atau tidak? Saya tidak mau asal menikahi anak orang, saya juga peduli apa dia benar-benar mau menerima saya dengan tulus, menerima saya karena terpaksa atau justru tidak mau menerima saya sama sekali!"
Alvin mengucapkan rentetan kalimat tadi dengan tegas dan tetap tenang, tidak terintimidasi oleh siapa pun.
"Kami bisa mengadakan acara perkenalan terlebih dahulu kalau itu mau kamu," jawab Tun Razak ramah.
Alvin menggeleng kuat. "Tidak, saya yang akan mencarinya sendiri di Jakarta," jawab Alvin dengan wajah datar.
Semua yang hadir menggelengkan kepala, terdengar suara orang yang menggumam tidak jelas, saling berbisik membicarakan apa yang Alvin katakan tadi.
"Tidak ada salahnya bukan saya menemukan sendiri keberadaan calon pengantin saya, tinggal sebutkan saja nama lengkapnya, selanjutnya saya sendiri yang akan menemukan keberadaannya di Jakarta, dengan kedua tangan saya sendiri.
"Kalau setuju, sekembalinya dari Padang, saya akan memulai pencarian. Kalau tidak setuju ya tidak mengapa, tidak masalah bagi saya."
Hening beberapa saat, hingga akhirnya sutan Tun Razak angkat bicara lagi, yang membuat semua mata tercengang terhadap keputusannya malam ini.
"Baiklah kalau itu syarat kamu, nama anak perempuan saya adalah Meidina Tanjung, dia tinggal di Jakarta seorang diri, tanpa sanak saudara. Satu hal lagi, anak saya seorang janda, tetapi dia seorang perempuan yang senantiasa bisa menjaga pandangan dan kehormatannya meski dia janda yang tinggal di kota besar. Carilah dia, jika berhasil menemukannya maukah kau berjanji satu hal pada saya?"
"Apa itu?" tantang Alvin dengan lantang.
"Nikahi dia apa pun yang terjadi."
Hening dan ketegangan sangat terasa sekali malam ini, dengan jantung berdebar, akhirnya Alvin pun mengangguk pasti. Namun detik berikutnya, dia merutuki kembali kesombongan yang ia yakini akan membawanya pada suatu perubahan besar dalam alur kehidupannya kelak.
Kesepakatan telah diambil dan Alvin kembali ke Jakarta keesokan paginya, dengan membawa beban sejuta ton di pundak dan hatinya.
Di mana gue mesti menemukan wanita bernama Meidina itu, Ya Allah. Mulutmu harimaumu Alvino.
Begitu gerutuan demi gerutuan yang meluncur di batin Alvin selama perjalanannya ke Jakarta. Pikirannya melayang jauh ke laut lepas Selat Sunda, di atas kapal yang telah bergerak dari pelabuhan Bakauheni menuju pelabuhan Merak.
-----
Fote Note:
JSS: jembatan selat sunda.
Ichthyo Sapiens: manusia ikan (dalam film waterworld:1995)
Ibu
Niniak mamak : sekumpulan orang-orang yang dituakan di sebuah daerah (kampung)
Rumah adat suku minangkabau
Tungganai: mamak rumah gadang. Mamak dari mamak kita. Menurut silsilah dua generasi diatas sejajar dengan kakek.
Datuak: gelar untuk penghulu atau pemangku adat. Bisa juga untuk sebutan kakek.
Buya: panggilan untuk guru mengaji atau guru agama.
Vino, ada tugas yang harus kamu lakukan nak, mengingat usia kamu sudah cukup matang untuk mengerti apa yang akan datuk sampaikan.
Sutan: gelar kehormatan untuk orang-orang terhormat atau orang yang keturunan raja.
Luhak Agam: wilayah Bukittinggi (Kabupaten).
Tidak ada
Selepas
berkunjung kemari
Kakak laki-laki
Cantik
Ayah
Bibi
Kamu benar-benar lancang