Mengingat kenangan di masa lalu kami berdua membuatku merasa lucu. Senyuman kecil tercipta di bibirku tanpa bisa dicegah. Hellen yang masih berupa anak kecil sungguh lucu di masa itu. Berbanding terbalik dengan Hellen yang sekarang, yang jauh lebih terlihat dewasa. Gadis itu sudah pintar menggoda seorang pria tampan dan kaya seperti Jason.
Aku sangat yakin ada suatu hubungan di antara mereka berdua. Entah kenapa Hellen mencoba menyembunyikannya dariku. Yah mungkin suatu hari nanti dia akan mau menceritakannya padaku. Tidak apa-apa. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya karen aku yakin Hellen memiliki alasan untuk menyembunyikan semua itu di belakangku.
Setidaknya aku tahu bahwa Hellen yang kukenal dulu adalah orang sama dengan Hellen yang sekarang. Mereka berdua sama-sama memiliki keteguhan hati yang tinggi. Hellen akan tetap selalu ada di sisiku dan selalu menjadi keras kepala seperti saat dulu. Seperti yang dia lakukan pada diet ekstreamnya dulu.
Aku menatap puas dengan semua barang Hellen yang baru saja selesai kukumpulkan semua di dalam kotak box. Ada sandal jepit, penjepit rambut, buku, kotak pensil, handuk, juga bra.
“Ekhem!” Melihat semua barang itu, mendadak aku merasa perlu berdeham untuk melegakan tenggorokanku yang terasa gatal saat ini. Aku segera menutup kotak box tersebut. Setelahnya aku menarik napas dalam lalu menghembuskannya dengan lega. Pandangan mataku kembali menoleh ke arah jendela yang sudah kututup dengan tirai. Lampu kamarku masih menyala dan itu membuatku tidak bisa melihat dengan jelas bayangan dari luar sana. Akhirnya aku memutuskan untuk mematikan lampu kamar dan memeriksa kemungkinan ada bayangan dari luar yang muncul mendekat.
Setelah lampu dimatikan, aku tidak melihat bayangan apa pun di balik tirai jendela. Sepertinya aku menjadi sedikit paranoid secara berlebihan. Akan lebih bagus jika aku memang salah mengartikan bayangan apa yang sempat berkeliaran di ujung lorong tadi. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain, lebih tepatnya ke arah ranjang.
Suasana terasa begitu sunyi saat ini. Entah karena keadaan kamarku yang gelap atau memang pandangan mataku yang terasa seperti tidak bisa fokus. Seakan aku tengah memakai kacamata yang tidak sesuai ukuranku. Rasanya seperti pusing dan tubuhku terasa mengambang. Merasakan ada yang aneh dengan pandangan mata dan isi kepalaku, aku mulai menekan sisi keningku dengan telapak tangan. Sedikit menekannya untuk menyalurkan rasa sakit itu. Hem, sepertinya aku perlu segera beristirahat sekarang, pikirku dalam hati.
“Shhh.” Aku mendesis dengan lirih. Semakin lama pandangan mataku semakin tidak fokus. Bahkan aku bisa merasakan cara jalanku yang sedikit oleng. Segera aku meraih tepi ranjang, dan merangkak naik ke tengah. Dengan lemas aku menjatuhkan tubuhku begitu saja di atas ranjang.
Aku seakan lupa akan luka jahit yang ada pada lengan kananku. Tidak ada rasa sakit apa pun yang kurakan saat itu. Mungkin karena aku terlalu fokus dengan tekanan yang menjalar di kepalaku. Setelah itu aku tidak mengingat apa pun lagi karena aku langsung jatuh tertidur begitu saja.
Di malam yang panjang itu, tanpa banyak orang yang menyadari suatu bayangan makhluk hidup berukuran cukup besar tengah bergerak liar ke sana dan kemari di balik bayangan rembulan. Tidak banyak orang yang berlalu lalang di tengah malam hari itu. Suatu kompleks yang terlihat begitu jarang akan penduduk terdapat sebuah mini market yang buka dua puluh empat jam.
Seorang pria dengan pakaian dan jaket berwarna hitam, juga topi rajut yang hampir menutupi sebagian wajahnya tiba-tiba nampak berlari dengan tergesa keluar dari minimarket tersebut. Dengan cepat pria itu berlari kencang meninggalkan minimarket dan memasuki area yang lebih gelap. Tidak lama kemudian nampak seorang petugas toko pria ikut keluar dari minimarket dengan raut wajah penuh kesakitan. Di bagian perut sebelah kirinya muncul rembesan darah segar yang mencoba ditahannya dengan satu tangan.
Sepertinya hari itu adalah hari ketidak beruntungannya petugas toko karena selain mendapat serangan pencurian, dirinya juga mendapat luka tusukan. Hari itu dirinya bertugas jaga sendiri sehingga tidak ada seorang pun yang bisa membantunya. Namun pria itu sempat melakukan panggilan pada pihak berwajib sehingga sebentar lagi mereka akan datang.
“Tolong! To—long!” teriak pria petugas itu di luar toko. Berharap ada seseorang yang bisa membantunya dengan lebih cepat. Namun sayangnya tempat itu tengah sepi pengunjung. Darah yang merembes keluar semakin menetes banyak sehingga membuat pria itu menjadi lemas, dan akhirnya terbaring jatuh di tempat.
Pria itu hampir tidak sadarkan diri ketika tiba-tiba muncul empat kaki dari seekor hewan bertubuh besar. Pandangan mata pria itu hanya bisa melihat area bawah dan lalu merasakan kaki hewan itu bergerak mendekati dirinya. Tubuh pria itu kemudian diseret ke dalam semak-semak yang gelap, menyisakan bekas darah segar yang juga terseret memanjang mengikuti arah tubuhnya pergi. Lalu mobil polisi datang.
Dua petugas langsung bergerak turun dari mobil dan segera masuk ke dalam minimarket tersebut. Mencari siapa pun yang telah memanggil mereka untuk datang. Namun kedua polisi itu tidak menemukan siapa pun di dalam toko tersebut. Kedua pria itu merasa bingung dan menatap satu sama lain. Salah satunya berjalan ke luar toko dengan perasaan yang mulai kesal. Berpikir bahwa mereka berdua telah ditipu oleh seseorang. Sedangkan teman polisinya yang lain sedang melaporkan kejadian itu pada kantor untuk diperiksa lebih lanjut.
“Jame! Jame, cepat kemari!” Pria yang dipanggil Jame itu langsung menoleh ke arah luar toko di mana teman seprofesinya memanggil. Jame segera melangkah menghampiri. Pria itu melihat temannya tengah memerhatikan sesuatu di pinggir jalan yang cukup gelap.
“Ada apa? Oh my--!” serunya tertahan yang lalu mendapat lirikan tajam dari temannya, memintanya untuk diam. Kedua matanya masih membola lebar ketika melihat genangan darah yang menuju ke semak-semak tidak jauh dari mereka. Keduanya segera menarik senjata api masing-masing, bersiaga dengan kemungkinan yang mungkin akan menyerang mereka. Dengan hati-hati mereka melangkah mengikuti bekas darah itu, lalu menyibak dengan kuat semak-semak yang mengganggu pandangan mereka tersebut.
“HIK!” Keduanya sama-sama terkejut ketika melihat kejadian itu.
“GRHHH!” geram suatu makhluk bertubuh besar yang bertingkah lebih mirip seperti seekor hewan dengan seluruh tubuh yang berwarna hitam, kini menatap tajam ke arah mereka berdua. Pada moncongnya terdapat lelehan darah segar dan sepotong daging yang baru saja dikoyaknya dari tubuh utama petugas toko itu. Penampilannya tidak terlihat dengan jelas karena minimnya pencahayaan di area sana sehingga membuat kedua polisi itu harus menambah sikap waspada.
Seketika kedua petugas polisi itu langsung menarik pelatuk mereka dan menembaki makhluk tersebut berkali-kali. Suara tembakan itu langsung menggema di udara, memeriahkan malam yang sepi saat itu.
“UWAHH!” teriak keduanya yang merasa ketakutan ketika makhluk itu dengan cepat bergerak mendekati mereka. Kedua polisi itu tetap menembaki makhluk tersebut dengan brutal hingga pada akhirnya musuh mereka telah sampai di hadapan, dan berhasil melayangkan cakar tajam pada keduanya. Seketika darah muncrat membasahi semak-semak dan mengucur deras, bercampur dengan darah petugas toko yang tubuhnya telah terkoyak dengan brutal itu. Kedua petugas polisi ikut terbaring di tempat bersama dengan korban.
“Grrhh!” geram makhluk itu setelah berhasil menghabisi kedua pria tersebut. Dengan tanpa rasa perduli makhluk itu menoleh ke arah sekitar, memerhatikan situasi yang terjadi di tempat itu untuk sejenak, lalu bergerak dengan cepat meninggalkan tempat itu, menembus kegelapan malam yang dengan apik menyembunyikan tubuh hitam nan besarnya.
***
Pagi yang cerah mengawali hari itu. Aku yang masih terlelap dengan pulas tidak terganggu sama sekali dengan gebrakan pintu kamar yang dibuka dengan kasar oleh Hellen.
“Danny! Danny, bangun kau! Sampai kapan kau akan tidur seperti itu hah?!” teriak Hellen sembari menghampiriku dengan cepat. Hellen berdiri di samping ranjang dan memerhatikan diriku yang masih terlelap gadis itu merasa semakin geram karena aku tidak kunjung bangun meski gadis itu telah berteriak dengan keras. Kedua tangan Hellen mengepal dengan gemas melihatku.
“Ugk Danny! Cepat bangun kau!” teriak Hellen sekali lagi. Kali ini gadis itu bergerak naik ke atas ranjang dan mengguncang tubuhku dengan brutal. Sepertinya Hellen telah melupakan luka jahit pada lenganku dan tidak peduli akan kondisi tubuhku saat ini. Setelah guncangan kesekian barulah aku mulai membuka kedua mata. Aku menatap Hellen dengan raut wajah bingung.
“Hellen?” gumamku dengan pelan.
“Iya, ini aku! Bangun kau, dasar pemalas! Mau sampai kapan kau akan tidur ha?! Ini sudah siang! Kau tidak pergi sekolah huh?!” Hellen menarik selimut yang membungkus setengah tubuhku dengan kasar.
“Siang? Astaga, aku kesiangan Hellen!” seruku dengan panik. Aku segera bangkit dari ranjang dan bergerak ke arah lemari pakaian. Hellen hanya memutar bola matanya dengan malas. Aku sibuk mencari baju untuk pergi ke sekolah, lalu membawanya ke dalam kamar mandi. Aku bergerak dengan secepat mungkin mengganti bajuku dengan yang baru, lalu mencuci wajah dan menggsok gigi.
“Semua orang juga tahu kau akan kesiangan, dasar bodoh! Ini akibatnya jika kau mengganggu tidur malamku semalam. Kena batunya kan kau!” sindir Hellen dengan tatapan sengitnya. Gadis itu bergerak mendekati kotak penyimpanan barang-barang pribadinya yang telah kusimpan semalam. Hellen meraih beberapa barang pentingnya dan membiarkan sisanya tetap di tempat. Gadis itu berniat akan mengambilnya nanti sepulang sekolah.
Sementara aku yang telah selesai dengan acara bersih-bersihku lalu kembali keluar dari kamar mandi dan menemui Hellen lagi. Aku meraih tas ranselku dan menyiapkan buku-buku penting yang harus kubawa untuk hari ini. Kakiku bergerak ke sana dan kemari mengumpulkan beberapa barang penting untuk kumasukkan ke dalam tas ransel. Hellen tanpa kata bergerak menghampiri pintu tanpa mengindahkanku lagi. Aku yang menyadarinya merasa heran kemudian.
“Hellen kau tidak akan menungguku?”
“Aku tidak mau berangkat sekolah dengan pria menyebalkan sepertimu Danny. Aku masih marah padamu! Huh!” jawab Hellen yang lagi-lagi menyindirku. Aku meringis kecil mendengar sindiran Hellen. Padahal aku hanya tidak memiliki pilihan lain ketika melakukannya.
Kulihat Hellen kembali melangkahkan kaki menuju pintu kamar. Namun kemudian gadis itu mendadak berhenti di tempat seakan baru saja ingat telah melupakan sesuatu. Aku yang baru saja mengalihkan pandangan ke arah lain menjadi menoleh ke arahnya lagi.
“Ada apa?” tanyaku kemudian. Hellen membalikkan tubuhnya kembali ke arahku. Kali ini raut wajahnya nampak begitu terkejut dan menatapku horor. Lebih tepatnya menatap lengan kananku seakan tengah menatap suatu hantu di sana. Aku mengangkat kedua alis dengan raut wajah heran sekaligus bingung melihat ekspresi itu.
“Oh My Gosh, Danny!” pekik Hellen dengan begitu dramatis. Gadis itu menunjuk ke arah lenganku kemudian dengan tangan bergetar. “Darahmu!” cicit gadis itu. Akhirnya aku ikut menoleh ke arah lenganku sendiri dan langsung tidak kalah terkejutnya dengan Hellen saat ini. Darahku sudah merembes begitu banyak dari luka itu, bahkan sampai menetes deras di atas lantai dan membasahi sebagian baju baruku.
“Astaga,” gumamku dengan wajah yang tidak kalah horornya memandang semua darah itu.