Sepertinya terpaksa aku harus mengatakan ini, aib yang sudah kututupi sangat lama. Baiklah, lebih baik aku katakan saja agar tak menghalangi rencanaku. Aku menarik napas panjang, sungguh ini memalukan, juga aib bagi Mas Adi. Tapi jika aku tak mengatakannya, sudah pasti Arman tak mau melakukannya. Tiba-tiba, ingatanku melayang ke hari itu, di mana Mas Adi Jaya pulang larut malam. Pukul 01.00 pada saat itu. Aku membukakan pintu untuknya karena tak ingin membangunkan pembantu, juga karena aku sengaja menunggunya. Tujuh bulan belakangan, sikap Mas Adi mulai berubah. Ia sering pulang larut malam, lembur, katanya. Padaku pun mulai jarang bicara. Setiap aku mengajaknya bicara mencoba menghangatkan hubungan kami yang terasa hambar, tahu-tahu ia sudah jatuh tertidur setelah sebelumnya berkali-ka