4

960 Kata
Awas kamu, Armaaaan. Aku benar-benar geram. Tanganku mengepal dan aku mengembuskan napas kuat. Dengan seenak hari menghinaku, awas saja akan kubalas. "Pak, ke rumah Mama." Pak Budi mengangguk. Mobil meluncur arah kebun nanas. Aku menyandarkan tubuh, menarik napas panjang-panjang mencoba rileks walau d**a luar biasa panas. Antek ayah itu benar-benar harus diberi pelajaran. Mama mengernyit melihatku tampak kesal. Perempuan anggun berjilbab ungu itu berjalan mendekat, menghampiri anaknya ini yang duduk di sofa, terus menyentak-nyentak napas. Ucapan Arman ibarat racun, membuat kelabakan dari waktu ke waktu. Kalau racun membunuh, kalau ucapan Arman membuat d**a semakin panas saja. "Minum, Ma-maaa. Haus ini, a-kuuu." Mama menggelengkan kepala. "Biii, Bii, tolong buatkan Mela jus jeruk." Terdengar sahutan, "Iya, Mbaak." Mama, dia bertubuh tinggi berisi seperti anaknya ini. Kulit kuning langsatku warisan dari mama. Mama akan marah jika dipanggil nyonya, itu sebabnya yang bekerja di rumah ini selalu memanggilnya mbak, dengan begitu mama tak merasa ada jarak majikan dan bawahan. Mama juga tak mau dipanggil ibu, karena itu menandakan ia sudah tua, alasan mama begitu. Umur mama 37 tahun pada 4 November besok, umur aku 23 tahun, mama nikah muda. Jarak umur mama dan ayah 15 tahun, seperti jarakku dan Adi Jaya, juga 15 tahun. Kata mama dulu, kalau nikah dengan lelaki yang jarak umurnya jauh, ia akan selalu mengalah pada pasangannya, memanjakan dengan cinta. Dan itu terbukti. Aku selalu dimanja oleh Mas Adi Jaya, ia selalu mengalah. Mas Adi sangat mencintaiku, tapi karena ingin punya keturunan, ia dengan terpaksa menceraikanku, aku yakin banget itu. Ah, Mas Adiku tersayang. Aku tak akan biarkan itu terjadi. Cinta kita, harus abadi selamanya. Bibi datang membawa nampan berisi jus jeruk dan sepiring buah-buahan yang diiris sedang dengan dua sendok garpu di pinggiran piring. Aku mengangkat gelas jus, menyeruputnya hingga ludes tak bersisa. Mama meraih piring dari nampan lalu dengan isyarat tangan menyuruh bibi pergi. Ia letakkan nampan di meja lalu mengusap rambutku. "Ada apa, Nak? Kamu terlihat kesal sekali." Mama mengusap sayang kepalaku. "Kamu lagi berantem dengan Adi, ya?" Tatapnya penuh sayang. Bukan Berantem, Ma. Tak ada perkelahian sama sekali. Yang ada, hati anak kesayangmu satu-satunya ini remuk karena ditalak. Kataku dalam hati. Mama membawa kepalaku merebah di pahanya, ia terus menggerakkan jemarinya yang lentik berkutek pink ke rambut anak satu-satunya ini. "Bertengkar itu biasa, Mel, namanya juga dua kepala, ya wajar kalau ada cekcok." Aku mengangguk. Ah, andai mama tahu aku dicerai. Baik mama atau ayah tak boleh tahu tentang ini, karena aku dan Mas Adi Jaya akan kembali seperti dulu. Kalau ayah sampai tahu, bisa-bisa Mas Adi Jaya dipecat dari kantor. "Ya sudah, sana pulang." Aku cemberut. "Iiiih, Ma-maa, kok ngusir akuuu, sih?" tanyaku manja sambil mengerucutkan bibir. Mama menyentil hidungku. Ia tertawa kecil. "Mel, mama tak ingin kamu menghindari masalah, Sayang. Setelah kamu baikan sama Adi, kamu boleh ke sini lagi. Mama telponkan suamimu, ya?" Aku menggeleng cepat. "Aku udah baikan kok, Ma, sama Mas Adi. Aku kesal bukan karena Mas Adi tapi karena antek ayah. Dia merendahkan harga diri aku, Maaa." "Arya maksudmu?" Aku mendesah kuat. "Antek ayah kan memang hanya dia! Bisa-bisanya dia ngerendahin aku!" "Merendahkan bagaimana?" tanya ayah, ia keluar daru kamar salat, masih memakai moko dan sarung kotak-kotak. Jangan bertanya kenapa ayah gak ke kantor jam segini, ia memang jarang ke kantor, semua urusan kantor ia percayakan pada Arya Kamandanu, aku singkat jadi, Arman. Arman baru 4 tahunan jadi antek ayah, sebelumnya ia bekerja di kantor ayah. "Ngerendahin aku, Yah. Seolah-olah aku perempuan hina banget." "Masa? Ayah ragu Arya melakukan itu." Ayah meraih HP di meja lalu menghubungi Arman, meminta cowok sok sok an itu agar kemari. "Pokoknya, ayah harus pecat si Arman!" kataku berapi-api, d**a panas mau meledak saja rasanya saat ingat hinaanya tadi. "Namanya Arya Kamandanu, Mel. Jangan mengganti nama orang, ah," kata mama, tersenyum kecil lalu menggelengkan kepala. "Nama Arya Kamandanu gak pas untuknya, Ma." Aku tertawa smpai bahuku bergetar peln saat ingat pertemuan pertamaku dengan si Arman. Waktu itu, rambutnya masih panjang, mengenakan blangkon, dan bicaranya medok banget. Arman cerita, di diberi nama Arya Kamandanu karena ayahnya kesemsen berat dengan tokoh Tutur Tinular. Tapi karena menurutku namanya gak sesuai dengannya yang medok banget, aku singkat saja jadi Arman. "Assalamualaikum." Suara salam membuatku dengan cepat beranjak bangun. Si Arman itu ya, biasanya tiap lihat aku rebahan di paha mama, dia akan natap aku lama-lama dengan tatapan maklum, atau meledek? "Duduk situ." Ayah mempersilakan dengan senyum tersungging di bibir, tangannya menuding kursi di seberangku. Arman pun duduk. "Arya, Melani bilang kamu merendahkannya, bukan begitu." Arman memandangku, aku mendesah kuat. "Saya tidka merendahkan mbak Melani, Pak. Begini mulanya. Mbak Melani meminta saya agar menca--" Aku mendelik padanya. "Lanjutkan," ucap ayah terlihat penasaran. Arman memandangku, kemudian ucapnya, "Mbak Melani menyuruh sa--" Potongan semangka aku lempar ke wajahnya. Mama dan ayah sama-sama tersentak. Arman memandangiku, tangannya mengusap d**a. "Astaghfirullah, mbak." "Ini hanya salah paham, Yah, Ma. Ayo, aku mau bicara!" Aku berdiri lalu menarik tangan Arman. Sampai di luar, aku menyentak tangannya kuat. "Kamu apa-apaan, sih! Ember banget jadi cowok!" "Mbak Melani yang memulai." Aku menyentak napas kuat. "Aku akan bayar kamu 100 juta jika dapatkan lelaki tangguh buatku." "Saya tidak mau. Takutnya nanti mbak kecewa lagi. Dan saya juga kecipratan dosa." Aku nganga tak percaya. Sok suci banget. Aku mengembuskan napas keras lalu mengeluarkan beberapa uang ratusan ribu, mengulurkan ke arahnya. "Buat tutup mulut, dan kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa WA aku, aku akan nawar kamu 15 M." Tanpa meraih uang yang terulur si udara, ia membalikkan badan, pamit pada ayah dan melenggang menuju mobil. Aku menyentak napas kuat-kuat. Armaaaan! Tangaku terkepal kuat. Baru kali ini ada lelaki bodoh yang terang-terangan menolakku. Dasar lelaki gak normal! Lelaki normal pasti gak akan nolak. Awas saja kamu Armaan. *Yang mengikuti cerbung, Suamiku Sangat Marah Saat Tahu Aku Masih Perawan udah UP, yaaa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN