Akhirnya Sachi memutuskan pergi dari kantor polisi. Hari ini jadi hari sangat sibuk baginya. Disatu sisi ia harus mengikuti prosesi pemakaman Delia di rumah duka. Di sisi lain ia mesti menjadi saksi atas hilangnya nyawa Delia. Belum juga fikirannya terus melayang kembali ke Zero. Sachi cemas, ia kalut setiap kali memikirkan bagaimana nasib Zero ke depannya. Ia merasa punya andil membuat anak itu jadi sebatang kara seperti ini.
Bukankah pada akhirnya masih lebih baik dirinya, setidaknya meski orangtuanya bercerai. Ia masih bisa bersama di setiap kesempatan. Tapi Zero, ia malah kehilangan kesempatan tumbuh dalam asuhan ibu kandungnya. Apa yang harus ia katakan ke anak itu kalau sendainya Zero menanyakan dimana kedua orangtuanya.
Sachi bahkan berniat mengadopsi Zero, tapi masalahnya. Ia seorang lajang. Wanita tanpa suami. Apa bisa ia mengambil alih perawatan Zero begitu saja. Soal harta, dirinya memang mumpuni. Uang hasil bekerja terus ia tabung tanpa pernah ia gunakan secara berlebih. Yah, Sachi bukan wanita yang suka menghambur-hamburkan uangnya.
Ia lebih suka menyimpan pundi-pundi rupiah di bank. Karena Sachi merasa suatu hari nanti, ia membutuhkan uang itu ketimbang berfoya-foya sewaktu muda.
Sachi sudah sampai di rumah duka. Ia sendirian disini. Tidak ada satupun orang yang datang mengaku sebagai keluarga Delia.
Sachi tidak tahu bagaimana hidup wanita malang itu. Tapi sepertinya ia sudah lama tidak bertemu orang lain selain Zero dan Luke tentunya. Sachi kembali mengingat gerak-gerik Delia. Wania itu terlalu terlihat kikuk dan segan menatap matanya. Apa semua itu reaksi karena ia sangat jarang keluar rumah atau memang saat itu ada sesuatu yang Delia rasakan, perasaan mengganjal yang membuatnya tidak nyaman.
Sachi melotot saat menyadari dugaannya. Ia menghampiri team pembakaran yang sebentar lagi ingin mengkremasi jenazah Delia.
"Tunggu, Pak!" petugas itu nampak tidak suka. Bukankan sejak tadi team penyidik sudah memeriksa korban. Dari ujung kuku sampai ujung rambut mayat'pun sudah diidentifikasi. Lalu apa lagi?
"Saya ingin melihat jenazah untuk terakhir kalinya," ucap Sachi menjelaskan. Mungkin ia bisa mencari tahu suatu hal yang terlewati dari pemeriksaan team penyidik. Sedang pemeriksaan Sachi nantinya didasari oleh psikologi sesuai dengan keahliannya
"Tadi Nona. Itu tidak bisa, kami harus membakar jenazah sesuai dengan waktunya, karena sebentar lagi tempat keramasi juga akan digunakan kembali. Hari ini banyak antrian, Nona!" pria itu menjelaskan ketidak-bersediaannya. Sedang Sachi hanya bisa menelan ludahnya, mencoba berfikir
"Lima menit. Beri saya waktu lima menit," Sachi tidak butuh waktu lama. Hanya lima menit saja untuk mengetahui raut wajah Delia terakhir kalinya
"Hah," petugas itu menghela nafas panjang. "Baiklah, hanya lima menit!" lantas ia meninggalkan Sachi sebentar dengan Delia
Sachi segera memakai waktunya. Disingkapnya selimut penutup wajah Delia. Perasaannya semakin sakit
Ia jadi mengingat Zero. Zero tidak pernah diberi tahu kalau saat ini bakal dilakukan proses kremasi ibunya. Sachi terlalu ragu mengatakannya pada Zero. Mungkin kalau semua sudah membaik, Sachi akan mencoba bicara pada Zero
Sachi berusaha mengenyahkan perasaan sedih. Ia mulai memakai otaknya untuk melihat dengan jelas. Kali ini yang ia butuhkan bukan cuma melihat dengan mata telanjang. Tapi ia juga harus berfikir dengan cermat. Setiap inchi tidak boleh lepas dari penglihatan. Setelah ia amati. Sachi merasa kerutan pada alis mata Delia sungguh tidak wajar. Yah, wanita itu memang sudah membeku tapi sisa aura ajal menjemput masih nyata terlukis di wajahnya.
Kerutan alis, bibir yang sedikit mengangga itu pastinya terjadi karena Delia shock saat seseorang menikamnya dari belakang. Jangan lupakan pelototan tajam yang ia dapati sewaktu menemukan Delia pertama kali
Tapi, kalau semua ini perbuataan perampok pastinya Delia tidak terlihat sekaget itu. Lagi juga. Waktu Sachi kesana. Barang-barang yang bisa dijual masih ada disana, ditempatnya masing-masing.
Jadi tidak mungkinkan kalau ini perbuatan maling.
"Daddy," Sachi terus mengulang kata itu. Kata yang keluar dari bibir Zero. Inginnya mengelak. Tapi semua bukti memang tertuju ke Tuan Luke.
"Mungkinkah Pak Luke membunuh istrinya sendiri?" Sachi sampai merinding dibuatnya.
Ia menggeleng, tidak mau memikirkan itu langsung. Bagaimanapun ini menyangkut masa depan Zero
Bagaimana nantinya kalau teman-temannya tahu, ia anak seorang pembunuh, dan yang dibunuh ayahnya adalah ibunya sendiri
Sachi mengambil tangan Delia yang sedingin balok es. Ia mengepal tangan itu kuat
"Aku berjanji akan mencari tahu semuanya. Untukmu dan untuk Zero,"
***
Prosesi pembakaran jenazah sudah di selesaikan. Sachi membawa abu Delia dan ingin meletakkannya di rumah mereka. Mungkin saat Zero sudah mengerti ia akan menyerahkan abu itu padanya.
Sekalian Sachi ingin mengecek rumah itu. Rumah yang sudah di tandai garis polisi.
Sachi datang diam-diam. Setelah meletakkan abu di ruang keluarga. Ia pergi ke kamar Delia dan Luke. Sachi masih penasaran, apa benar Delia tidak memiliki saudara yang bisa menceritakan bagaimana perjalanan hidupnya sebelum dan sesudah mengenal Luke.
Mungkin dengan begitu ia bisa jauh lebih yakin kalau Delia mati di tangan suaminya
Ia mulai mengutak-atik lemari di samping ranjang. Beruntung lemari kecil itu tidak terkunci. Ia segera mengeluarkan isinya. Sayang, tidak apapun disana kecuali album foto keluarga kecil mereka
Di album itu banyak sekali foto yang menafsirkan betapa bahagianya hidup Delia bersama Luke dan Zero. Sepertinya foto-foto itu di ambil sewaktu Zero berusia kurang dari satu tahun, latarnya sebuah taman dilengkapi danau kecil.
Sachi jadi menduga kalau Delia suka dengan ketenangan. Ia lebih memilih menghabiskan quality time dengan keluarganya di tempat yang jauh dari keramaian. Menarik, Sachipun sama. Ia juga lebih memilih menghabiskan me time-nya di tempat-tempat sepi seperti ini. Sudut bibir Sachi jadi terangkat. Fikirannya melayang, mungkin kalau ia menikah di usia muda, ia juga bisa memiliki anak seusia Zero. bisa sebahagia Delia ketika menggendong anak itu dan memfokuskan ke depan kamera
Ahk, bukankah itu semakin tidak mungkin. Tidak mungkinkan Luke menghilangkan nyawa istrinya
Sachi semakin membalik tiap lembar album foto. Ia jadi menyeritkan alis.
Mengapa Delia terlihat tidak suka dirangkul Luke. Ekspresinya berbeda dari kumpulan foto sebelumnya.
Apa foto ini diambil sewaktu Delia sedang merajuk. Tapi apa penyebabnya. Delia tidak terlihat seperti wanita yang suka ngambek. Apa saat itu Luke melakukan kesalahan fatal
Banyak hal yang Sachi fikirkan saat menatap album foto itu.
Ia juga membolak-balik, mencari lagi hal lain yang bisa ia dapat di lemari kecil itu
"Eh, itu?" Sachi mencoba meraba lebih dalam. Sebuah botol obat penenang terjatuh ke belakang lemari. Dengan segenap tenaga ia menyingkirkan lemari. Sachi mengambilnya.
"Obat penenang? siapa yang meminum obat ini?"
Jika dilihat dari bungkusnya. Obat itu dibeli tanpa sepengetahuan dokter ahli. Padahal memakannya dalam waktu lama bisa menimbulkan ketergantungan. Pasien akan mengalami panic attack jika tidak meminumnya rutin.