Sachi berhasil sampai ke rumah Delia. Dia berniat memijit bel pintu. Tapi belum juga bunyi bel berdering. Daun pintu sudah terbuka lebar. Dia menyertikan alis, bau anyir merebak dari dalam. Jantungnya berdetak kencang tidak seperti biasanya.
Rasa penasaran mengalahkan logika bila dirinya harus menjaga norma dalam bertamu. Sachi terus melangkah, mengetukkan sepatu heels miliknya ke lantai berkayu itu.
Matanya menatap sekelilingnya dengan perasaan tak tentu arah. Mengapa tempat itu sangat berantakan. Pecahan vas dan taplak meja yang tak beraturan menghiasi area itu. Dia semakin masuk ke dalam. Seolah nalurinya mengatakan untuk lebih mencari tahu apa yang telah terjadi. Jantungnya berderu, semakin bertalu-talu saat dia semakin dekat dengan asal bau anyir itu.
Ketika matanya bersiborok dengan korban. Sachi langsung menjerit kencang. Dia menutup mata spontan. Dadanya sesak karena detak jantung yang bekerja tidak seperti seharusnya. Tangannya bahkan gemetar secara alami. Takut? Jelas. Sampai suara detaknya menghiasi indera pendengarannya.
"Mbak... mbak Delia." Dia cuma bisa memanggil nama pasien yang baru saja kemarin malam dia temui dalam keadaan segar bugar. Yah, setidaknya jika dilihat dari luar.
Sachi menggigit bibir bawahnya. Air mata menetes begitu saja. Spontan dia ingin menyentuh mayat itu. Tapi Sachi masih sadar, jika hal itu dia lakukan bisa saja malah dirinyalah yang di tuduhkan sebagai pelaku.
Saat dia sedang berfikir, suara isak tangis yang ditahan samar-samar terdengar.
"Hah!" Dia menoleh mencari asal suara. Terlambat untuknya berusaha tidak ikut campur. Apalagi seluruh hatinya bergerak membantu Delia.
Dengan cepat Sachi mendial nomor ambulance juga kantor polisi. Biarlah dia memikirkan penjelasan apa yang akan dia ungkapkan di depan penyidik. Sachi tahu, dia tidak boleh gentar. Sachi malah berjanji pada dirinya untuk bicara sejujur-jujurnya, bersikap kooperatif supaya pencarian dalang pembunuhan cepat terlaksana.
"Halo, kantor polisi. Saya dengan Sachi Kang. Ingin melaporkan kejadian di jalan melati no. 28... ." ucapnya memberi pelaporan.
Setelah menutup telepon, Sachi berusaha mencari suara tangis itu
"Zero, Zero." Sachi ingat betul kalau Delia sangat mengkhawatirkan Zero, putranya. Dan itu pasti suara Zero.
"Zero. Ini Tante, Tante gak jahat kok." Peluh merembes dari balik pelipis. Sachi membuka seluruh pintu. Sayangnya dia tidak juga menemukan Zero.
Sesaat dia menghembuskan nafas frustasi.
'Lo harus tenang, Sach.' Sebuah mantra penentram hatinya ketika kalut.
Sachi tahu, kadang seseorang bisa diminta tetap tenang disaat genting dalam hidup. Semata demi membuat keadaan tidak lagi buruk. Jika dia rasa, mungkin Zero sengaja tidak membalas panggilannya karena merasa trauma, tidak ingin membuka diri pada siapapun. Itu wajar, anak kecil bisa jauh lebih lama menyimpan memori ketimbang orang dewasa. Apalagi kejadian itu baru saja terjadi kepada orang yang dia cintai. Menyadarinya membuat perasaan Sachi semakin sakit seakan batu besar mengjepit dadanya. Dia bahkan tidak bisa menduga trauma psikis apa yang kini Zero alami. Apapun itu, semoga semuanya bisa cepat berlalu.
"Zero, Sayang..." Sachi menajamkam pandangan. Di balik sprei yang menjuntai. Ada sesuatu yang menyembul. Dan itu tangan seorang anak kecil.
Sachi mengelus d**a. Sedikit bersyukur karena berhasil menemukan Zero. Dia menghampiri, terjongkok di samping ranjang. Sachi belum mau mengibas sprei secara langsung. Dia takut, Zero semakin histeris. Alih-alih terburu, dia malah duduk di sana.
"Kamu yang namanya Zero,ya?" Suaranya dibuat selembut mungkin. Sachi ingin memposisikan dirinya sebagai teman untuk Zero.
Zero terdiam. Tampaknya dia menutup mulutnya sendiri.
"Zero suka mainan gak, nih tante punya mainan buat kamu," lirihnya sedikit parau. Sachi berusaha menahan kesedihan. Dipegangnya erat mainan itu.
"Zero Sayang, kesini yuk, Nak." Pelan dia membuka juntaian sprei. Seperti yang diduga. Zero sedang ketakutan. Seluruh badannya bergetar. Pandangannya kosong, dari raut wajahnya terlihat kekecewaan di sana. Segera Sachi terlentang untuk melihat secara jelas
Tangannya terjulur, menyentuh jemari kecil itu.
"Gakpapa. Semua sudah berlalu, jadi keluarlah, Zero."
Zero menghempaskan tangan. Wajah waspada dia tampakkan. Tuhan, rasanya Sachi tidak kuat. Usia Zero baru tujuh tahun. Tapi dendam itu nyata terlihat dari sorot matanya
"Daddy, I hate, Daddy," gumamnya. Sachi menyerit serius. Apa ini ada hubungannya dengan tuan Luke.
"Tidak, Sayang. Kamu gak boleh bilang gitu!" Dia masih mencoba berfikir positif. Luke terlihat menyayangi Delia. Tidak mungkin, kan dia dalangnya?
"Aku ingin balas, Daddy!" ungkap Zero tegas. Spontan dia menggeleng,
"Jangan, Sayang. Sini... Sini!" Sachi masuk ke kolong tempat tidur. Menarik Zero dari sana, lantas dia mendekap Zero begitu erat. Semula anak itu menolak, tapi Sachi tetap berusaha mempertahankan pelukannya.
Suara mobil ambulance dan sirene polisi saling bersautan.
"Cepat identifikasi korban!"
Sachi keluar dengan Zero di belakangnya, anak itu meringkuk dengan kepala tertunduk.
"Gakpapa, Sayang. Mereka datang untuk Mama," ucapnya.
***
Sachi tidak membawa Zero ikut ke rumah sakit. Dia cuma menitipkan Zero di panti yang bisa dia percaya.
Sesekali Sachi menciumi puncak kepala Zero. Tapi anak itu berlari dan bersembunyi di balik pohon. Memang tidak akan mudah menjernihkan hati yang terlanjur terluka.
Mungkin juga, Zero belum mempercayainya. Sachi memaklumi itu
"Bu, tolong sekali jaga dia," mohon Sachi kepada Zakiyah. Zakiyah mengangguk paham.
Dia juga sudah tahu kejadian traumatis yang Zero alami barusan.
"Kamu tenang saja, saya akan menjaganya dengan baik. Indah... Tolong hampiri Zero," ucap Bu Zakiyah ke anak panti yang lain.
Setelah merasa tenang, Sachi kembali ke rumah sakit. Dia ingin tahu hasil otopsi mayat Delia.
"Nyonya Delia terluka di belakang punggung. Ada juga luka tusuk di samping tengkuk menuju leher. Dan itu sepertinya menyebabkan nyonya Delia kehilangan nyawanya," ucap team forensik.
"Itu artinya, Delia ditikam dari belakang?" Siapa orang yang sepengecut itu sampai harus membunuhnya dari belakang.
Tidak ingin berlarut, Sachi langsung menuju kantor polisi. Dia rasa pembunuhnya harus cepat diketahui. Supaya orang itu tidak bisa pergi begitu saja.
"Iyah, Nona. Sebentar. Kami masih harus menyidiki penyebab kematian," sahut salah satu polisi. Sachi terangga. Apa, masih menyidiki lagi. Sedang, bukti otopsi sudah ada di tangan.
"Pak, di dalam otopsi jelas mengatakan kalau korban tertusuk benda tajam!"
Polisi itu menyeringai. "Lalu kamu tahu benda tajam apa itu. Apa motif pelaku menghabisi nyawa korban. Apa sebelumnya mereka terlibat cekcok. Atau, ini cuma wujud pembelaan karena korban berniat melakukan kekerasan pada pelaku?!"
Sachi menggeleng, semakin tidak paham dengan jalan fikiran lelaki di depannya. Oke, dalam hukum langsung menetapkan tersangka tanpa penyidikkan lebih lanjut juga tidak di benarkan. Tapi, apa iyah? Orang yang ditikam dari belakang sebetulnya orang pertama yang punya gagasan melakukan kekerasan
Bagaimana caranya?!