Hilda semakin meradang mendengar ucapan Nita yang sangat amat begitu yakin bahwa Dimas akan lebih mempercayainya daripada ibunya sendiri.
"Oh, jadi kamu pikir kalau Dimas akan lebih percaya padamu daripada padaku? Begitu?"
"Itu sudah pasti, Ma. Mas Dimas akan lebih percaya padaku daripada Mama," ejek Nita membuat Hilda terkekeh mendengarnya.
"Haha, Nita … Nita … aku ini Mamanya. Lebih tahu diri Dimas itu seperti apa dan bagaimana. Bagaimana mungkin bisa kamu mengatakan bahwa Dimas akan lebih percaya padamu daripada aku?"
"Iya nih, dasar perempuan gak tahu diri. Sok banget jadi orang, kamu pikir sudah berhasil memiliki Mas Dimas seutuhnya? Mimpi!"
"Aku sangat amat percaya akan hal itu. Mama mungkin ibunya, tapi aku adalah istrinya. Tiap hari bersama, melakukan segala hal bersama, berbicara dari hati ke hati dan masih banyak hal lagi yang dilakukan bersama-sama. Jadi, aku menang beberapa langkah dibandingkan Mama."
"Halah, kamu itu gak tahu luar dalamnya Dimas. Aku ini ibunya, yang mengandung, melahirkan dan merawatnya, sudah pasti lebih tahu."
"Tapi, nyatanya aku yang lebih tahu luar dalamnya suamiku seperti apa dan bagaimana. Saat dia sakit, terluka bahkan menangis, hanya aku yang ada disampingnya."
"Ya itu karena kamu mengambil anakku," sentaknya penuh emosi.
"Aku tidak pernah mengambil Mas Dimas, karena dia sendiri yang memilihku. Memintaku menjadi istrinya dan pendamping hidupnya, Mama tidak bisa menolak hal itu karena aku saat ini sudah berada di hadapan Mama selama kurang lebih hampir dua tahun."
"Kenapa selalu menolak kehadiranku? Kenapa tidak bisa menerima kehadiranku? Kenapa gak bisa hidup damai dan berdampingan? Bukankah itu lebih terlihat baik dan harmonis?"
"Aku hidup sebatang kara sekarang dan hanya memiliki kalian, tapi kenapa kalian justru menganggap aku ini musuh? Padahal, aku tulus menganggap kalian seperti Mama dan adik kandung sendiri tapi kalian selalu menganggap musuh."
"Apa? Hidup damai dan berdampingan denganmu? Mimpi, Nita. Aku sendiri, merasa tidak sudi untuk melakukan hal itu, apalagi Mama," kekeh Lena.
"Kamu itu hanya wanita yang kurang beruntung karena diambil oleh Mas Dimas. Dijadikan istri eh malah dipelihara sampai sekarang. Padahal, gak ada sedikitpun kelebihan darimu. Kau hanya bisanya menyusahkan hidup Mas Dimas."
"Ya karena kalian tidak pernah baik melihatku jadi tidak pernah lihat semua kelebihan dariku. Makanya, punya hati tuh jangan iri, dengki dan culas. Diajak berdamai gak mau, jangan salahkan aku ya jika nantinya Mas Dimas akan semakin jauh dari kalian."
"Kamu mengancam?"
"Tidak. Aku hanya bicara kebenaran saja kok, Ma. Semakin kalian membenciku, semakin kalian menginjak-injak harga diriku, semakin kalian menganggap aku musuh, maka aku bisa pastikan Mas Dimas akan semakin sangat jauh dari kalian. Sekali lagi aku katakan ya, Mas Dimas itu pandai, bijaksana dan bisa melihat mana yang salah dan mana yang benar."
"Mas Dimas tidak akan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah. Tidak seperti kalian, benar atau salah ya selalu dianggap salah," sindir Nita.
Semua perkataan yang dilontarkan oleh Hilda dan Lena selalu dibalas oleh Nita dengan cara yang elegan dan mampu membuat keduanya menjadi bungkam. Entahlah, mungkin saat ini memang rasa sabar yang selama ini sudah dipupuk oleh Nita semakin terkikis dan menipis hingga membuatnya enggan untuk mengalah lagi.
Rasanya, sudah cukup diinjak-injak karena sebuah rasa benci, iri dan dengki. Tidak tahu, apa yang sebenarnya mereka inginkan sampai terus mencari masalah. Padahal, Nita selalu bersikap baik bahkan ia selalu meminta Dimas untuk memberikan perhatian yang luar biasa untuk adik dan mamanya itu. Tapi, sepertinya mereka berdua memang menginginkan yang lebih dan tidak suka jika perhatian Dimas terbagi oleh orang lain.
Orang lain? Haha, iya benar. Nita selalu dianggap orang lain oleh Hilda dan Lena. Bahkan wanita lembut itu selalu dianggap sebagai benalu yang masuk ke dalam hidup anaknya.
"Aku rasa, perdebatan ini sudah cukup. Aku enggan untuk melanjutkannya, sebab aku akan tetap salah dimata kalian. Sekarang, aku sudah tidak peduli lagi bagaimana rasa kalian terhadapku, bagaimana pandangan kalian terhadapku dan bagaimana penilaian kalian terhadapku."
"Aku sudah tidak peduli dan tidak mau ambil pusing. Hal yang paling penting adalah Mas Dimas pasti akan selalu berada di pihakku. Kenapa? Karena Mas Dimas tahu aku seperti apa dan bagaimana, Mas Dimas juga tahu perangai kalian seperti apa dan bagaimana."
"Jadi, kalau kalian merasa baik dan tidak bersalah, tidak usah takut Mas Dimas akan menjauh atau membenci. Karena, Mas Dimas tidak punya alasan untuk membenci orang yang tidak bersalah. Terkecuali, ya kalau kalian bersalah."
Nita mengambil bahan-bahan makanan yang sudah dikeluarkan dan kembali memasukkan ke dalam kulkas namun ditahan oleh Lena.
"Jangan kotori barang-barang milik mamaku!"
"Minggir! Ini milikku, bukan milikmu atau mama! Jika ingin memilikinya, beli sendiri!" sentak Nita menepis tangan Lena dan mendorongnya hingga menabrak Hilda.
"Kamu itu kasar banget sih, Nita!" sentak Hilda.
"Ya gak usah melarang-larang aku kalau tidak mau dikasari! Kalian duluan yang menantang aku!" bentaknya lagi dengan lantang.
Setelah memasukkan semuanya, Nita menutup kulkas itu dengan sangat kencang membuat kedua wanita itu terkejut.
"Hei, w************n kamu itu kurang ajar sekali ya!" teriak Lena.
Lena mengejar Nita yang sudah berbalik dan akan meninggalkan mereka. Menarik kasar rambut kasar Nita membuat kepala wanita itu tertarik dan kulit kepala yang terasa sakit sekali.
"Lepaskan!" titah Nita masih dengan sabar.
"Tidak akan pernah. Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja, aku akan menyakitimu sampai kulit kepalamu lepas!"
Nita mulai meringis merasakan sakit yang luar biasa di kulit kepalanya itu, Hilda tertawa melihat menantunya yang menderita karena ulah.
"Mampus! Teruskan, Nak. Bikin wanita tidak tahu diri itu rambutnya rontok, kalau perlu botak sekalian!" teriak Hilda lalu tertawa terbahak-bahak.
Nita begitu sangat emosi sekali mendengar penuturan mertuanya, tangannya terarah pada tangan Lena yang berada di kepalanya lalu mencengkram kuat-kuat. Ia tidak peduli apakah kuku tajamnya itu akan menancap di lengan Lena atau tidak, yang penting sekarang adalah waktunya untuk melepaskan diri.
Dimas ingin segera masuk setelah mendengarkan keributan yang pastinya akan membahayakan istrinya itu tetapi seketika langkahnya berhenti saat mendengar teriakan dari Lena. Teriakan yang begitu memekakkan telinga dan Dimas yakin jika istrinya itu sudah melawan.
"b******k! Sialan, Nita! Lepaskan tanganmu, kuku menjijikkan itu sudah melukai aku."
"Aku tidak peduli," jawabnya penuh penekanan semakin mengencangkan tusukan kukunya pada tangan Lena dan gadis itu menjerit histeris.
Seketika, cengkraman di kepala Nita terlepas karena Lena memilih menyerah. Rasa takut yang dirasakan olehnya sungguh sangat panas luar biasa, pedih dan susah untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Nita langsung berbalik arah dan menarik balik rambut Lena membuat gadis itu memekik kesakitan.
"Aw, Nita. Sakit, lepaskan," bentaknya geram.
Hilda melotot melihat anak bungsunya semakin kesakitan karena ulah Nita.
"Sakit? Iya? Makanya jangan kurang ajar! Ini rasa sakit sama seperti yang aku rasakan tadi," geram Nita dengan mata melotot. "Oh apa mungkin masih kurang kuat cengkraman tanganku ini? Heum?"
"Tidak! Ini sakit, sungguh sangat sakit sekali," lirih Lena tidak sanggup lagi menahan sakit di sekeliling kulit kepalanya itu. Bahkan, ia sudah menangis karena saking tidak kuatnya.
"Huhuhu, Mama tolong aku," tangis Lena pecah dan itu membuat Hilda seakan tersadar bahwa anaknya sedang dalam bahaya.
Hilda melangkah maju, berniat untuk menyelamatkan Lena dan melawan Nita namun siapa sangka tubuh Lena yang sudah tidak berdaya karena menahan sakit tiba-tiba dihempaskan begitu saja hingga menabrak Hilda lalu keduanya terjatuh bersamaan.
"b******k!" maki Lena.
"Kurang ajar kamu, Nita!" maki Hilda.
Dimas merasa keadaannya sudah tidak kondusif dan harus segera dipisahkan, jika tidak entah akan jadi apa mereka bertiga itu nantinya.
"Rasakan! Sudah kubilang, jangan macam-macam. Aku sekarang sudah berani melawan," tegas Nita menatap keduanya dengan tajam.
Nita berbalik arah dan ingin melangkah, tetapi terdengar suara suaminya yang mengucap salam. Tiba-tiba tubuhnya menegang karena khawatir jika Dimas nantinya salah paham dengan keadaan ini, apalagi keadaan kedua wanita itu sungguh sangat memprihatinkan. Nita kembali membalik tubuhnya, tatapannya bertemu dengan Lena dan Hilda yang tersenyum licik penuh arti.
"Tamat riwayat kamu, Nita. Akan aku adukan semuanya pada Dimas," ancam Mama Hilda.
"Assalamualaikum."
"Loh, ada apa ini?" tanya Dimas pura-pura bingung melihat mama dan adiknya tersungkur dibawah.
"Huhuhu, istrimu menyerang kami, Mas, huhuhu." Lena mulai mengadu yang tidak-tidak. "Entah, apa salah kami sebenarnya sampai-sampai dia berani melakukan semua ini pada kami."
"Lena benar, Dimas. Nita menyerang kami, ini adalah sifat aslinya ketika kamu tidak ada. Dia melukai dan menyakiti kami sampai seperti ini, huhuhu." Hilda pun memainkan drama berharap Dimas akan percaya padanya.
"Lihat, Mas. Lihat tanganku ini dicakar, sampai terluka." Lena menunjukkan tangannya yang memang terluka akibat cakaran dari Nita.
"Nita itu benar-benar wanita jahat, Dimas. Mama diinjak-injak seperti ini olehnya. Mama dan Lena didorong hingga tersungkur seperti ini, huhuhu."
Dimas menatap mereka berdua sendu lalu mengalihkan pandangannya pada Nita yang sudah menegang.
"Mas, aku bisa jelaskan semuanya," tutur Nita dengan suara lirih. Ia tidak ingin suaminya marah akibat ulah mereka berdua yang membuatnya marah besar.
"Nita, apa benar yang dikatakan oleh mereka?"
"Mas, ini tidak seperti apa yang dikatakan mereka. Ini juga tidak seperti apa yang kamu lihat."
"Apa benar kamu yang melakukan ini semua, Nita? Jawab!"