Tubuh Lena dan Hilda menegang, keduanya sama-sama tidak menyadari bahwa Dimas mendengar semuanya. Itu artinya apa yang mereka katakan dan ceritakan mengenai kejadian yang tidak sebenarnya, tidak akan bisa dipercaya oleh Dimas.
Hilda mengarahkan tangannya pada Lena, menggenggam erat tangan anak bungsunya itu. Lena mengalihkan pandangannya pada Hilda dan menatap penuh takut. Ya, mereka takut jika nantinya Dimas akan marah besar, sebab mereka tahu betul bagaimana amarah Dimas jika sedang marah dan emosi.
"Mas, kamu percaya padaku?" tanya Nita merasa tidak percaya tapi bahagia mendengarnya.
"Ya, aku sangat percaya padamu. Melebihi rasa percaya pada diriku sendiri dan mereka. Bagiku, kamu adalah orang yang paling layak dipercaya selama aku menjalani hidup bersama denganmu."
"Aku pikir, Mas tidak akan percaya padaku dan justru akan menyalahkan aku," sendu Nita.
"Kamu percaya padaku, bukan?" tanya Dimas menatap lekat manik mata Nita. Wanita itupun mengangguk. "Maka, aku pun akan selalu percaya padamu. Walaupun kamu salah tapi aku percaya, kesalahanmu itu bukan tanpa sebab. Aku tidak akan menjatuhkan dirimu tapi aku akan bertanya apa masalahnya hingga kamu membuat kesalahan seperti itu."
"Terima kasih karena sudah lebih percaya padaku, Mas. Sungguh, aku merasa sangat bahagia sekali. Aku tidak peduli dengan banyaknya manusia yang menyakiti dan tidak percaya padaku, sebab paling utama adalah kamu, Mas. Kamu percaya padaku, itu sudah lebih cukup dan aku mempunyai pegangan hidup untuk tetap kuat."
Dimas tersenyum, merentangkan kedua tangannya dan memberikan isyarat pada Nita untuk maju. Keduanya saling berpelukan membuat Hilda dan Lena semakin kesal, marah, meradang dan membenci Nita yang sebenarnya tidak memiliki kesalahan apa-apa pada mereka.
"Terima kasih, karena kamu sudah berani melawan. Mempertahankan harga diri sendiri dan suamimu ini. Aku bangga walaupun kamu melawan tapi tidak kelewat batas, kamu masih menghormati dan menghargai mereka, bukan?"
"Iya, Mas. Mana bisa aku membenci mereka, Mas. Mereka adalah keluargamu, itu berarti keluargaku juga," lirihnya masih berada di dalam pelukan Dimas.
"Kalian dengar bukan? Nita menghargai dan menghormati kalian karena menganggap keluarga, tapi kok bisa kalian seperti ini terus."
"Sampai kapan sih, kalian terus memainkan drama dan membenci Nita yang sama sekali tidak memiliki salah pada kalian? Sebenarnya, mau kalian itu apa?"
"Sejak aku belum menikah sampai saat ini, bahkan detik ini, kalian selalu saja bersikap seenaknya. Dulu, aku bisa maklum karena belum memiliki istri tapi sekarang, sudah tidak bisa lagi memaklumi apa yang kalian lakukan. Apalagi, kalian sudah menyakiti hati dan perasaan istriku, lalu aku harus tetap diam melihatnya?"
"Aku hanya ingin kalian itu bisa hidup damai, tapi kok kayaknya susah sekali ya? Kenapa? Apakah selama ini Nita benar-benar tidak memperlakukan kalian dengan baik? Apa selama ini Nita benar-benar seperti apa yang kalian katakan tadi?"
"Aku cukup mengenalnya dengan baik, lebih dari kalian mengenalnya. Aku juga cukup mengenal kalian dengan baik, bahkan melebihi kalian mengenali diri kalian sendiri," jelas Dimas menatap keduanya dengan penuh kekecewaan.
"Aku pikir, kalian akan bisa berubah menjadi lebih baik ketika aku menikah. Tapi, kenapa sebaliknya?"
"Kalian tahu, Nita begitu sangat bahagia di awal karena kalian seakan-akan benar menganggapnya anak dan kakak, tapi ternyata itu hanya sementara saja, bukan? Ketika kalian tidak lagi diberikan apa yang diinginkan, maka mulai berubah sikapnya pada Nita."
"Nita itu tidak punya siapa-siapa, lagi. Nita hanya memiliki aku dan kalian, apa tidak bisa menganggapnya keluarga?"
"Sungguh, aku merasa sakit hati sekali setiap kali kalian menyakitinya. Jangan kalian pikir, Nita akan mengadu apa yang dilakukan oleh kalian. Tidak, Nita tidak pernah mengadukan apapun padaku."
"Nita selalu mengatakan bahwa kalian baik dan memperlakukan dengan sangat baik sekali. Kalian juga menganggapnya keluarga, itu yang selalu dikatakan oleh Nita. Tapi, aku tidak semudah itu percaya, karena apa? Karena aku tahu betul perangai kalian seperti apa dan bagaimana. Namun, Nita selalu saja menyakinkan aku bahwa kalian baik."
"Aku bisa melihat dan mendengar, aku tidak semudah itu percaya apalagi selalu melihat dan mendengar tangisan Nita disetiap sujudnya. Bukan tangisan bahagia karena memiliki kalian atau diperlakukan baik oleh kalian. Tapi, tangisan pilu dan aku semakin yakin memang ada yang tidak beres disini."
"Aku mulai menyelediki semuanya dan ini adalah pertama kalinya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalian memperlakukan Nita dengan sejahat ini."
"Ma, aku tidak masalah jika terus disakiti dan diinjak-injak olehmu. Tapi, tolong jangan pernah injak-injak harga diri istriku. Nita adalah pilihanku yang harus aku jaga, rawat dan sayang sepenuh hati. Bukan malah sebaliknya."
"Mama merasa, tidak suka karena aku menikah? Mama merasa, semua penghasilan aku jatuh pada Nita? Iya? Begitu?"
"Ma, asal Mama tahu ya. Aku sudah tidak bekerja semenjak belum menikah dengan Nita. Selama ini, aku hidup dari tabungannya, perempuan mana sih yang mau sama lelaki miskin seperti aku?"
"Mas–"
"Diam, Sayang. Aku sedang bicara dengan Mama, lebih baik kamu diam dan tidak banyak bicara."
"Tapi, aku memilihmu tidak mempermasalahkan kamu kaya atau miskin, Mas," protes Nita cepat karena ia tidak ingin mertuanya itu semakin salah paham dengannya.
"Aku tahu. Aku sangat tahu akan hal itu, aku pun tidak mengatakan bahwa kamu mau denganku karena materi bukan? Karena, memang aku tidak memiliki apapun saat akan menjalani semua ini denganmu," jelas Dimas dengan suara bergetar.
Hati Nita mencelos mendengar perkataan suaminya itu, ingin menangis tapi rasanya tidak ingin semakin membuat suaminya menderita karena tangis yang disampaikan oleh Nita. Tapi, ia benar-benar terluka mendengar kata-kata suaminya.
Walaupun, apa yang dikatakan oleh Dimas itu semuanya memang benar adanya. Mereka memiliki hubungan disaat Dimas benar-benar dalam masa terpuruk, tidak memiliki apapun. Jangankan kendaraan, untuk memiliki pegangan uang setiap harinya pun tak ada. Tapi, Nita tidak mempermasalahkan akan hal itu, sebab tahu betul bahwa Dimas adalah lelaki bertanggung jawab dan pekerja keras.
Nita merasa tidak salah pilih menjatuhkan hatinya pada Dimas. Ia juga merasa yakin, bahwa Dimas adalah lelaki baik menurut versinya dan versi Gusti Allah. Jadi, tidak ada alasan menolak hanya karena status sosialnya yang bukan orang kaya raya.
"Aku hanya ingin mereka tahu, bahwa selama menikah denganmu, bukan kamu yang menjadi beban atau menyusahkan aku. Tapi, aku yang sudah menjadi beban dan menyusahkanmu, Sayang."
"Mereka tidak akan pernah tahu, jika aku tidak memberitahunya. Bahkan, sekalipun mereka sudah tahu, itu tidak menutup kemungkinan kalau mereka juga seakan pura-pura tahu. Mereka pasti akan tetap pura-pura tidak tahu dengan apa yang sudah aku alami selama ini."
"Mas, tolong jangan mengatakan hal itu, lagi," mohon Nita dengan suara yang sangat lirih. Ia benar-benar semakin terluka mendengarnya.
Nita memeluk tubuh Dimas yang sudah bergetar dari belakang. Ia tahu betul, suaminya itu saat ini sedang menahan amarah sekaligus tangis agar tidak lepas kendali. Suaminya itu tidak ingin amarahnya meledak karena Nita yakin lukanya semakin dalam.
Nita sedang berusaha untuk mengobati lukanya, tapi Hilda dan Lena terus-menerus menyiram luka itu dengan luka yang baru dan air keras hingga lukanya semakin menganga.
Tubuh Dimas semakin bergetar hebat, merasa tidak sanggup lagi untuk menahan embun yang hampir menetes itu tapi ia tetap harus kuat agar tidak semakin diinjak-injak oleh Mama dan adiknya.
"Dimas, Mama minta maaf–"
"Ma, ngapain minta maaf!"