3. Again?

1099 Kata
Ruang makan mansion mewah ini di penuhi tawa riang. Obrolan ringan menyertai mereka sambil menyantap hidangan mewah. Setelah menunggu begitu lama akhirnya canda tawa kembali menghiasi rumah megah ini. Di sinilah keluarga Van Der Lyn berkumpul. Senyum di bibir Elena Cardenaz seolah tak ingin memudar saat melihat ketiga anaknya bertumbuh dewasa. Dia tidak bisa menyantap makan siangnya sebab matanya seolah tak mau berpindah dari ketiga orang di depannya, Letty, Leonard dan Lenox. Sesekali dia menggelengkan kepala saat putra bungsunya Lenox menggerutu sebab kakak-kakaknya tiada henti menggodanya. "Hei ayolah, aku bahkan bisa bermain baseball di banding kalian," ucap Lenox "Ya, tapi kau tidak bisa berkuda seperti aku." Letty kembali memprotes Lenox. "Hm, kau juga tidak pernah menang main basket denganku." Leo ikut-ikutan meremehkan adiknya. "Hei Leo, itu kan dulu. Sekarang tinggi kita hampir sama, aku bahkan bisa melakukan shoot dari jarak jauh." Lenox tak ingin mengalah dan memberi pembelaan. "Cih! Kau mulai membual," cibir Letty. "Diam kau. Kau wanita, kenapa terus mengganggu para pria bicara," bentak Lenox sambil melototi kakaknya. "Ya, ya, ya. Baiklah aku diam." Fredrick menggeleng frustasi sambil meletakan alat makannya di piring dia mencoba melerai ketiga anaknya. "Oke kids," "Dad...," seru ketiganya saat mendengar panggilan ayahnya. "Kami sudah besar, hentikan memanggil kami dengan panggilan itu." Lenox yang pertama memprotes. Oke, dia yang merasa paling dewasa di antara kakak-kakaknya. Fred memalingkan wajah pada Elena tapi Elena masih saja menikmati pemandangan di depannya dengan tawa yang tertahan. "Elena, apa yang terjadi padamu, mereka bertengkar seperti anak kecil dan kau hanya melihat mereka? Biasanya kau akan memukul meja. Astaga, ada apa ini?" Fred menggelengkan kepala.     Elena menarik napas sambil mengulas senyum di wajahnya. Perlahan Elena mulai memutar kepalanya menghadap Fredrick yang duduk di ujung meja. "Aku menantikan hari ini setelah sekian lama, dan aku akan menyesal jika menghentikan mereka," ucap Elena.     Fredrick kembali menggeleng namun bibirnya ikut tersenyum. Elena kembali memalingkan wajah pada ketiga anaknya dan tampaknya mereka lelah beradu mulut dan mulai menikmati makan siang mereka.     "Hm, jadi kapan kau akan ke Rusia?" ucap Fredrick di sela-sela mengunyah makananya.     Perkataan Fredrick membuat mereka terkejut dan bahkan menghentikan aktivitas makan mereka. Perlahan semua tatapan mulai terarah pada Fredrick yang masih asik memotong steak-nya.     "Apa maksudmu, Fred?" Elena angkat bicara. Dia mengerutkan kening sambil menatap sinis suaminya.     Fredrick mendongak, dia memperhatikan ekspresi Elena dan Letty sementara Leo membuang muka dan kembali memotong steak-nya.     "Leonard akan masuk sekolah militer Rusia."     "APA?!" Pekik Elena dan Letty bersamaan lalu beralih menatap Leo.     Leo berusaha menghindari tatapan kedua wanita di hadapannya. Dia berusaha keras menyantap makanannya padahal dia sendiri merasa gelisah di tempat duduknya.     "Leo, apa itu benar?" tanya Letty. Leo tidak menjawab dan memilih mengiris steak-nya.     "Leo, katakan apa itu benar?" kini Elena yang bertanya, dia sedikit menaikan nada bicaranya.     Leo akhirnya mengangkat kepalanya, dia menarik senyum simpul sambil mengangguk. "Hmm," jawabnya singkat.     Sontak Elena dan Letty menarik diri mereka dan membanting punggung mereka ke sandaran kursi. Letty melayangkan tangan kanannya ke udara sementara Elena mendengus lalu beralih menatap tajam suaminya.     "Fred ...."     "Elena itu keputusan Leonard, jangan pikir aku yang memaksa-"     "Jelas kau yang memaksanya dad," tukas Letty. Dia memalingkan wajah kepada ayahnya sambil menatapnya sinis. "Kau pikir bisa membodohi aku?"     Fredrick menelan ludah, perlahan dia kembali menaruh garpu dan pisau makan ke atas meja, kemudian menyeka bibirnya. Dia beralih meneguk red wine-nya. Yah, dia mungkin sudah lupa bahwa Letty punya kemampuan khusus untuk menyelidik pikiran seseorang.     "Ehem." Fred berdehem. Dia menatap Lenox yang duduk di samping kirinya, Lenox tentu tidak mengerti apa yang terjadi. Fred tersenyum pada Lenox yang terlihat bingung.     Letty mendengus, dia berdiri dengan kasar dari duduknya. "Lenox, ikut denganku." Letty menarik tangan Lenox dengan kasar. Sempat menatap tajam ayahnya sebelum dia membawa pergi adik bungsunya dari ruang makan.     Elena menangkupkan tangannya, meraih wajahnya sambil menghembuskan napas panjang. "Fred, aku tidak percaya ini," ucapnya sambil menggelengkan kepala.     Elena beralih menatap Leonard. Leonard hanya bisa melarikan tatapannya dengan menuduk.     "Fred." Elena menelan ludah. Tenggorokannya seolah tercekat, dia kembali menggeleng sambil meremas kepalanya. Elena berusaha mengumpulkan keberanian. "Sepuluh tahun lalu aku membuat kesalahan dengan menyerahkan putriku ke dunia gelapmu,"     "Elena,"     Elena mengangkat tangan kanannya di depan wajah Fredrick, menyuruhnya diam.     "Leo, bisa kau tinggalkan kami?" ucap Elena tanpa melihat ke arah Leo.     Leonard menarik napas kemudian mengikuti perintah ibunya. Dia pun pergi namun sebelum pergi dia sempat menatap ayahnya sambil membuang napas berat.     Fredrick menatap Elena.     "Fred, kau tentu tahu kalau selama sepuluh tahun ini aku tidak bisa tidur tanpa meminum obat tidurku,"     "Aku tahu, tapi-"     "Semalam aku tidur terlelap tanpa meminum obat tidur sebab Letty di sampingku dan memegang tanganku. Aku tidak ingin memejamkan mata saat melihat wajah puteriku di sampingku." Air mata mulai menggenang di pelupuk Elena. "Selama sepuluh tahun di setiap malam aku selalu di hantui rasa takut. Ya Tuhan, sedang apa putriku, akankah dia berhasil malam ini? Bisakah sehari saja dia hidup normal? Apakah setiap malam dia harus memegang pistol sambil membawa barang haram? Aku selalu memikirkan itu dan kau tidak pernah perduli padaku." Suara Elena mulai bergetar.     Fredrick menunduk sambil menggelengkan kepala, tangannya mengepal di atas pahanya.     "Aku tidak tahu apa yang merasukimu, Fred. Kau sudah merusak hidup putriku dan kau ingin merusak hidup anakku yang lain?"     Fredrick mengangkat kepalanya. "Aku bisa apa, hah?" Suaranya mulai meninggi. "Itu sudah takdir anak-anak kita dan takdir keluarga kita, aku bisa apa, Elena?"     Air mata lolos di pipi Elena. Dia menatap Fredrick dengan tatapan nanar sambil alam bawah sadarnya bergidik ngeri.     "Fred, kau memiliki kekuasaan besar dan kekayaan melimpah tapi, takdir mengutukmu menjadi ayah paling kejam."     Fredrick menatap tajam isterinya namun Elena mengangkat dagunya tinggi saat berhasil menyeka air matanya.     "Aku tidak punya kuasa untuk menghalangi jalanmu tapi, sebelum kau lakukan itu tolong," Elena mengambil pisau di depannya dan langsung mengiris tangannya tanpa ragu.     "Elena ...." Fredrick melotot. Dia berdiri dan menghampiri Elena.     Tangan Elena bersimpuh darah sontak membuat Fredrick terguncang. "Marry...," teriak Fredrick. Dia membuka dasinya dengan cepat dan mengikatkan dasinya ke pergelangan tangan Elena.     "Elena, apa yang kau lakukan." Fredrick begitu terkejut dan frustasi. Dia menggendong isterinya itu. "Bruce ...," teriaknya lagi. Dia berlari dengan cepat membawa isterinya keluar rumah.     Kepala pelayan bernana Marry menghampiri Fredrick. "Ya, tuan besar, astaga!" Marry menutup mulutnya saat melihat darah di lantai.     "Bersihkan lantainya dengan cepat dan jangan sampai anak-anak melihat semua ini," perintah Fredrick.     "Baik tuan."     Fredrick bergegas keluar menggendong Elena. "Bruce, cepat nyalakan mobil," teriak Fredrick saat mencapai pintu keluar.     Para pengawal bergegas menghampiri tuannya. Mereka membantu Fredrick memasukan Elena ke dalam mobil. Elena masih memiliki sedikit kesadaran, dia masih mendengar dan melihat apa yang sedang terjadi.     Elena tersenyum kembali. "Kau berhasil sekali lagi, b******n!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN