Insiden ciuman di ruang meeting beberapa minggu lalu, masih mengganggu jiwa Karina. Bagaimana tidak, ia tidak mungkin bercerita kepada tunangannya, sedangkan pihak kantor justru tidak tahu menahu tentang siapa orang yang ditemui oleh Karina. Seakan-akan pria tersebut hanya khayalan Karina bagi siapapun yang mendengar. Bahkan GM di kantor malah menertawakan Karina karena berpikir staf nya ini dikerjai oleh orang lain. Tentu saja Karina tidak menceritakan tentang pelecehan yang diterimanya.
Semua ini membuatnya semakin geram. Dirinya marah karena tindakan pelecehan tersebut, tapi ia bahkan tidak tahu nama dan jabatan pria itu. Ibarat melaporkan ke polisi tindakan pencurian mangga tapi tidak tahu menahu identitas pelakunya.
‘Argh! Dasar cowok arogan, suombong, nyebelin! Kesel! Kesel! Kesel!’
Berbeda dengan suasana hati Brahm. Pria itu sedang duduk bersandar di belakang meja kerjanya selama beberapa hari ini, salah satu perusahaan yang terletak di dalam sebuah gedung mewah miliknya. Sebuah klub ternama di Jakarta adalah satu dari perusahaan menguntungkan yang dimilikinya. Bahkan setiap malam antrian pelanggan mengular hanya demi memuaskan gengsi dan martabat mereka agar diakui kesultanan mereka diantara teman ataupun kerabat.
Brahm terus menerus menatap sebuah foto perempuan cantik yang dikirim oleh Leon, orang kepercayaannya. Katakanlah perempuan itu adalah hadiah untuk dirinya untuk menebus kerugiannya karena perbuatan pria bodoh yang tidak menepati janjinya. Brahm bukanlah laki-laki brengsekk yang dengan mudah menyukai perempuan manapun. Namun untuk Karina, ia akan melakukan segala cara termasuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Brahm memang memiliki foto Karina, bukan karena ia seorang psikopat yang terobsesi pada sosok Karina. Namun terdapat kisah di balik alasan Brahm menginginkan Karina menjadi miliknya, walaupun statusnya sediri sudah menikah.
Namun, pertemuan takdir tanpa rencana antara dirinya dan Karina, membuat jiwa laki-laki seorang Brahm yang dulu sempat meredup kini berkobar meronta kembali, ditambah kesempatan untuk memiliki Karina bertambah besar karena suami Karina yang begitu mudah dibodohi dan memiliki sifat sangat egois dibalik sikap manisnya terhadap Karina selama ini. Pepatah mengatakan kalau ingin melihat sifat asli seseorang adalah waktu orang itu dihaapkan dengan pilihan sulit. Dari sanalah akan terlihat ketulusan seseorang.
Selain itu ada alasan lain dibalik ini rencana buruk Brahm. katakanlah berlandaskan rasa iba pada Karina karena sebuah kejadian di masa lalu. Mungkin rencana Brahm akan membuat Karina membencinya karena memutuskan hal kejam seperti ini, namun Brahm tidak peduli, baginya memiliki Karina adalah sebuah keharusan dari sebuah janji yang sudah pernah ia ucapkan dulu. Mencintai atau tidak, dicintai atau tidak, Brahm tetap akan memiliki Karina.
Ciuman panas waktu itu semakin membuat Brahm tidak sabar unutk segera memiliki Karina seutuhnya sebagai kepemilikannya. Sudah lama kejantanannya tidak bertemu dengan lawan main yang sepadan menurut pandangannya. Walaupun Brahm seorang konglomerat, namun ia tidak akan mau mengotori tubuhnya dengan meniduri perempuan bayaran. Baginya menjaga sebuah ikatan itu lebih penting dari hasrat dunia yang menjerumuskan. Menuruti nasihat dari orangtua Brahm terutama sang papa sebelum meninggal, bahwa pria sukses itu cobaannya adalah wanita. Maka jangan pernah terpedaya oleh kemolekan dan kecantikan seorang wanita. Semakin cantik dan berani seorang wanita untuk mendapatkan perhatian kita, dipastikan ada niat tidak baik dibalik tindakan mereka.
“Leon, apa rencana yang gua minta sudah loe jalanin?” tanya Brahm kepada asisten yang selalu dipercayanya.
“Sudah bos. Tinggal menunggu umpan dimakan.”
“Bagus.”
“Ehm, Bos. Soal ganti rugi gimana? Masa loe yang berbuat, gua yang kena maki.”
Mendengar gerutuan Leon, Brahm berdecih tawa mengingat kejadian Karina yang mendatangi lantai ruangan CEO. Memang para staf hanya mengenal Leon saja sebagai wakil CEO, maka dari itu Karina menghampiri Leon dan memaksa Leon untuk memberi tahu nama laki-laki yang mengaku sebagai perwakilan dirinya.
Tentu saja mau tak mau Leon harus berkilah dan berbohong dengan ciri khas arogansinya juga yang serupa dengan Brahm. Sempat Karina mengajukan pengunduran diri, namun Brahm sudah selangkah didepan Karina. Surat perjanjian yang sudah ditandatangani Karina saat kenaikan jabatannya, membuat wanita itu tidak mampu melanggar kontrak kerjanya.
“Bonus buat loe gua tambahin. Pokoknya loe nurut aja, selama rencana gua ngak melanggar hukum loe nurut aja deh.”
“Siap deh. Loe bosnya, gua cuma kacung doang.” Canda Leon meledek sahabat sekaligus bos yang sudah menyelamatkan hidupnya.
“Pastikan dalam 3 bulan dia ngak bisa berkutik. Siapa suruh berani mengambil Karina dari gua.”
Leon yang mendengar ucapan Brahm merasajiwa keponya terusik.
“Lagian, kenapa mesti Karina sih, Bos. Memangnya dia itu punya apa sih sampai-sampai loe mau bekorban kayak gini. Duit hilang sih gua ngak pusing deh. Lah katanya loe kesel Karina diambil tuh cowok, tapi loe relain gitu dia jadi istri orang. Kawinin paksa dari sekarang aja kenapa?”
Brahm melempar gumpalan kertas ke kepala Leon. “Makanya loe selalu jadi asisten gua. Otak loe mundur selangkah dari otak gua. Kalau gua rebut sekarang, yang ada seumur hidup dia bakalan benci sama gua. Biarin dia menikmati cinta monyetnya, nanti juga matanya melek dan memilih gua.”
Leon melingkarkan bola matanya jengah dengan sikap menang sendiri dari Brahm. “Nurut aja lah, daripada daripada.”
“Loe udah atur ruangan meeting buat sore ini kan?”
Lagi-lagi Leon terpaksa menahan diri untuk mendengus kasar dihadapan bosnya.
“Udah. Sekretaris udah gua suruh pulang setelah Karina masuk ke ruang meeting.”
“Bagus. Ngak sia-sia gua ngasih gaji loe gede.”
Kemudian Brahm melangkah keluar dari klub miliknya menuju PT.Damian.
Di gedung Damian, Karina harus kembali ke ruangan meeting yang sama tempat di mana ia merasakan dasyatnya bibir pria kurang ajar itu. Mau tidak mau ia harus menurut karena kali ini sang wakil CEO mengatakan ia hanya ingin mengembalikan berkas tandatangan CEO dan diambil langsung oleh Karina. Kalau berkas biasa mungkin Karina akan menyuruh office boy untuk mengambilnya. Karina harus mengambil kembali berkas persetujuan CEO untuk mencairkan gaji karyawan dan diserahkan kepada pihak Bank.
Mau tidak mau Karina melangkahkan kakinya dengan berat hati, atau dirinya akan diserbu oleh seluruh penghuni gedung PT.Damian kalau sampai para pekerja tahu gajinya tertunda karena Karina tidak ingin mengambil berkas persetujuan CEO.
Setelah sekretaris CEO mempersilahkan Karina masuk ke dalam ruang meeting, karina memberanikan diri bertanya pada sekretaris itu sebelum membuka pintu dan masuk.
“Mbak,memangnya berkas persetujuan ngak dititipin ke Mbak langsung yah? Biar saya cepat proses ke Bank gitu loh.”
“Ngak tuh, Mbak. Katanya sih asisten Pak Leon yang nanti datang untuk memberikan berkas itu.”
Karina mencoba mencari tahu siapa orang tersebut. “Namanya siapa, Mbak?”
“Saya juga kurang tahu, Mbak. Pak Leon hanya menyuruh saya demikian. Katanya sih orang yang sama yang kemarin minta laporan keuangan. Saya permisi, Mbak.”
Jantung karina seketika berhenti, ia bahkan lupa untuk menghela nafas.
‘Masa sih iya gua mesti ketemu cowok berengsek itu lagi. Kenapa mesti dia sih!’
Kemudian Karina teringat akan rencananya yang sempat terhenti.
‘Oke, kali ini gua akan temui dia dan berusaha mencari tahu namanya. Biar kalau dia macam-macam gua bisa laporin ke polisi. Enak aja main nyosor.’
Sewaktu Karina melangkah masuk, ia dapat melihat Brahm tengah duduk dengan begitu nyamannya, malahan matanya tengah sibuk mengamati penampilan Karina yang terlihat sopan namun tetap sexi di mata seorang Brahm. Pesona Karina memang sejak dulu sudah menghipnotis pikirannya, gadis lugu dan polos bagi Brahm.
Karina sengaja tidak menutup pintu ruangan mereka demi keselamatan jantungnya kelak.
“Saya ke sini hanya ingin mengambil laporan yang sudah ditandatangani CEO.”
Brahm mengangkat lembar berkas ditangannya. “Ini sudah ditandatangani sama beliau.”
“Bisa tolong diserahkan ke saya sekarang? Saya buru-buru harus ke ruangan.”
Siasat Karina untuk mengetahui identitas Brahm nyatanya meluap sudah karena intimidasi tatapan mata seorang Brahm.
Karina yang melihat Brahm berjalan menghampiri dirinya dengan membawa berkas dan tersenyum merasa tindakannya salah.
“Stop. Taro di meja saja. Saya ambil sendiri.”
Brahm menuruti dan meletakannya di meja sambil duduk di kursi kembali.
Karina berusaha bergerak cepat untuk mengambil berkas tersebut dan berencana untuk pergi secepat mungkin dari pria yang sudah berhasil mengancam keutuhan jantung dan pikirannya ini.
Baru saja tangannya memegang berkas, tangan Brahm dengan cepat menarik pinggang Karina hingga wanita itu terduduk dipangkuan Brahm.
“Aw! Apa-apaan kamu!”
Brahm menyeringai dan menarik tengkuk karina kembali dengan cepat, kemudian merasakan kembali bibir yang sudah sedari tadi ingin dirasakannya kembali.
“Lepas!!”
Tentu saja Brahm tidak akan melepaskan rengkuhan tangannya yang mengunci tubuh Karina.
Brahm mencium Karina lebih tepatnya melumat kembali bibir ranum itu, tidak sulit baginya membuat Karina membuka mulut dan menerima ciumannya. Kelakuan Brahm berhenti hanya untuk mengambil nafas dan memberi jeda pada Karina yang terus memberontak setiap kali Brahm menghentikan ciumannya. Hal ini berlangsung terus sampai Karina lelah dengan usahanya sendiri. Bodohnya lagi dirinya pun terbuai dengan kelakuan pria asing menyebalkan dihadapannya ini.
Setelah menyadari Karina pasrah dan terbuai dengan lumatan bibirnya, Brahm memberanikan diri untuk menyentuh bagian tubuh Karina yang sedari tadi menempel dengan tubuhnya. Sebagai seorang perempuan yang belum pernah disentuh oleh siapapun, perlakuan Brahm mengantarkan sebuah gelenyar aneh yang membuat Karina merasakan ombak gairah yang meledak-ledak serta menuntut ingin merasakan sesuatu yang dirinya sendiri tidak tahu seperti apa rasanya.
Setelah 20 menit melayani hasrat pria arogan nan tampan, wajah Karina tampak semakin menggairahkan bagi Brahm. Dengan senyuman, Brahm mengusap pelipis Karina yang sudah basah oleh keringat, pipinya memerah akibat gelenyar nikmat yang diterimanya karena kelakuan tangan Brahm. Dipindahkannya Karina duduk di atas meja meeting. Merapikan rambut halus milik Karina ke belakang telinganya.
“Aku memang bukan yang pertama buat kamu, tapi kamu akan menjadi yang terakhir buatku.”
Setelah mengatakan hal itu, Brahm meninggalkan Karina yang masih lemas dengan debaran jantungnya.