Bab 9 - Ditolak Itu Menyakitkan (up setiap minggu)

999 Kata
Sudah hampir satu bulan ini Ceria naik kelas, dari biasanya hanya naik ojek online dengan menggendong Iren wara-wiri setiap pagi dan sore, kini dia diantar jemput oleh mobil. Meskipun hanya mobil operasional perusahaan, hal itu cukup meringankan bebannya dan sangat membantunya. Namun, terkadang Bagja merasa tidak nyaman ketika Mark turut serta, beberapa kali dia mendapati lelaki bule itu menggendong Iren, dan putrinya tampak sangat bahagia dan akrab sekali dengan lelaki itu. Selama memiliki Iren, Bagja terkenal cuek dan hanya seperlunya terhadap gadis kecil itu. Karenanya Iren pun tidak terlalu dekat dengannya, gadis kecil itu sepenuhnya bergantung pada Ceria. Pagi itu Bagja sudah rapi mengenakan setelan jaket, padahal biasanya dia berangkat ke kantor agak siang. Dia menghampiri Ceria dan Iren yang masih sarapan. Ceria membutuhkan waktu lebih lama karena harus menyuapi putri kecilnya itu. Wanita itu mengenakan setelan blazer warna peach dengan rok coksu, dipadupadankan dengan kemeja senada dan sepatu serta tas branded. Setelan khusus yang dibawakan Mark dari Jerman. Pakaian spesial itu dikenakannya karena mau ada meeting dengan kolega penting. Mark mengerti tentang kondisi keuangan Ceria, sehingga dia support juga untuk penampilannya. Hitung-hitung seragam kerja, katanya. Bagja duduk di sofa, berseberangan dengan kedua ibu dan anak itu. Dia memperhatikan istrinya yang semakin hari terlihat semakin segar dan cantik. Memang sejak kerja kembali, Ceria semakin berubah. Bukan karena hanya ada waktu, tapi dia juga memiliki uang sendiri yang bebas dipakainya untuk kebutuhan yang dirasa perlu tanpa takut mendapat gelar istri yang boros dari suaminya. Selain itu, tekanan demi tekanan perasaan yang selama ini dipendamnya dalam diam sedikit terlupakan. “Iren, hari ini Papa antar Iren ke sekolah ya, sekalian Papa mau ke rumah Nenek,” ucapnya sambil tersenyum pada putri kecilnya. “Nda mahu, Ilen mau diantel Daddy Malk, kemalin Daddy janji mahu bawain mainan buat Ilen dali Jelman.” Gadis itu menggeleng cepat, berbicara sambil mengunyah makanan yang hampir penuh pada mulutnya. DEG! Ada sesuatu yang terasa menghantam ulu hatinya. Bagja merasakan dirinya semakin jauh dan tersisihkan. Laki-laki itu menghela napas. Kemudian membujuk Iren kembali. “Iren, Mr. Mark itu bosnya Mama, jangan panggil daddy, nanti dia marah, panggil mister aja, ya,” ucap Bagja. “Nda mahu, mahu panggil daddy!” Iren berteriak. Bagja menarik napas panjang kembali. “Sini sama Papa, nanti Papa belikan boneka Barbie kesukaan Iren yang banyak,” bujuk Bagja, hatinya benar-benar merasa terhantam atas penolakan itu. “Ilen nda syuka Balbie lagi, Ilen sukanya Taiyo, Ilen mau jadi Taiyo buat antal Mamah kelja, bial gak cape naik motol oline teyus,” ucap Iren dengan bibir yang semakin mengerucut. “Ilen syayang Mamah.” Gadis itu menyembunyikan wajahnya di d**a Ceria. Tatapan Bagja terlihat kecewa. “Ri, jangan terlalu dekat dengan Mark, lihat Iren sekarang udah gak mau lagi sama aku.” Akhirnya lelaki itu menyalahkan istrinya. “Lho, bukan salah Mr. Mark, justru Mas Bagja yang harus lebih perhatian sama Iren, sudah begitu lama Mas Bagja tidak punya waktu untuk kami, Mas, bahkan mainan kesukaan Iren aja Mas Bagja gak tau, jadi jangan salahkan Iren, dia hanya anak kecil, Mas,” ucap Ceria. Tin, tin, tin. Terdengar klakson mobil di depan rumahnya. Pastinya itu sopir yang menjemputnya untuk kerja. Ceria bergegas merapikan peralatan makan Iren dan membawanya. Dia akan menyuapi putri kecilnya itu di mobil. Ceria berpamitan pada Bagja yang masih tertegun duduk di sofa. Diraihnya tangan suaminya. Ceria tetap berlaku santun dan menghormati orang yang selalu dia rindukan, Bagja yang dulu dia kenal, bukan Bagja yang sekarang. “Aku pergi dulu, Mas. Oh iya, nanti malam Mas Bagja jadi menghadiri acara ulang tahun perusahaan, kan, ya? Pulang telat?” tanya Ceria sebelum melangkah. Bagja mengangguk. “Aku gak akan beli banyak lauk, Mas, kalo gitu, mungkin aku pulang telat juga karena ada acara meeting dengan kolega bisnis penting, tapi gak sampe larut,” ucap Ceria lagi. “Aku pamit, Mas,” pamit Ceria. Bagja belum sempat menyahut ketika terdengar teriakan Iren menyambut bule Jerman itu. “Daddy! Daddy!” Iren berlari mendahului Ceria ketika melihat bayangan Mark dari jendela, rupanya lelaki itu ikut lagi menjemput Ceria. Bagja memandang punggung anak dan istrinya dari celah pintu yang terbuka. Matanya tak lepas menyaksikan pemandangan yang tidak mengenakkan. Mark tampak gembira menyambut Iren yang melompat-lompat minta di gendong. Mereka masuk ke dalam mobil bersamaan, duduk di kursi belakang. Sudah seperti sebuah keluarga. Bagja mengacak rambutnya, entah kesal pada siapa. Lelaki itu menjatuhkan dirinya pada sofa, bersandar dan memejamkan mata. Kepalanya berdenyut bukan karena sakit, melainkan mengingat penolakan telak dari putri semata wayangnya. Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan pikirannya. “Halo, Sis.” Ternyata Sisy yang menelepon. “Pak, bisa sekalian jemput aku? Di tempat biasa, ya.” Suara Sisy yang biasanya membuat mood-nya membaik, kini sama sekali tidak berpengaruh. Otaknya masih dipenuhi kilatan bayangan Ceria yang memasuki mobil bersama Mark yang menggendong Iren. “Pak, Pak Bagja.” Suara Sisy menyadarkannya kembali. “Oh, oke, i-iya, aku jemput,” ucap Bagja datar. “Nanti aku biasa ya, beliin kopi kesukaan Bapak, kopi kenangan mantan,” ucap Sisy lagi. “Oh, iya, oke, beli aja,” jawab Bagja. Dia menjadi sangat tidak berselera mendengar apa pun itu. Kini Sisy tak lagi membuatnya seantusias dulu. Sepeda motor Bagja meluncur menuju tempat biasa dirinya menjemput Sisy. Dia menjadi ingat, berkali-kali dulu istrinya meminta dia menjaga jarak dengan Sisy, namun dia tak mengindahkannya. Bagja baru merasakan sesakit apa melihat istri dan anaknya bersama pria lain dan tampak bahagia. Lelaki itu terus melajukan sepeda motornya untuk menjemput stafnya tersebut. *** Suasana di kantor Ceria berjalan seperti biasa. Wanita itu sudah memberi tahu mertuanya kalau Iren akan menginap karena dirinya dan Bagja memang pulang agak malam. Ceria sudah mengetahui di mana Bagja akan menghadiri makan malam acara perusahaannya. Dia sengaja memesan hotel yang sama untuknya dan Mark bertemu klien. Beruntung Mark sudah sepenuhnya menyerahkan masalah hotel dan reservasi sehingga dia bisa lebih mudah menjalankan misinya. “Mas Bagja, sampai ketemu nanti malam,” gumam Ceria sambil tersenyum menatap pantulan dirinya di depan layar ponsel yang baru saja dimatikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN