Hidup dengan baik

1604 Kata
Sepulang berkencan dengan Pacarnya, Alice memikirkan soal pakaian yang akan ia kenakan besok, untuk bertemu dengan Keluarga Rendra. Sayangnya, ia tak mempunyai beberapa pakaian bagus di Kontrakannya. Semua koleksi gaunnya ada di rumah Orang tuanya, yaitu Diego. Mau tidak mau Alice harus pulang ke rumah, untuk mengambil beberapa set pakaian. Wanita itu sejenak melihat jam di tangannya. Waktu sudah menginjak hampir pukul 9, tetapi bagaimanapun caranya, ia harus pulang untuk mengambil salah satu gaun terbaik miliknya. Belum juga ia memanggil tukang ojek, Kebetulan Alice melihat kedatangan Sarah yang baru pulang dari kantor. Otomatis Wanita itu menghentikan Sarah, dan memintanya untuk mengantarkan dirinya pulang. Melihat Alice yang panik, Sarah pun segera menyalakan kembali mobilnya. Ia mengira terjadi sesuatu yang buruk, pada keluarga Alice. Kedua Wanita itu kini menuju ke kediaman Alice. Untuk pertama kalinya setelah lama berteman, Sarah mengantar Alice pulang ke rumahnya. "Apa terjadi sesuatu pada keluargamu, Al?" Tanya Sarah di tengah-tengah kemudinya. "Nggak kok! Aku cuma mau ambil pakaian saja di rumah, hehe" Seketika wajah panik Alice berubah menjadi nyengir seperti kuda. "Main-main ya? Aku putar balik nih!" Sarah yang kesal terlihat mengancam akan memutar balik mobilnya. "Kak jangan! Tolong aku kali ini, aku benar-benar harus mengambil salah satu gaun di rumahku" Pintanya memelas. Hubungan keduanya cukup akrab sudah seperti Kakak dan adik. "Memangnya kamu nggak baju? Cih, lagaknya kayak mau ketemu mertua aja!" Demi membantunya, Sarah akhirnya melanjutkan kemudinya. Ucapan Sarah yang asal bicara tak mendapat respon dari Alice, ia malah terlihat tersipu malu ketika mendengar ucapan Sarah tentang calon mertuanya. "Wah, apa ini? Jangan-jangan benar ya? Kamu akhirnya di ajak ketemu sama orang tuanya???" Meski tak mengenal Rendra, namun Alice pernah beberapa kali menceritakan tentang hubungan dengan Pacarnya pada Sarah. Melihat Alice yang semakin tersipu, Sarah benar-benar ikut bahagia atas kemjauan hubungan mereka. "Baiklah kali ini aku akan mengantarmu. Pastikan kamu mengenakan gaun terbaikmu, agar mendapat kesan baik Keluarganya" Tutur Sarah memberi sedikit saran. "Terimakasih Kak!" Alice kini kembali membayangkan kehidupannya bersama Rendra, sambil melihat cincin di jarinya. "Ekhem, Bau-bau bentar lagi bakal menikah nih" Celetuk Sarah, menggoda Alice saat melihat cincin di jari manisnya. "Nanti aku akan menyerahkan bucket bunganya untukmu, Kak. Tenang saja, haha!" Tampaknya Alice sudah tak tersipu lagi. Ia justru kembali menggoda Sarah yang masih betah menyendiri. "Sialan! Benar ya? Awas kalau kamu berikan ke orang lain" Keduanya telihat saling berbagi kebahagiaan, tepat seperti seorang kakak dan adik. Tak lama kemudian, tibalah mereka di jalan komplek menuju rumah Alice. "Kak turunkan aku disini saja!" Ucap Alice, ketika Sarah mengurangi kecepatan lajunya. "Baiklah. Tapi kamu benar tinggal disini?" Alice hanya menganggyk menjawab pertanyaan Sarah. Sementara tangannya sibuk melepas seatbelt sebelum akhirnya turun dari mobil. "Makasih banyak ya Kak?" "Oke. Jangan lupa yang ku katakan tadi ya?" Sarah yang baru saja menutup kaca pintu mobil, akhirnya kembali melajukan mobilnya. Lalu, Alice mulai berjalan menuju ke Rumahnya yang sudah terlihat dari tempatnya berdiri. Sementara itu di perjalanan pulang, Sarah kembali memikirkan Alice. Ia tampak bingung, kenapa Alice bisa tinggal di Kontrakan kecil bersama dengannya. Bukan Apartemen, melainkan Kontrakan di pinggiran kota. "Jalan robert kan isinya rumah-rumah mewah, tapi kenapa dia malah tinggal di Kontrakan itu?" Gumamnya merasa aneh. Pasalnya ini pertama kalinya Sarah mengantar Alice pulang, sehingga membuatnya cukup heran. Namun begitu, Sarah mengkesampingkan hal tersebut. Ia bisa menanyakannya nanti ketika Alice kembali. ***** Setibanya di Kediaman Sandiego Estele, Wanita muda bernama Alice itu di sambut oleh pelayan. Namun Alice hanya menyapa dan langsung memasuki kamarnya. Alice bahkan tak melihat semua orang saat dirinya masuk tadi. Wanita itu langsung ke tujuan utamanya, yaitu membuka Walk in closet untuk melihat beberapa koleksi gaunnya. Ia mengeluarkan semuanya dan melemparnya ke atas sofa. "Apa ini bagus?" Gumamnya berdiri di depan cermin dengan sebuah gaun berwarna hijau sage. "Lebih baik aku mencobanya dulu!" Katanya sambil melepas kaosnya. Tok.. Tok.. Tok... Belum sempat Alice melepas Kaosnya, tiba-tiba ia mendengar suara ketukan pintu kamarnya. Alice sontak mengurungkan niatnya, dan memilih untuk membuka pintu lebih dulu. Ia tentu tahu, siapa yang datang. "Cepat sekali menyadari keberadaanku!" Gumamnya berjalan untuk membuka pintu. Pintu mulai terbuka ketika Alice membukany, bayangan hitam tinggi dan kuat pun mulai menampakkan pemiliknya. Benar! Dia adalah Diego, yang merupakan Ayah kandung Alice sekaligus pengusaha terkemuka di Ibukota. Belum lama Pria itu membahas Putrinya saat sedang makan malam bersama, tiba-tiba ia mendapat kabar dari salah satu pelayannya bahwa Alice telah kembali. Pria itu pun segera menghampiri Putrinya yang telah lama hidup di luar rumah. Alice lalu membungkukkan badannya, guna menyapa Diego. "Aku kembali, Pah" Tutur Alice, sopan. "Mari ikut Papah!" Suara gahar Diego terdengar sesaat, sebelum akhirnya pergi menuju ke ruang baca. Sementar Alice, ia mengikuti langkah Diego dengan perlahan. Tak lama kemudian, tibalah keduanya di ruang baca. Alice mulai mendekati Diego yang sudah menunggunya. "Duduklah, kenapa berdiri" Alice perlahan duduk, menghadap Ayah-nya. "Lama tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu?" Tanya Diego, penuh kasih. Meskipun terlihat garang, namun ia sangat menyayangi Alice. Apalagi saat Putrinya memutuskan untuk tinggal di luar, membuatnya selalu mengkhawatirkan Alice. Hingga tiba waktunya, Alice kembali ke rumah. Diego tentu senang, atas kembalinya Alice, walau mungkin hanya sebentar. "Aku baik-baik saja, Pah. Kalau Papa sendiri? Apa sakit kepala Papa masih suka kambuh?" Tak berbeda dengan Diego, Wanita itu pun sama-sama perhatian. Walau bagaimanapun, Diego adalah ayah kandungnya. Diego tersenyum sejenak, mendengar perhatian kecil yang di lontarkan Alice. Netranya menatap rinci Putrinya, yang semakin mirip dengan mendiang Ibunya. "Iya, beginilah Al. Sakit kepala Papa kambuh kalau papa kecapek'an" Sambil meneguk secangkir teh hangat, keduanya berbincang kecil saling bertukar kabar. "Apa kamu akan pergi lagi?" Tanya Diego, meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Alice lalu mengangguk pelan. Karena tujuannya memang hanya untuk mengambil gaun saja. "Aku pulang hanya untuk mengambil beberapa set pakaian yang aku butuhkan saja, Pah" Sahut Alice dengan nada rendah. "Kau mau kemana? Apa kamu sudah punya pacar?" Melihat gelagat Putrinya, Diego kini mulai mengintrogasi. Reaksi Alice yang hanya diam saja membuat Diego yakin, bahwa Putrinya benar-benar sudah mengenal cinta. Namun Alice masih malu untuk mengakuinya pada Diego, Ayahnya. "Besok orang tuanya mau bertemu denganku" Tutur Alice menundukkan pandangannya. Ia begitu menahan malu, saat mengaku pada Ayahnya. "Apa??? Apa ini nggak terlalu cepat?" Pria paru baya itu sempat tersentak mendengarnya, mengingat Usia Alice yang masih terbilang muda. Mempertemukan dengan keluarganya adalah pertanda bahwa Pacar Alice ingin mengajaknya ke jenjang yang lebih serius. Bagaimanapun Diego lebih berpengalaman, ia tahu betul maksud dan tujuan Pacar Putrinya. "Kami sudah pacaran selama 2 tahun lebih, Pah. Bukannya ini hal wajar?" Mendengar itu Diego kembali terdiam. Dua tahun itu bukan apa-apa Alice! Andai kamu tau isi hati Ayahmu, yang selalu memikirkan masa depanmu. "Papa bukannya melarangmu, Nak. Papa cuma khawatir, kalau suatu saat kamu menikah dan melupakan Papa" Ujar Diego menuturkan keluh kesahnya. "Papa ngga perlu khawatir soal itu!" Katanya menenangkan hati Diego. "Baiklah, Papa akan mendukungmu" Kedua Ayah dan Anak itu kini kembali meneguk tehnya yang hampir dingin. "Kalau begitu aku permisi ya, Pah. Aku harus memilih baju" Terlihat Alice berdiri dari sofa tempat duduknya. Diego pun mengangguk, menatap gerakan Putrinya yang akan undur diri. "Al, setidaknya kembalilah besok. Ini sudah malan untuk kembali ke tempat tinggalmu. Kita juga bisa sarapan bersama besok" Tutur Diego meminta. "Baiklah Pah. Selamat malam, jangan tidur larut ya, Pah!" Ucap Alice dan berlalu meningglkan ruang baca. Diego lalu melepas kacamatanya dengan senyum bahagia. Tak ada yang lebih perhatian padanya selain Alice. Awalnya Diego berencana untuk mengatur perjodohan Alice dengan Teman bisnisnya, namu ia mengurungkan niatnya karena Alice mengaku sudah mempunyai pacar. **** Pagi harinya masih di kediaman Sandiego. Susana pagi begitu teduh dan nyaman, dengan iringan suara burung yang saling bersahutan. Alice mulai membuka matanya, begitu silau matahari menyilaukan matanya melalui sela sela jendela. Wanita itu perlahan menggerakkan tangan dan kepalanya, sebelum beranjak ke kamar mandi. Gaun yang sudah ia pilih sudah di siapkan di dalam paper bag. Kini saatnya Alice untuk menepati ucapannya pada Diego yaitu sarapan bersama. Meski enggan bertemu dengan Karin dan Meysa, namun ini semua ia lakukan demi Ayahnya. Alice kini menuju ke ruang makan, dengan pakaian yang sudah rapi. Pagi ini ia mengenakan celana jeans panjang, serta kaos polos berwarna putih. Wanita itu juga mengikat rambutnya berbentuk cepol, dan tanpa kacamata. Kedatangannya ke ruang makan membuat Karin dan Meysa terkejut. Terlebih Karin, yang sama sekali tak tahu dan tak di beritahu oleh Diego bahwa Putri tirinya telah kembali. "Selamat pagi, Pah.. Em, Mah" Ucap Alice menyapa. Diego hanya mengangguk menjawab salamnya. "Kapan anak sialan ini pulang? Kenapa Mas Diego tidak memberitahuku?" Monolog Karin dalam hati. "Alice? Kamu sudah kembali? Sudah tiga bulan, pasti kamu sangat tertekan hidup di luar! Lebih baik kamu kembali saja, Nak ya?" Aktingnya pun di mulai, seolah benar-benar mengharapkan Alice kembali. "Nggak kok Ma, aku baik-baik saja. Benarkan Meysa???" Tampaknya Alice sengaja, menyindir keduanya. Meysa yang sejak tadi hanya diam pun terpaksa harus ikut dalam drama keluarga ini. Pasalnya, Alice kerap berpapasan dengan Adik tirinya di kampus. Namun keduanya saling berpura-pura tak mengenal satu sama lain. Meysa tentu tahu, bahwa Alice hidup dengan baik. "Mana aku tau, kita kan beda fakultas dan jarang bertemu!" Berbeda dengan Ibunya yang bermuka dua. Meysa lebih suka menampakkan wajah sinisnya. Diego tak ingin menanggapi perdebatan kecil tersebut. Ia tau, bahwa mereka tak bisa akur jika di satukan sehingga memilih diam saja. Makan bersama pagi itu pun berjalan dengan semestinya. Sementara Alice telah kembali di sibukkan dengan urusannya. Hari terasa begitu cepat, saat Alice baru saja selesai kuliah, Rendra sudah datang menjemputnya. "Kamu sudah siap kan?" Tanya Rendra, memasangkan seatbelt pada Alice. Wanita itu hanya mengangguk di tengah-tengah ke gugupannya. Tanpa mereka sadari, sepasang mata telah memerhatikan laju mobil Rendra yang semakin tak terlihat. "Apa hubungan mereka berdua?" Gumam seseorang dengam tatapan tajam dan sinis. **** -NEXT-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN